HILIRISASI RUMPUT LAUT: APA ITU?

Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo meminta proyek percontohan (modelling) untuk hilirisasi rumput laut di lima wilayah. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyatakan, “Kami ditargetkan oleh Bapak Presiden untuk membuat ‘modelling’ di lima wilayah Buleleng, Wakatobi, Maluku Tenggara, Rote Ndao di NTT dan NTB.” Hal ini diungkapkan setelah menghadiri rapat terbatas yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo untuk membahas hilirisasi rumput laut.

Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia adalah pengekspor rumput laut terbesar saat ini. Ekspor rumput laut Indonesia mencapai 225 ribu ton, atau 30% dari total ekspor rumput laut dunia pada tahun 2021. Lebih jelasnya, menurut data yang diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS), Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat berada di peringkat lima besar provinsi penghasil rumput laut (2020). Untuk detail produksi rumput laut basah Sulawesi Selatan mencapai 1,63 juta ton. Sementara dengan 1,03 juta ton rumput laut basah membuat Nusa Tenggara Timur menempati urutan kedua. Lalu disusul oleh Kalimantan Utara yang menghasilkan 441,1 ribu ton rumput laut basah, Sulawesi Tengah menghasilkan 419,9 ribu ton basah, dan Nusa Tenggara Barat menghasilkan 402,6 ribu ton rumput laut basah.

Ditambah, menurut Trenggono, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar sebesar 12 juta hektare, yang saat ini hanya dimanfaatkan 0,8% pada 2021 lalu. Ia juga menyatakan bahwa mereka ingin mengembangkan potensi ini karena ada banyak turunan rumput laut yang dapat dikembangkan menjadi produk-produk turunannya, seperti pupuk, pakan, makanan, farmasi, serta biofuel. 

Sehatkan Laut untuk Pastikan Suburkan Rumput Laut Bukan Hanya Sebagai Komoditas

Hilirisasi rumput laut harus dibarengi dengan sejumlah strategi untuk memastikan keberlanjutannya di habitat aslinya. Bak sebuah lingkaran, ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kesuburan dan keberlanjutan rumput laut seperti salah satunya adalah faktor cuaca dan musim. Maka dari itu, dampak perubahan iklim yang membuat cuaca dan musim tidak dapat diprediksi, membuat rumput laut susah tumbuh dengan optimal.

Sebelum dijadikan regulasi atau proyek nasional, ada baiknya bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk memastikan ‘lahan’ tempat budidaya rumput laut bukan hanya ada tapi juga sedia. Sedia dalam arti lautnya sehat dan siap menjadi habitat budidaya rumput laut. Laut yang sehat juga berarti harus memiliki lahan khusus yang dialokasikan bagi rumput laut untuk tumbuh bebas tanpa diganggu gugat dan jauh dari aktivitas manusia bagi habitat hewan-hewan laut. Rumput laut ini kemudian tidak boleh diambil untuk kegiatan jual-beli dan pastinya jauh dari kegiatan perikanan maupun penambangan yang eksploitatif. 

Bukan tanpa sebab, aktivitas perikanan tangkap maupun pertambangan yang eksploitatif menjadikan laut tidak sehat yang akan berdampak bagi pertumbuhan rumput laut dan mengganggu keseluruhan rantai ekosistem yang terkait. Menurut jurnal penelitian bertajuk “Peranan Makroalga bagi Ekosistem Laut” yang dirilis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), rumput laut merupakan salah satu sumber pangan utama bagi biota laut seperti ikan, bulu babi, dan gastropoda. Rumput laut juga menjadi ‘rumah’ bagi para biota laut lainnya sehingga menyebabkan interaksi segitiga antara rumput laut, ikan herbivora, dan terumbu karang. Maka tidak jarang juga, rumput laut menjadi habitat pengasuhan / nursery ground.

Selain itu, keberadaan rumput laut yang tumbuh alami dan subur akan menjadi ‘garansi’ kesehatan laut dan bumi serta betul-betul mewujudkan semangat program karbon biru di Indonesia. Hal ini dikarenakan rumput laut dapat membantu mengendalikan dampak perubahan iklim karena mampu menyimpan dua kali lebih banyak karbon daripada pohon di daratan karena memiliki laju fotosintesis dan produktivitas yang lebih tinggi. Dalam penelitian mereka tentang rumput laut pada 2012 silam, National Science Foundation menyatakan bahwa rumput laut memiliki potensi besar untuk menyimpan karbon, dengan kapasitas penyimpanan mencapai 19,9 metrik ton karbon. Secara khusus, hamparan kebun rumput laut dapat menghasilkan hingga 83.000 metrik ton karbon per kilometer persegi (km²), dua kali lebih banyak daripada hutan daratan yang menyerap 30.000 metrik ton karbon per km².

Laut bukan semata-mata ladang tambang yang dapat diperas potensinya terus-terusan. Sudah cukup banyak aktivitas rakus manusia yang merusak laut. Besar harapan KORAL bagi Pemerintah mampu untuk mengupayakan lahan yang sehat bagi rumput laut dan komitmen menjaga laut dalam program karbon biru. Semoga hilirisasi rumput laut sebagai komoditas jual-beli bukan tujuan utama dan satu-satunya, tanpa dibarengi upaya menyelamatkan, menyuburkan, dan ‘menghijaukan’ laut kita demi keselamatan seluruh biodiversitas dan ekosistem didalamnya.

***