Pernyataan Sikap KORAL dan Tim 9 terhadap Penangkapan Kapal Diduga Terlibat IUU Fishing dan Indikasi Perdagangan Manusia di WPP 718 oleh PSDKP KKP 

Pada 14 April dini hari, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap kapal ikan Indonesia KM Mitra Utama Semesta (MUS) di perairan Laut Arafura, Maluku. 

Penangkapan tersebut dilakukan usai KM MUS diduga melakukan alih muatan (transshipment) ikan secara ilegal, menyelundupkan bahan bakar minyak (BBM), dan terindikasi terlibat perdagangan manusia terhadap para awak kapalnya. Praktik alih muatan dan penyelundupan BBM diduga berkomplot dengan kapal ikan asing tak berizin, Run Zeng (RZ) 03 dan RZ 05, yang hingga saat ini masih dalam tahap pengejaran. Dugaan terjadinya praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing) menguat.

KKP dalam keterangan resminya menyatakan bahwa mereka menemukan 100 ton ikan hasil alih muatan dari RZ 03 dan RZ 05 dalam waktu lima hari berturut-turut, 870 drum setara dengan 150 ton BBM, dan 55 anak buah kapal (ABK) Perikanan di KM MUS. Sebagian besar BBM sudah didistribusikan ke RZ 03 dan RZ 05.

Kami, gabungan lintas koalisi dari Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) dan Tim 9, menemukan sejumlah temuan lain, menyusun analisis, serta menyampaikan sejumlah desakan kebijakan bagi KKP untuk meminimalisir kasus serupa terulang.

Berikut sejumlah temuan dan analisis kami:

  1. Benang Merah antara KM MUS dan RZ  

Menurut data dari KKP, KM MUS mendapatkan izin sebagai kapal pengangkut ikan. Dari data perizinan kapal yang kami telusuri, KM MUS dimiliki oleh Astri Wieta, yang surat elektronik pribadinya terafiliasi dengan PT Satya Trinadi Komira Perkasa (Komira). Laman resmi PT Komira menunjukkan perusahaan itu dipimpin oleh Yusuf Ramli, suami dari Astri. Dari data perusahaan yang tercatat di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), kami menemukan seorang komisaris PT Komira yang beralamat di Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sampai di sini, kami menduga ada keterhubungan antara KM MUS dengan RZ 03 dan RZ 05 karena dua kapal tersebut tercatat pernah berlabuh di Pelabuhan Ratu pada 19 Oktober 2023.

  1. ABK dalam Pusaran Kerja Paksa yang Terindikasi TPPO

Dari aduan yang disampaikan kepada National Fisher Center (NFC), kami temukan sejumlah dugaan pelanggaran ketenagakerjaan pada kasus ini: penipuan, gaji tak dibayar, eksploitasi terhadap kerentanan pekerja, dan kondisi kerja yang buruk.

Kami mendapat kesaksian dari seorang ABK Perikanan yang bekerja di kapal KM MUS. Saat pertama kali melamar kerja, ia mengaku sama sekali tidak tahu akan bekerja di kapal apa, menangkap ikan apa, maupun menggunakan alat pancing apa. Proses keberangkatannya sempat beberapa kali tertunda lantaran seorang perantara menyebut harus ada minimal 60 ABK supaya kapal bisa berangkat. 

Saat berangkat menuju Laut Arafura, ia dan para ABK Perikanan lainnya baru mengetahui akan bekerja di “kapal China, berbadan besi, dan besar”. Ketika tiba di Laut Arafura, ia melihat kapal berbadan besi namun dengan bendera Indonesia dan para pekerjanya asal China. Ia dan para ABK lainnya langsung melakukan alih muatan hasil tangkapan dari RZ ke KM MUS, sembari mendengar banyak kisah buruk dari para ABK kapal RZ.

