NAS-OCEAN-ALISME: SEMANGAT PERSATUAN DEMI KEBERLANJUTAN LAUT (PART 1)

Menyambut Hari Kebangkitan Nasional, kita pasti terngiang akan kata-kata “Nasionalisme” – kata singkat yang bermakna dalam kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia. Nasionalisme adalah suatu gejala psikologis berupa rasa persamaan dari sekelompok manusia yang menimbulkan kesadaran sebagai bangsa. Hans Kohn, memberikan terminologi yang sampai saat ini masih tetap digunakan secara relevan yakni: 

Nationalism is a state of mind in which the supreme loyalty of individual is felt to be due to the nation-state”. 

Bahwa nasionalisme merupakan suatu faham yang memandang bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Jadi secara singkat, Nasionalisme merupakan suatu paham mengenai bangsa dan negara sendiri yang dapat diwujudkan dalam bentuk ungkapan perasaan yang kuat dan usaha pembelaan daerah atau bangsa melawan penguasa luar. Terdapat lima prinsip nasionalisme yaitu: kesatuan, kebebasan, kesamaan, kepribadian dan identitas, serta prestasi. Dalam prinsip prestasi ditekankan bahwa semangat nasionalisme dijiwai dalam cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare) serta kebesaran dan kemanusiaan ( greatness and the glorification) dari bangsanya. Pertanyaannya adalah, apakah sektor Kelautan dan Perikanan (KP) sudah berhasil mewujudkan semangat nasionalisme? Ada beberapa poin yang KORAL garisbawahi terkait nasionalisme di sektor KP:

Tender Kuota Lelang Zonasi dan SDI: Ambisi Pemerintah Kuasai Laut 

Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang baru adalah mengenai penangkapan ikan terukur. Dalam kebijakan penangkapan ikan terukur, KKP memperkenalkan dan mengimplementasikan skema zonasi dengan membagi laut menjadi beberapa zona peruntukkan dan melelang kuota perikanan bagi investor dalam negeri maupun asing. 

Adapun zona penangkapan ikan untuk industri lokasinya berada di laut yang jaraknya lebih dari 12 mil diukur dari garis pantai. Sementara untuk nelayan tradisional dan hobi lokasinya di laut yang jaraknya kurang dari 12 mil dari garis pantai. Kuota penangkapan ikan untuk nelayan tradisional diberikan kepada nelayan dengan ukuran kapal di bawah 30 GT dan ber-KTP daerah setempat. Sedangkan untuk zona hobi, pemberian kuota dilakukan per kapal berdasarkan ketentuan pemerintah.

Pada zona industri penangkapan ikan, Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono mengatakan bahwa persentase kuota penangkapan ikan akan lebih besar dan diberikan dengan metode lelang terbuka kepada 4-5 investor per zona penangkapan dengan dasar ikatan kontrak mengikat hingga 20 tahun antara KKP dengan investor (Kompas, 2021). Selama kurun waktu 2 dekade itu, investor diberikan jatah persentase kuota untuk mereka ambil selama kurun waktu tersebut. Masih belum jelas tata cara pengaturan dan pengawasannya, namun KKP mengatakan bahwa nanti Komite Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) akan melakukan kajian berkala per dua tahun untuk menjadi basis pemutusan berapa juta ton yang boleh diambil dan berbagai macam jenis ikan. 

Salah satu pegangan nasionalisme di negara ini tentunya adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang bersifat melindungi, melestarikan, dan memelihara seluruh tatanan sumber daya di bumi Pertiwi, baik sumber daya alam maupun manusia. Dalam UUD 1945 dikatakan dengan jelas pada Pasal 33 Ayat (2) dan (3) terdapat poin yang menyatakan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utama. Namun sayangnya, kebijakan penangkapan ikan terukur sepertinya berkiblat pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) yang lebih menitikberatkan pada pendapatan negara saja dan mengenyampingkan nilai-nilai yang diamanahkan dalam UUD 1945. Tidak heran jika kemudian Mahkamah Konstitusi mengetuk palu agar UU CK diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun kedepan. 

Lalu jika kemudian pondasi kebijakannya saja sudah dipertanyakan, apakah tidak ada urgensi bagi KKP untuk juga merevisi dan menilik kembali kebijakan penangkapan terukur ini? Indonesia toh memiliki “tulang punggung hukum” lainnya seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016  tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang sejatinya memandatkan KKP untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan, khususnya kepada nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional. Mengapa kemudian KKP begitu fokus melelang laut Indonesia untuk jatuh ke tangan asing padahal bisa saja kita memberdayakan nelayan lokal tradisional untuk lebih siap bersaing dengan ilmu, kemampuan, dilengkapi oleh teknologi, sarana dan prasarana yang maju, agar berdaya di tangan negara sendiri?

***to be continue***