LUMBUNG IKAN NASIONAL DITUNDA, APAKAH PERTANDA LEBIH BAIK DIBATALKAN?

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pernah mengusung-usung sebuah program unggulan dengan nama Lumbung Ikan Nasional (LIN). Program yang sudah dicanangkan sejak jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini sempat jadi “pemeran utama” yang memenuhi pemberitaan media mengenai KKP di akhir tahun 2021 hingga kebijakan ekonomi biru digaungkan. Bak hilang ditelan bumi, LIN tidak pernah lagi terdengar desas-desusnya. 

Proyek Strategis Nasional milik Pemerintah ini digadang-gadang memiliki nilai investasi ratusan miliar Rupiah. Selain kawasan pembangunan yang meliputi pelabuhan laut dan kawasan industri terpadu di wilayah Indonesia Timur tepatnya di Maluku, LIN juga akan dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukung. Pelabuhan ini nantinya akan mengakomodasi bukan hanya sebagai dropping station untuk hasil tangkapan, tetapi juga akan mengakomodasi kegiatan pengiriman hasil tangkapan ke Luar Negeri.

Proyek yang menjadi proyek lintas Kementerian ini sampai sekarang masih belum ada kelanjutannya. Menurut Juru Bicara Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi, LIN masih dalam persiapan awal dan masih menunggu anggaran diturunkan. Wahyu juga mengungkapkan bahwa sejauh ini KKP sudah melakukan beberapa hal untuk mendukung pergerakan LIN. Salah satunya adalah revitalisasi pelabuhan pangkalan yang sudah tersedia di Benjina, Tual, Saumlaki dan sebagainya.

LIN Ditunda, Akankah Pertanda Agar Dibatalkan?

Mari kita menilik kembali LIN. Proyek strategis nasional ini bernilai fantastis. Ada hal lain yang tidak kalah besar: resiko dan ancaman degradasi lingkungan yang dapat berlanjut hingga ke generasi mendatang. Pemilihan wilayah pengelolaan perikanan. Mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 50 Tahun 2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di WPP-NRI 715 tergolong sudah fully exploited, (2 komoditas berstatus moderate, 4 komoditas fully-exploited dan 3 komoditas over-exploited). Sementara WPPNRI 714 Laut Banda, status pemanfaatan didominasi fully and over-exploited (2 komoditas berstatus moderate, 4 komoditas fully-exploited dan 3 komoditas over-exploited) dan WPPNRI 718 Laut Arafura, status pemanfaatan fully and over-exploited (7 komoditas berstatus fully-exploiteddan 2 komoditas over-exploited). 

Selain rawan eksploitasi dan degradasi lingkungan, LIN ditakutkan akan menurunkan kesejahteraan lokal yaitu beralihnya nelayan tradisional lokal dan budayanya. LIN ditakutkan hanya dibuka untuk kebutuhan daya tarik investasi asing, Faktanya berdasarkan data BKPM, penanaman modal asing (PMA) sektor perikanan di semester I-2020 didominasi oleh China dengan besaran share mencapai 70.55%. Berdasarkan lokasi, sekitar 70% PMA itu banyak ditanam di wilayah Maluku dan Papua. Padahal jumlah nelayan tradisional atau nelayan skala kecil di Provinsi Maluku ada sebanyak 163.441 orang dan di Maluku Utara sebanyak 34.944 orang. Mereka tentunya memiliki harapan yang tinggi untuk dapat hidup makmur; dapat menangkap ikan dengan aman dan nyaman tanpa harus diintai dan diliputi rasa cemas akan bergesekan dengan pihak lain, terutama pihak asing.

LIN sekarang berjalan berdampingan dengan kebijakan yang juga “memanjakan” investor asing dan pelaku industri perikanan besar dalam negeri yaitu penangkapan ikan terukur (PIT) dengan skema zonasi dan kuota. Kebijakan dengan skema ini lagi-lagi mempunyai resiko yang terlalu besar bagi kelautan dan perikanan Indonesia. Terlalu besarnya resiko konflik sosial dan lingkungan juga mengintai kesejahteraan masyarakat pesisir. Alih-alih mensejahterakan nelayan tradisional dengan menjadikan mereka “raja” di laut sendiri, Pemerintah justru memaksa nelayan tradisional untuk hidup berdampingan dengan pemain-pemain besar di industri perikanan yang dilengkapi armada kapal ikan berukuran lebih dari 30 GT (gross tonage). Mereka yang tidak mampu bersaing, terpaksa ikut arus menjadi pemain figuran dalam drama kepemilikan laut dan sumberdaya perikanan Indonesia. 

Tertundanya LIN mungkin menjadi pertanda bagi Pemerintah untuk merevisi dan mengganti proyek ini menjadi proyek yang lebih pro masyarakat pesisir dan nelayan tradisional. Penguatan pemberdayaan nelayan dari akar rumput misalnya. Diharapkan masyarakat pesisir dan nelayan skala kecil bisa memperoleh keuntungan tambahan dari usaha berbasis komoditas wilayah perikanan yang bisa berwujud budidaya perikanan ataupun pengolahan dan penjualan produk hasil laut yang berkualitas dan memenuhi standard. Jangan sampai, LIN hanya menjadi akal-akalan untuk menghadirkan rejeki dan surga bagi para investor dan kegiatan ekspor, sementara keji dan menghasilkan nestapa bagi para nelayan tradisional yang hanya bisa mengekor.

******