Kami menduga kuat ada praktik kerja paksa yang terjadi dalam kasus penangkapan KM MUS. Lewat pengaduan ke NFC yang dikelola Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia—salah satu organisasi koalisi kami, seorang ABK bercerita bahwa awal dirinya tertarik karena mendapat informasi lowongan kerja di sebuah kapal jaring melalui Facebook pada Maret. Pada unggahan itu, tercantum gaji sebesar Rp2 juta, Tunjangan Hari Raya (THR) sebesar Rp2 juta, premi sebesar Rp500 ribu, hingga fasilitas seperti makan tiga kali sehari dan rokok. Ada juga janji pinjaman uang berkisar Rp5 juta-Rp7 juta. Setelah menyerahkan foto identitas pribadi, ia dijemput dan dibawa menuju penginapan sementara di Pati, Jawa Tengah.

Pada 26 Maret 2024, ia beserta ABK Perikanan lainnya berangkat dengan KM MUS dari Pelabuhan Perikanan Pantai Juwana, Pati, menuju sebuah kapal jaring di perairan Kepulauan Aru, Maluku. Mereka berangkat tanpa Perjanjian Kerja Laut (PKL), kendati agen penyalur berjanji secara lisan soal gaji, THR, dan premi yang nominalnya sesuai dengan iklan di Facebook dan akan ditransfer ke keluarga. 

(Laporan kronologi yang disediakan NFC mengungkapkan korban, yang mengetahui akan bekerja di kapal ikan asing, tidak memiliki paspor selama berada di atas kapal. ABK yang akan bekerja di kapal ikan asing harus memiliki, tapi tidak terbatas pada, Buku Pelaut, sertifikat Basic Safety Training (BST), PKL dan paspor. Ketiadaan paspor pada korban turut mengindikasikan dugaan TPPO dalam kasus ini.)

Pada 7 April 2024, para ABK tiba di perairan Kepulauan Aru, yang lokasinya tidak jauh dari Pulau Panambulai, dan langsung dipindahkan ke RZ 03 dan RZ 05. Di atas dua kapal itu, mereka menggantikan posisi ABK yang sudah bekerja terlebih dahulu. Setelahnya, ia dan 54 ABK lainnya langsung mulai alih muat ikan hasil tangkapan dari dua kapal tersebut ke KM MUS.

Satu hari setelahnya, 8 April, ia meminta THR dan premi yang dijanjikan agen penyalur kepada kapten kapal lewat seorang penerjemah. Namun, kapten kapal bilang bahwa ia sebagai pekerja baru tidak memiliki hak THR dan premi. Premi hanya diberikan kepada ABK sebelumnya. Ia sempat menghubungi seorang perantara di Pati lewat sambungan telepon. Perantara tersebut bilang THR semua ABK Perikanan akan dikirim ke keluarga masing-masing. Setelah dikonfirmasi ulang, kapten kapal mengklaim tak mengetahui apapun soal THR. Ia merasa kesal dan mengancam akan mogok kerja serta minta untuk dipulangkan.

Mendengar ancaman tersebut, nakhoda kapal yang seorang warga negara China justru mengancam balik dan melakukan sejumlah intimidasi. Mendengar ancaman semacam itu, para ABK akhirnya kembali bekerja dalam keadaan terpaksa. Mereka juga makan dari sisa awak kapal asal China. Pada 10 April, mereka kembali mogok kerja dan minta dipulangkan. Sebanyak 30 ABK berencana terjun ke laut jika permintaan mereka tidak dipenuhi. Akhirnya, kapten kapal bilang bahwa mereka akan dipulangkan usai alih muatan hasil tangkap selesai.

Setelah alih muatan hasil tangkap selesai pada 11 April, permintaan para ABK tak kunjung dipenuhi. Sebaliknya RZ 03 dan RZ 05 berencana melanjutkan perjalanan dan mulai menangkap ikan lagi. Akhirnya, pada 13 April, ia dan lima ABK lainnya nekat lompat ke laut. Mereka diselamatkan kapal purse seine. Sayang, satu dari enam ABK yang tidak diketahui identitasnya dinyatakan hilang di tengah laut.

