Seperti yang diketahui, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan pada tahun 2030, ada 32,5 juta hektar kawasan konservasi perairan atau 10% dari luas perairan Indonesia. Komitmen dan target ini sejalan dengan komitmen global di Sustainable Development Goal (SDG 14) dan Convention on Biological Diversity (Aichi Target) (KKP 2020, Soemodinoto et al. 2018). Bukan hanya pada ajang internasional, target tersebut juga tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2020-2024, di mana pemerintah juga menargetkan penambahan luas kawasan menjadi 26, 9 juta hektar dan 20 juta hektar terkelola secara efektif di 2024.
Menurut Rudd dan Tupper (2002), pada sebuah penelitian berhasil diungkap bahwa produksi telur ikan dan reproduksi dan kelimpahan ikan di dalam kawasan konservasi lebih tinggi. Selain itu juga ukuran ikan yang rata-rata meningkat, hasil tangkapan yang menjadi lebih tinggi, termasuk dampak positif pada kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat daerah konservasi (Rudd and Tupper 2002, Claudet et al. 2006, Planes et al. 2006, Mascia et al. 2010). Hal ini menjadi beberapa bukti mengapa kemudian wilayah konservasi menjadi sangat substansial, krusial, dan dalam keadaan genting untuk diprioritaskan keberadaannya. Masa depan laut termasuk masa depan manusia, bergantung pada kelestarian dari wilayah konservasi perairan yang melingkupi perairan itu sendiri, area pesisir seperti keberadaan mangrove, padang lamun, lalu juga terumbu karang yang memiliki peran penting dalam memastikan kesehatan ekosistem laut dan juga dalam tatanan rantai makanan.
Instrumen hukum yang mengayomi dan menjadi penunjuk jalan pun sudah cukup lengkap untuk mendukung pengembangan kawasan konservasi di wilayah perairan. Ada beberapa peraturan seperti Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2004 yang telah diperbaharui dengan UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang telah diperbaharui dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Dengan definisi mengenai konservasi yang sama, yaitu merupakan “kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan terbatas, dan zona lainnya, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan, keanekaragaman hayati, dan lingkungannya secara berkelanjutan,”, ketiga peraturan ini dibedakan oleh indikator target konservasi dan tujuan pengelolaannya. Misalnya di UU 31/ 2004 yang diperbaharui dengan UU 45/ 2009 berfokus pada ikan sebagai tujuan pengelolaan dengan indikator perikanan, sementara di UU 27/2007 menitikberatkan pada perlindungan keanekaragaman hayati, dan di UU 32/ 2014 menekankan pada indikator kedaulatan seperti pengembangan kawasan konservasi di wilayah perbatasan negara.
Sebenarnya, jika berbicara dengan perluasan dan pengembangan wilayah konservasi, hal ini sudah pernah diagendakan di tahun 2007 dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan sebagai turunan dari UU 31/ 2004. Jadi bukan baru sekarang ini, pemerintah gencar mengembangkan wilayah konservasi. Hingga tahun 2021, KKP telah menetapkan 81 kawasan konservasi, dengan total luasan mencapai 13,93 juta hektar. Selanjutnya pada tahun 2022, KKP menargetkan penetapan kawasan konservasi seluas 2 juta hektare. Lokasi kawasan yang akan ditetapkan berada di 19 Provinsi, yakni Jawa Barat, Sumatera Barat, Maluku, Kalimantan Utara, Kepulauan Riau, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Riau, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Papua Barat. Terbaru, KKP juga menambahkan 4 Kawasan Konservasi Perairan baru pada 11 Januari 2022, yakni kawasan konservasi Tanimbar, Pulau Damer, wilayah Mdona Hiera, Lakor, Moa, dan Letti, serta Kepulauan Romang dengan rincian:
- Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (KEPMEN KP) Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2022 tentang Kawasan Konservasi di Perairan Wilayah Kepulauan Tanimbar memiliki luas keseluruhan 312.181,70 Hektare dengan pembagian zona inti dengan luas 15.195,24 Ha, zona pemanfaatan terbatas 296.982,87 Ha, dan zona lain sesuai peruntukan kawasan berupa zona pelabuhan/tambat labuh dengan luas 3,59 Ha. Kawasan ini diperuntukkan untuk melestarikan terumbu karang, padang lamun, dan mangrove.
- KEPMEN KP Nomor 4 Tahun 2022 tentang Kawasan Konservasi di Perairan Wilayah Damer Provinsi Maluku dengan luas 297.143,91 Hektare. Dibagi jadi dua yakni zona inti dengan luas 26.360,01 Hektar (Ha) dan zona pemanfaatan terbatas dengan luas 270.783,90 Ha. Untuk kawasan ini, diprioritaskan untuk melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan keanekaragaman hayati laut seperti terumbu karang, padang lamun, habitat penyu hijau (Chelonia mydas), dan habitat hiu martil (Sphyrna lewini).
