Kebijakan penangkapan ikan terukur yang sudah digaungkan Pemerintah dengan sistem kontrak, baru-baru ini diubah menjadi penangkapan ikan terukur berbasis kuota dengan perizinan khusus. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di akhir Agustus 2022 yang lalu dalam satu kesempatan secara online, membahas mengenai kebijakan ini. Terdapat agenda yang dibeberkan yaitu proses pembuat regulasi Menteri terkait PIT yaitu Rancangan Peraturan Menteri KP tentang Zona Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Keputusan Menteri KKP ini nantinya disusun untuk mendukung implementasi PIT yang tertata baik, efisien, dan seimbang sesuai prinsip Ekonomi Biru berdasarkan pada aspek-aspek terkait yaitu: sumber daya ikan dan kelestariannya, lingkungan dan kesehatan laut, teknis dan operasional usaha perikanan, serta sosial ekonomi atau tingkat pemanfaatan dan peluang pengembangan (investasi).
Mengutip dari statement Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono dalam keterangan resminya, akan ada lima strategi Ekonomi Biru yang KKP jalankan dalam implementasi kebijakan ini. Pertama adalah program perluasan kawasan konservasi terbatas dengan target 30% dari seluruh perairan. Nantinya kawasan ini akan diberdayakan sebagai zona spawning/ nursery ground dan juga untuk menjaga serapan karbon dan memproduksi oksigen. Kemudian yang kedua adalah PIT itu sendiri. Ketiga adalah program pengembangan budidaya perikanan. Program ini diharapkan mendorong nelayan di zona PIT untuk beralih ke perikanan budidaya. Selanjutnya adalah program yang menjamin wilayah pesisir dan pulau-pulau terkecil, dan yang terakhir adalah program ekonomi sampah yang melibatkan nelayan lokal dan industri untuk mengambil sampah di laut.
Jika Pemerintah di satu sisi sedang bersiap-siap menggelar karpet merah bagi rilisnya implementasi kebijakan ini, di sisi lain, nelayan Indonesia justru menjerit menghadapi kebijakan ini. Salah satunya adalah nelayan tradisional di Kepulauan Riau. Diwakilkan oleh Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Bintan Syukur Harianto, ada beberapa hal yang mereka khawatirkan. Pertama, lemahnya pengawasan karena kurangnya armada yang memadai, kebijakan ini dikhawatirkan memicu perikanan eksploitatif. Kedua, mereka khawatir bahwasanya dalam implementasi di lapangan, pelaku-pelaku industri perikanan skala besar ini akan secara tertib dan patuh dalam menangkap ikan sesuai dengan kuota dan zona yang sudah ditetapkan Pemerintah.
Ketakutan yang sama juga disuarakan Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas, Dedi Syahputra. Ia mengungkapkan kekecewaannya akan Pemerintah yang lebih berpihak pada korporasi dan terkesan mengenyampingkan nelayan tradisional. Ia menambahkan, alih-alih menuntaskan illegal fishing, Pemerintah justru mengundang lebih banyak kapal besar dari luar daerah dan luar negeri ke dalam wilayah perairan lokal.
Ketakutan ini bukan hanya dipikirkan oleh nelayan di Riau dan Anambas, nelayan tradisional di pulau Jawa pun juga sama. Dalam skema PIT berbasis kuota ini, nelayan diminta untuk tergabung dalam Koperasi Nelayan guna memiliki daya tawar lebih kompetitif untuk mengakses kuota tangkapan ikan. Kondisi itu dikatakan Ketua HNSI Jateng Riswanto, meninggalkan kesan bahwa koperasi nelayan hanya untuk merespons kebijakan penangkapan ikan terukur. Selain itu, nelayan kecil dipaksa ‘satu lahan’ dengan industri besar yang tentunya memiliki armada penangkapan mulai dari ukuran kapal dan alat penangkapan ikan (API) yang lebih besar.
Jeritan nelayan dari berbagai provinsi di Indonesia coba diwakilkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Komisi IV Fraksi PDI-P, Yohanis Fransiskus Lema dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Alimin Abdullah. Fransiskus mempertanyakan bagaimana kemampuan negara untuk menjaga ekosistem laut dan cadangan ikan jika kebijakan itu diterapkan (Kompas, 2022). Ia menambahkan, goresan sejarah di tahun 1969-1980 dalam Banda Sea Agreement antara Jepang dan Indonesia di bidang zonasi dan kuota penangkapan, terbukti justru merugikan Indonesia. Sementara Alimin Abdullah menilai Indonesia masih lemah dalam pengawasan laut. Masih banyaknya kapal ikan asing yang mencuri di laut Indonesia menjadi bukti lemahnya pengawasan dan sumber ketidaksejahteraan nelayan Indonesia.
Terlalu banyak permasalahan kelautan dan perikanan Indonesia yang masih menjadi “PR” dari kepemimpinan-kepemimpinan yang lalu, seperti illegal fishing yang dilakukan kapal ikan asing dan penertiban API terlarang yang masih banyak dijumpai di kapal-kapal nelayan lokal. Permasalahan ini saja belum beres dan KKP ingin menambahkan daftar tanggungjawab yang lebih besar lagi? KORAL mempertanyakan sejauh mana tanggungjawab dan kemampuan Pemerintah saat mengimplementasikan kebijakan ini. Sejauh mana kemampuan armada Pemerintah dalam menertibkan, mengawasi, dan memastikan tidak adanya celah dan tindak penyelewengan dalam program PIT berbasis kuota. Selain itu, lima strategi yang disuarakan KKP, agaknya justru mengalihkan nelayan tradisional untuk meninggalkan industri perikanan tangkap dengan beralih ke budidaya dan menjadi “penjala” sampah di laut. Akankah ini kemudian adil? Sebenarnya ke arah mana ke berpihakan KKP? Nelayan tradisional dan masyarakat pesisir atau industri perikanan skala besar baik dari dalam dan ataupun luar negeri?
******