  1. Kondisi Perikanan Kepulauan Aru

Merujuk data Komisi Nasional Kelembagaan Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN), Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 718, Kepulauan Aru termasuk di dalamnya, didominasi oleh stok ikan dengan status penangkapan penuh dan berlebihan. Menurut kami, potensi sumber daya perikanan yang sangat besar ini seharusnya bisa meningkatkan perekonomian nelayan lokal. Oleh karena itu, menurut kami, menjadi sebuah ironi ketika praktik IUU fishing yang eksploitatif justru masih kerap terjadi di wilayah-wilayah dengan sumber daya perikanan yang melimpah tanpa batasan yang jelas dan pengawasan ketat, seperti terjadi pada kasus KM MUS dan RZ di Kepulauan Aru.

  1. RZ di Perairan Indonesia

Berdasarkan deteksi Automatic Identification System (AIS) yang dilakukan IOJI, lokasi terakhir kapal Run Zeng 05 di Teluk Ambon pada 31 Januari 2024. Kapal Run Zeng 03 dan Run Zeng 05 juga sempat lego jangkar di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Melihat lebih jauh ke belakang, kapal Run Zeng 05 berangkat dari Pelabuhan Taizhou, China pada 11 April 2023. Sementara Run Zeng 05 terdeteksi memasuki Pelabuhan Bayah, Provinsi Banten pada 19 Oktober 2023.

Catatan historis kapal Run Zeng 03 dan Run Zeng 05 dari Lloyd’s Intelligence menunjukkan kapal Run Zeng 05 sempat diperiksa oleh otoritas pelabuhan di Tanjung Priok, Jakarta pada 3 Mei 2023. Dari hasil pemeriksaan tersebut, ditemukan sejumlah defisiensi terkait standar kompetensi dan keselamatan ABK serta pengelolaan limbah.

Indonesia adalah salah satu negara yang ikut meratifikasi Port States Measures Agreement (PSMA), suatu perjanjian internasional yang mengikat untuk menangani IUU fishing dengan menerapkan pengawasan di negara pelabuhan. Perjanjian ini bertujuan menghalangi kapal-kapal yang terindikasi melakukan IUU fishing beroperasi di pelabuhan perikanan negara-negara ratifikasi. Indonesia telah meratifikasi PSMA melalui Peraturan Presiden No. 43 Tahun 2016 tentang Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing

Sebagai negara yang telah meratifikasi PSMA, Indonesia berhak untuk menolak kapal yang terindikasi IUU fishing untuk masuk ke pelabuhan atau menggunakan pelabuhan. Bahkan, Indonesia juga berwenang untuk mencabut izin, memasukkan kapal ke dalam daftar hitam di organisasi pengelolaan perikanan regional, serta membatasi akses pasar.

Dalam kasus yang melibatkan RZ, Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi PSMA memiliki beberapa kewajiban.

Pertama, penguatan penegakan hukum. Apalagi, Indonesia punya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 39 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Ketentuan Negara Pelabuhan Untuk Mencegah, Menghalangi, Dan Memberantas Penangkapan Ikan Secara Ilegal, Tidak Dilaporkan, Dan Tidak Diatur. Peraturan itu mencakup pelaksanaan, mekanisme, dan prosedur kapal asing masuk ke pelabuhan, pelatihan dan sertifikasi petugas PSMA, serta pemantauan dan pelaporan.

Kedua, perlunya bertukar informasi, termasuk menjalin kontak dengan negara bendera yang diwakili oleh kapal asing yang akan masuk ke wilayah perairan Indonesia untuk memastikan status legalitas izin kapal tersebut. Dalam kasus RZ yang berbendera Rusia, KKP perlu segera berkomunikasi diplomatik dengan negara yang bersangkutan. KKP perlu berkoordinasi dengan organisasi regional terkait pengelolaan perikanan atau Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs), yang berada di sekitar wilayah perairan Indonesia untuk memverifikasi izin penangkapan ikan RZ. Jika hasil pertukaran informasi ini menemukan ketidakcocokan status sebuah kapal yang mengajukan permohonan untuk masuk ke perairan perikanan Indonesia, KKP berhak menolak permohonan tersebut untuk mencegah kemungkinan IUU fishing.

