EKONOMI BIAYA TINGGI BEBANI NELAYAN KECIL

Nelayan kecil di Provinsi Maluku dan Maluku Utara merasakan beban pengeluaran yang lebih tinggi dalam melakukan operasi penangkapan ikan. Ekonomi biaya tinggi tersebut berasal dari pungutan retribusi izin daerah dan harga BBM yang lebih mahal dari pada daerah lain.

Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan yang akan memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan kecil tidak akan mempengaruhi dan dimanfaatkan oleh nelayan kecil di Indonesia timur. Sebabnya problem dan kebutuhan penangkapan ikan nelayan kecil bukan pada sistem kontrak tapi perlindungan nelayan, ketiadaan pungutan, ketersediaan BBM dan mekanisme pendaftaran kapal perikanan.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengungkapkan bahwa pihaknya mendapatkan laporan dan pengaduan sejumlah nelayan kecil dari Maluku dan Maluku Utara yang diwajibkan membayar retribusi izin daerah ketika akan mengurus Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut (SIKPI). “Terdapat ketentuan peraturan daerah Provinsi Maluku No 2/2017 tentang retribusi perizinan daerah yang retribusi mewajibkan biaya retribusi pengurusan SIUP, SIPI dan SIKPI untuk kapal ukuran di atas 5GT’ kata Abdi.

Besaran biaya retribusi usaha perikanan untuk pengurusan SIUP ditentukan dengan formula Rp 1% dari total nilai investasi. “Dengan ketentuan tersebut kapal ikan dengan bobot 6 GT diwajibkan membayar biaya retribusi sebesar Rp 10 juta” kata Abdi. Pihaknya juga mendapatkan laporan yang sama dari nelayan kecil yang berada di Maluku Utara. Akibat adanya ketentuan ini banyak kapal nelayan kecil yang tidak mendaftarkan kapalnya dan tidak melaporkan hasil tangkapan karena merasa terbebani dan tidak mau membayar retribusi perizinan. “Hal ini tentunya akan berimplikasi pada data produksi penangkapan ikan yang tercatat oleh pemerintah” kata Abdi.

Implikasi lain yang timbul akibat kebijakan ini adalah kesulitan nelayan dalam mengakses BBM bersubsidi. Karena tidak memiliki SIUP dan SIPI, nelayan kecil tidak bisa mendapatkan BBM bersubsidi. “Akibat kebijakan retribusi daerah, efek berantai akhirnya dirasakan dan membebani nelayan kecil” kata Abdi.

Selanjutnya Abdi mengatakan bahwa ketentuan Perda tersebut bertentangan dengan UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Ketentuan pasal 36 menyebutkan tentang penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi.

“Pasal tersebut menyebutkan pembebasan biaya penerbitan perizinan dan pungutan usaha perikanan berupa pajak maupun retribusi bagi nelayan kecil” kata Abdi. Atas kondisi ini pihaknya meminta Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu melakukan inventarisasi dan evaluasi peraturan daerah bidang perikanan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi nelayan kecil.

“Kemendagri dan KKP perlu meminta pemerintah provinsi untuk melaporkan regulasi daerah terkait dengan usaha perikanan tangkap, budidaya, pengolahan dan pemasaran serta usaha garam rakyat skala kecil untuk dilakukan evaluasi dan pencabutan jika bertentanga dengan semangat dan amanah UU No 7/2016” kata Abdi.

Sementara itu peneliti DFW Indonesia, Imam Trihatmadja mengatakan bahwa rencana KKP memberlakukan sistim kontrak dan memberikan prioritas kuota penangkapan ikan kepada nelayan kecil tidak akan berjalan efektif. “Rencana tersebut tidak akan efektif karena lemahnya kelembagaan koperasi perikanan saat ini” kata Imam. Di Maluku dan Papua, tidak ada satupun kelembagaan koperasi nelayan yang memiliki armada dan modal mencukup untuk memenuhi syarat sistim kontrak tersebut.

Alih-alih memberlakukan sistim kontrak, pihaknya meminta agar KKP memprioritaskan pelaksanaan pendataan dan registrasi kapal melalui sensus kapal ikan dan memberikan akses pembiayaan usaha perikanan tangkap kepada nelayan kecil di Indonesia timur. “Menurut hemat kami, entry point perbaikan tata kelola perikanan Indonesia saat ini adalah dengan melakukan pendataan kapal ikan ukuran kecil melalui sensus kapal ikan dan penyediaan akses kredit melalui skema Kredit Usaha Rakyat bagi nelayan kecil” kata Imam.

Sejauh ini, belum ada satupun perbankan yang membuka gerai dan memberikan pelayanan KUR bagi nelayan kecil di Maluku dan Papua terutama di kabupaten kepulauan Aru dan kabupaten Merauke. “Padahal kedua kabupaten tersebut merupakan sentra nelayan kecil dan pusat penangkapan ikan di Indonesia timur” tutup Imam.

******

Sumber Utama: Destructive Fishing Watch (DFW)