- KEPMEN KP Nomor 5 Tahun 2022 tentang Kawasan Konservasi di Perairan Wilayah Mdona Hiera, Lakor, Moa, dan Letti. Kawasan ini disebut sebagai habitat pemijahan (spawning aggregations) ikan karang. Luasnya 371.722,43 Hektar, yang terdiri atas zona inti dengan luas 7.880,36 Ha dan zona pemanfaatan terbatas dengan luas 357.557,32 Ha. Zona lain sesuai peruntukan kawasan berupa zona sesuai karakteristik kawasan dengan luas 6.284,75 Ha.
- KEPMEN KP Nomor 6 Tahun 2022 tentang Kawasan Konservasi di Perairan Wilayah Kepulauan Romang. Kawasan ini dinilai berpotensi terumbu karang, padang lamun, mangrove, ekosistem lembah bawah laut (underwater canyon), habitat hiu martil (Sphyrna lewini), dan habitat penting mamalia laut lain. Taman di perairan ini luasnya 274.845,74 Ha. Terdiri dari zona inti dengan luas 26.347,06 Ha dan zona pemanfaatan terbatas 248.498,68 Ha.
Jumlah kawasan konservasi tertinggi sendiri terdapat di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia 713 dengan total 63 kawasan, lalu diikuti oleh WPP 712 sebanyak 61 kawasan, dan WPP 573 sebanyak 55 kawasan. Sementara untuk WPP dengan jumlah kawasan konservasi terendah ada di WPP 718 dengan 2 kawasan konservasi. Lalu untuk kawasan konservasi terluas terdapat pada WPP 714, WPP 715 dan WPP 711 masing-masing 6,4 juta; 4,8 juta; dan 4,7 juta hektar dan luas kawasan konservasi terendah terdapat di WPP 571 yang hanya mencapai 96,0 ribu hektar. Jika diteliti lebih dalam, bisa dilihat bahwasanya WPP 718 dan 571 merupakan kawasan dengan tingkat jumlah dan kawasan konservasi terendah, namun juga sangat tinggi kasus eksploitasi perairannya.
Kawasan WPP 718 mencakup wilayah Laut Aru, Laut Arafuru dan Laut Timor bagian Timur yang merupakan bagian dari paparan sahul dan secara geografis berbatasan dengan daratan Papua dan Laut Banda di sebelah Utara, serta berbatasan langsung dengan 3 (tiga) negara yaitu Australia, Timor Leste dan Papua Nugini. Sementara WPP 571 meliputi Selat Malaka dan Laut Andaman. Untuk komoditas perikanan sendiri, komoditas sumberdaya perikanan di WPP 718 seperti ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, ikan karang dan udang. Sementara di WPP 571 memiliki 10 komoditas utama yaitu udang, cumi-sotong-gurita, tilapia, tuna-tongkol-cakalang, layur, rajungan-kepiting, mackerel, kerang, bawal, dan ikan lainnya (BPS, 2021).
Kedua kawasan ini memiliki tingkat pendayagunaan untuk perikanan tangkap yang cenderung tertinggi dibanding wilayah lainnya dan tidak terlepas dari kekayaan komoditas laut yang banyak diminati baik didalam negeri, maupun luar negeri seperti misalnya WPP 571 yang memiliki 55 jenis komoditas perikanan yang diekspor. Selain menjadi “pasar” utama komoditas perikanan tangkap, kedua WPP ini juga menjadi “langganan” penjarahan dari sejumlah kegiatan illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) baik dari nelayan lokal maupun nelayan asing seperti kapal dari Malaysia dan Vietnam. Lalu, bukankah penting bagi kedua area ini, dengan tingkat eksploitasi yang tinggi, untuk juga memiliki wilayah konservasi yang mumpuni? Bagaimana kemudian pemerintah baik pusat maupun daerah, bisa memastikan jumlah komoditas yang dikeruk dengan berbagai cara itu, bisa memastikan aspek keberlanjutan dan kelestarian bagi sumberdaya dan biodiversitas laut lainnya?
Pengabaian wilayah konservasi pada WPP tinggi kegiatan penangkapan dan pemanfaatan harus diantisipasi. Pengembangan kawasan konservasi yang memprioritaskan ekosistem dan biota laut, terutama yang terancam punah, masih belum menunjukkan kemajuan berarti, terutama di wilayah yang rawan degradasi dari sisi ekologi maupun sumber dayanya. Perluasan wilayah konservasi juga harus ada dan hadir di WPP yang tinggi tingkat eksploitasinya dan harus diantisipasi, bukan hanya dengan target perluasan saja, namun juga program untuk memperkaya, melestarikan, dan menjaga wilayah ini dari penurunan kualitas dan sumberdaya. Selain itu, usaha “pembentengan” wilayah konservasi dari sejumlah kegiatan ilegal seperti penangkapan ikan, penambangan, bahkan kegiatan wisata yang mengancam habitat konservasi ini juga harus diadakan oleh Pemerintah. Sejumlah instrumen hukum dan hasil penelitian dari berbagai pihak dirasa sudah cukup memberikan guideline sejauh apa kemudian wilayah konservasi berperan penting bagi perairan kita.
******