Ketiga, perlunya penetapan pelabuhan perikanan. Karena telah meratifikasi PSMA, Indonesia butuh menetapkan pelabuhan pelaksana PSMA dan mempublikasikannya kepada Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Pelabuhan-pelabuhan yang ditunjuk akan menjadi tempat kapal ikan berbendera asing meminta izin untuk masuk sesuai dengan persetujuan pelabuhan. Hingga saat ini, ada empat pelabuhan sebagai tempat pelaksanaan PSMA: PPS Nizam Zachman (Daerah Khusus Jakarta), PPS Bungus (Sumatera Barat), PPS Bitung (Sulawesi Utara), dan Pelabuhan Benoa (Bali).

Berdasarkan deteksi terbaru dari Automatic Identification System (AIS), RZ juga sempat berlabuh di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Itu artinya, RZ masuk atau berada di pelabuhan yang bukan menjadi tempat pelaksanaan PSMA. Pelabuhan-pelabuhan tersebut tidak memiliki wewenang untuk mengizinkan kapal ikan berbendera asing masuk dan kurangnya kapasitas untuk melakukan fungsi pengawasan pemeriksaan kapal sesuai dengan ketentuan PSMA.

  1. Regulasi yang Tak Memadai

Dugaan praktik perdagangan orang dan kerja paksa yang terjadi di KM MUS hanyalah sedikit contoh dari sekian banyak contoh buruknya kondisi ABK yang jauh dari kerja layak. Salah satu faktor utamanya karena regulasi yang dimiliki Indonesia saat ini belum cukup untuk melindungi ABK, terutama menghadapi kasus-kasus kerja paksa yang melibatkan jaringan kejahatan transnasional di perairan Indonesia. 

Indonesia memang memiliki sejumlah regulasi untuk melindungi awak kapal. Mulai dari Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2016 tentang Pelindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, Peraturan Presiden No. 43 Tahun 2016 tentang Pengesahan PSMA, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 35 tahun 2015 Tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan, Undang-Undang No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, hingga Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2021 tentang Log Book Penangkapan Ikan, Pemantauan Di Atas Kapal Penangkap Ikan Dan Kapal Pengangkut Ikan, Inspeksi, Pengujian, Dan Penandaan Kapal Perikanan, Serta Tata Kelola Pengawakan Kapal Perikanan yang di dalamnya juga mengakomodasi perlindungan terhadap awak kapal perikanan. Namun, nyatanya itu semua tidak cukup.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah menerbitkan Konvensi ILO 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan pada 2007. Konvensi tersebut secara khusus mengatur standar pelindungan bagi para pekerja di sektor kelautan dan memuat sejumlah pembaruan dalam upaya pelindungan pekerja di sektor industri perikanan agar tak terjebak dalam praktik kerja paksa, perbudakan modern, dan perdagangan manusia. Namun hingga hari ini Indonesia belum meratifikasi konvensi ini.

Berdasarkan temuan dan analisis di atas, kami, gabungan lintas koalisi dari KORAL dan Tim 9 mendesak:

