ANAK BUAH KAPAL MERANA DAN PERTARUHKAN NYAWA: PEMERINTAH KEMANA?

Masih baru, pada awal April yang lalu, tiga mantan anak buah kapal (ABK) Indonesia melayangkan surat Keberatan Administrasi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Ketiga mantan ABK yang pernah bekerja di kapal ikan asing ini mengirimkan surat yang berisi desakan kepada pemerintah agar segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga  dan Awak Kapal Perikanan  – berikutnya disebut PP Pelindungan ABK. Viktor Santoso Tandiasa, selaku kuasa hukum yang mewakili mereka mengatakan bahwa terdapat dugaan pelanggaran hukum yang terlah dilakukan Pemerintah. Pemerintah semestinya merampungkan dan mengesahkan PP Pelindungan ABK dua tahun sejak UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia diundangkan. Itu artinya, sudah hampir tiga tahun pemerintah berdiam diri atas carut marut tata kelola perekrutan dan pengiriman ABK ke kapal asing.

Kelambanan Pemerintah ini bukan menjadi pemicu utama protes yang dilayangkan kepada si pemangku negara. Sepanjang tahun 2021 saja, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) telah menerima lebih dari 185 aduan kasus perbudakan terhadap ABK yang bekerja di kapal ikan asing. Berdasarkan catatan SBMI, total sebanyak 188 kasus di tahun 2021 tersebut merupakan jumlah tertinggi yang diterima SBMI dalam satu tahun dimana 98 diantaranya berasal dari Jawa Tengah, 48 kasus dari Jawa Barat, dan selebihnya tersebar dari berbagai provinsi di Indonesia. Ini menjadikan total kasus ABK yang ditangani oleh SBMI sejak 2013 sebanyak 634 kasus.

Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, pada diskusi di akhir Maret 2022 yang lalu mengatakan tumpang tindih kewenangan dan belum adanya turunan dari UU No.18 Tahun 2017 inilah yang menjadi kendala utama dalam penanganan dan advokasi kasus yang dialami ABK. Ia juga menuturkan bahwa carut marut tata kelola penempatan ABK Perikanan, kebijakan yang belum berpihak terhadap ABK Perikanan, penindakan hukum yang lemah dan pengawasan yang minim menjadi penyebab praktik-praktik yang melanggar HAM ABK masih terus terjadi. Ironisnya, upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami ABK dari tahun ke tahun tidak menunjukkan sinyal perbaikan (SBMI, 2022).

Greenpeace, SBMI, dan Human Rights Working Group dalaml “Kajian Pelanggaran HAM terhadap ABK di Asia Tenggara: Pembiaran Perbudakan Modern” menggarisbawahi bahwa tanpa jaminan perlindungan hukum, kasus perbudakan terhadap ABK akan terus berlanjut. Indonesia sendiri memang sudah memiliki sejumlah instrumen hukum terkait perlindungan ABK, misalnya saja:

  • UU 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, terutama pada pasal 6 ayat 1, terdapat 13 item aturan perlindungan. UU ini masih belum diturunkan menjadi Peraturan Pemerintah, khususnya untuk perlindungan ABK.
  • Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No. 2 tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia Perikanan untuk melengkapi Permen No. 42 tahun 2016 tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan.
  • UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Pasal 151 membahas soal kesejahteraan para anak buah kapal. Kesejahteraan tersebut meliputi: gaji, jam kerja dan jam istirahat, jaminan pemberangkatan ke tempat tujuan dan pemulangan ke tempat asal, kompensasi apabila kapal tidak dapat beroperasi akibat mengalami kecelakaan, kesempatan untuk mengembangkan karier, pemberian akomodasi, fasilitas untuk rekreasi, nutrisi, dan pemeliharaan dan perawatan kesehatan serta pemberian asuransi kecelakaan kerja.

Namun itu semua hanyalah jadi peluru kosong tanpa adanya rancangan peraturan pemerintah (RPP) UU No.18 Tahun 2017 yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan hak asasi manusia bagi para ABK. Ditambah Indonesia yang belum meratifikasi Konvensi ILO Work in Fishing 188 (C188) yang dapat menyediakan norma pengaturan dan perlindungan ABK di sektor perikanan tangkap yang seharusnya dapat dijadikan rujukan bagi standar penguatan terbitnya PP perlindungan ABK. 

Lebih dari payung hukum, Kementerian Kelautan dan Perikanan dibantu dengan Kementerian Ketenagakerjaan juga harus memberikan pelatihan dan pendidikan kepada para calon ABK dan ABK yang sudah bertugas, sesuai dengan konvensi internasional (Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel atau biasa disingkat STCW-F) yang sejatinya dapat dibeli dari Singapura sebesar Rp 60 juta. 

Pada acara High Level Panel KORAL di tahun 2020, DFW mengingatkan agar pemerintah secara komprehensif, memperbaiki sektor dari hulu ke hilir di dalam proses pengiriman ABK ke luar negeri. Setidaknya ada enam rekomendasi yang bisa diimplementasikan dalam upaya pencegahan tindak kekerasan dan ketidakadilan yang diterima ABK di masa depan yaitu:

  1. Peningkatan kompetensi dan standarisasi dari calon ABK. Kompetensi dan standarisasi yang dimaksud adalah standar pendidikan akademis bagi calon ABK.
  2. Kampanye dan edukasi kepada calon ABK. Pemberian pelatihan mengenai keamanan, pengetahuan dan informasi mengenai tempat tujuan bekerja termasuk di dalamnya risiko pekerjaan, situasi kondisi lapangan, budaya dan karakter tempat tujuan bekerja. 
  3. Pemerintah mengesahkan rancangan peraturan pemerintah untuk perlindungan ABK melalui turunan dari UU No.18 Tahun 20175tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. 
  4. Pendataan ABK yang lebih baik. Pendataan ABK selama ini hanya dipegang oleh manning agent dan belum ada data valid mengenai berapa jumlah ABK asal Indonesia yang bekerja di KIA. Data tersebut akan bermanfaat bagi pemerintah untuk melakukan pengawasan ABK yang bekerja di KIA. 
  5. Perlunya legalitas, akreditasi, dan verifikasi atas manning agent atau agen perekrutan yang melakukan penempatan kerja bagi ABK. Legalitas, akreditasi, verifikasi ini dilakukan untuk mencegah dan mengawasi manning agent dalam penempatan ABK agar tidak diselundupkan secara ilegal ke kapal ikan asing. 

Tahun ini adalah tahun ketiga penundaan penuntasan RPP yang menjadi tonggak penegak hukum dan keadilan bagi para ABK. Presiden memiliki hak dan juga kewajiban untuk memanggil kabinetnya dalam menuntaskan RPP turunan UU 18/ 2017 ini sebagai bentuk tanggungjawab dan pengayoman nasib para ABK asal Indonesia. Jika tidak, pemerintah maka menutup mata, hati, telinga atas nasib ratusan ABK yang mengalami ketidakadilan dan perbudakan. Termasuk didalamnya 35 anak buah kapal (ABK) Indonesia meninggal dunia diatas kapal ikan asing per November 2019 hingga Maret 2021. Meregang nyawa karena ketidakadilan dan diabaikan negara, menghembuskan napas terakhirnya jauh dari dekapan keluarga.

******