  1. Pemerintah Indonesia untuk menghukum tegas pemilik kapal KM MUS yang diduga terlibat berkomplot dengan kapal ikan asing dalam alih muatan ikan secara ilegal, penyelundupan BBM, hingga praktik perdagangan orang dan kerja paksa di atas kapal.
  2. Pemerintah Indonesia untuk mengejar dan menghukum dengan tegas pemilik kapal RZ 03 dan RZ 05 yang diduga terlibat berkomplot dengan kapal ikan Indonesia dalam alih muatan ikan secara ilegal, penyelundupan BBM, hingga praktik perdagangan orang dan kerja paksa di atas kapal.
  3. Pemerintah Indonesia untuk membongkar jaringan regional dan global yang terafiliasi dengan KM MUS dan RZ yang berpotensi mengulang praktik IUU fishing dan perdagangan orang serta kerja paksa bagi para ABK.
  4. Pemerintah Indonesia, khususnya KKP, perlu mengoptimalkan keberadaan dan fungsi pelabuhan pelaksana PSMA. KKP perlu menyosialisasikan kedua hal tersebut kepada seluruh jaringan pelabuhan yang ada. Upaya tersebut akan mendorong kejelasan otorisasi dalam pemberian izin bagi kapal asing untuk memasuki wilayah perairan Indonesia,  serta pemeriksaan sesuai standar-standar PSMA. Itulah mengapa KKP juga perlu meningkatkan kapasitas petugas pelabuhan PSMA untuk bisa menjalankan inspeksi yang diwajibkan oleh pelabuhan pelaksana PSMA.
  5. Pemerintah Indonesia, khususnya KKP, untuk menambah jumlah pelabuhan pelaksana PSMA. Pasalnya hingga saat ini Indonesia hanya memiliki empat pelabuhan pelaksana saja. Padahal, menurut data statistik, saat ini ada 567 pelabuhan perikanan di Indonesia. Indonesia, sebagai negara kepulauan dan salah satu produsen ikan terbesar di dunia, kalah dengan Thailand yang memiliki 26 pelabuhan pelaksana PSMA. Penambahan pelabuhan pelaksana PSMA diharapkan dapat memperkuat pemantauan yang efektif dan komprehensif untuk memitigasi praktek IUU fishing di Indonesia.
  6. Pemerintah Indonesia, khususnya KKP, untuk meninjau ulang implementasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 35 tahun 2015 Tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan. Salah satunya dengan segera membentuk Tim HAM Perikanan. Sejauh ini, mandat pembentukan Tim HAM Perikanan belum dijalankan dengan baik.
  7. Pemerintah Indonesia, khususnya KKP dan otorita pelabuhan wewenang provinsi, perlu memberlakukan mekanisme perekrutan ABK yang baik, yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2021 tentang Log Book Penangkapan Ikan, Pemantauan Di Atas Kapal Penangkap Ikan Dan Kapal Pengangkut Ikan, Inspeksi, Pengujian, Dan Penandaan Kapal Perikanan, Serta Tata Kelola Pengawakan Kapal Perikanan, khususnya keharusan ABK untuk memiliki PKL yang disahkan di depan Syahbandar pelabuhan sebagai salah satu persyaratan penerbitan Surat Persetujuan Berlayar. 
  8. Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Dengan meratifikasi Konvensi ILO 188, standar kerja layak akan lebih mudah diimplementasikan dan kasus-kasus TPPO serta kerja paksa di atas kapal dapat diminimalisir dengan mekanisme yang lebih jelas.

Indonesia, 1 Mei 2024

Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL)

Koalisi yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil non pemerintah yang memiliki fokus kerja dan kampanye mewujudkan tata kelola perikanan dan kelautan berkelanjutan. KORAL didirikan pada tahun 2020 dan terdiri dari 9 organisasi, yakni: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Yayasan EcoNusa, Pandu Laut Nusantara, Greenpeace Indonesia, Destructive Fishing Watch (DFW), Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI) dan Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL).

Tim 9

Koalisi informal sejumlah individu perwakilan masyarakat sipil berlatar belakang beragam dari elemen serikat pekerja, asosiasi perikanan, manning agency, dan akademisi yang fokus mengadvokasi perbaikan kebijakan tata kelola pekerja perikanan Indonesia. Mereka adalah anggota atau terlibat dalam institusi atau organisasi seperti Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), Kesatuan Pelaut dan Pekerja Perikanan Indonesia (KP3I), Human Rights Working Group (HRWG), Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Indonesia Sulawesi Utara (SAKTI Sulut), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Sumatera Environmental Initiative (SEI) , Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Greenpeace Indonesia, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Environmental Justice Foundation (EJF), Serikat Buruh Perikanan Indonesia (SBPI) dan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI).

***

Koordinator Sekretariat KORAL, Mida Saragih

081322306673

Koordinator Tim 9, Syofyan

081317910638