Dalam rangka memperingati hari laut sedunia tahun 2023, Walhi dan masyarakat Pulau Pari menyeru dunia internasional untuk menyelamatkan laut serta mewujudkan keadilan iklim. Hal ini dikumandangkan dari Berlin, Jerman, setelah beberapa hari menjalankan kampanye internasional, guna menggalang dukungan global untuk gugatan iklim Pulau Pari terhadap Holcim, perusahaan semen terbesar di dunia.
Menurut Walhi, laut merupakan penentu keseimbangan planet bumi yang memiliki peran sentral bagi keberlangsungan kehidupan. Tak hanya itu, laut juga menjadi sumber pangan bagi masyarakat dunia yang jumlah terus mengalami kenaikan signifikan.
Di dalam laporan The State of World Fisheries and Aquaculture (SOFIA) FAO 2022 disebutkan, laut telah menghasilkan ikan sebanyak 177,8 juta ton. Sebanyak 90,3 juta ton dihasilkan dari perikanan tangkap. Sementara itu, dari budidaya laut, produksinya sebanyak 33.1 juta ton. Laporan tersebut menyebut bahwa 7,8 miliar manusia yang menghuni planet bumi ini telah mengkonsumsi ikan sebanyak 157,4 juta ton.
Di Indonesia, laut telah menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan. Tak hanya itu, sekitar 200 juta orang Indonesia sangat memerlukan asupan protein hewani yang berasal dari laut. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, 2020) mencatat, angka konsumsi ikan sebanyak 54,56 kg per kapita. Angka ini naik signifikan dari tahun 2015 yang tercatat hanya 41,11 kg per kapita.
Namun, keberadaan laut terus terancam oleh ekspansi perusahaan multinasional yang memperluas industri ekstraktif, kebijakan nasional yang eksploitatif, dan krisis iklim.
Ancaman Industri Ekstraktif
Setidaknya, sebanyak 100 perusahaan multinasional selama ini terus mengeksploitasi sumber daya laut. Berdasarkan studi (2021) yang dilakukan oleh sejumlah ilmuwan dari Universitas Duke, Amerika Serikat, dan Universitas Stockholm, Swedia, 100 perusahaan tersebut bergerak di sejumlah bidang, yaitu minyak dan gas, pariwisata, pertambangan pasir laut, dan lain sebagainya.
Tabel 1. Sumber daya dan sektor kelautan yang dikuasai oleh 100 perusahaan multinasional dunia.
Sumber Daya/Sektor | Revenue/Pendapatan (Miliar Dollar AS)* |
Minyak dan gas | 830 (45%) |
Peralatan dan konstruksi laut (Marine Equipment and Construction) | 354 (19%) |
Makanan laut (Seafood) | 276 (15%) |
Pengiriman Kontainer | 156 (8%) |
Pembuatan dan perbaikan kapal | 118 (6%) |
Wisata Kapal pesiar | 47 (3%) |
Kegiatan Pelabuhan | 38 (2%) |
Angin lepas pantai (offshore wind) | 37 (2%) |
Secara global, data tersebut menjelaskan, lautan dunia sejak lama telah dieksploitasi oleh raksasa industri ekstraktif, terutama minyak dan gas, serta peralatan dan konstruksi laut, khususnya kapal-kapal yang melakukan penambangan pasir laut. Mereka itulah yang terbukti telah menguras dan menghancurkan kelestarian laut serta memperparah krisis iklim. Beberapa nama perusahaan yang dapat disebut adalah Shell Royal Dutch yang bermarkas di Belanda, Exxon Mobil yang bermarkas di Amerika Serikat, dan Boskalis yang bermarkas di Belanda.
Ancaman Kebijakan Nasional
Di Indonesia, kebijakan nasional yang dilegitimasi oleh peraturan perundangan, turut mempercepat kerusakan laut. UU Minerba, UU Cipta Kerja, PP Penangkapan Ikan terukur, dan PP Pengelolaan Sedimentasi di Laut, merupakan peraturan yang diproduksi oleh Pemerintah Pusat dan DPR RI, yang akan menghancurkan laut.
PP Pengelolaan Sedimentasi di Laut adalah contoh yang paling sempurna terkait dengan rencana penghancuran laut di Indonesia. Betapa tidak, PP ini akan melegalkan pertambangan pasir laut dan akan mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil serta desa-desa pesisir di seluruh Indonesia.
Berdasarkan studi Walhi (2021), pertambangan pasir laut telah menyebabkan sejumlah hal berikut:
- Aktivitas tambang pasir telah membuat air laut menjadi keruh. Banyak Nelayan telah menjual perahu milik mereka untuk menyambung hidup.
- Ketinggian dan arus ombak berubah drastis. Semenjak adanya aktivitas tambang pasir laut, ombak semakin meninggi. Sebelum adanya aktivitas tambang pasir laut, ketinggian ombak hanya mencapai sekitar satu meter tetapi saat ini sudah mencapai tiga meter. Selain ombak yang tinggi, Nelayan juga kesulitan menghadapi arus ombak yang datang tanpa jeda, sehingga menyulitkan mereka untuk mencari ikan di perairan tersebut.
- Aktivitas kapal tambang pasir laut merusak terumbu karang di wilayah tangkap mereka;
- Timbulnya ketakutan akan dampak abrasi akibat tambang pasir laut, sebab Nelayan telah melihat dan menyaksikan dengan sendiri bagaimana perubahan lingkungan di sekitaran pulau mereka;
- Beberapa nelayan telah meninggalkan kampung halaman beserta istri dan anak untuk menyambung hidup.
- Perubahan arus ombak di sekitaran perairan yang telah ditambang telah menimbulkan kecelakaan sesama nelayan dan juga menenggelamkan perahu milik nelayan yang sedang melaut.
- Tambang pasir laut telah menghancurkan ekosistem laut yang berdampak pada peningkatan beban gender bagi perempuan.
- Anak-anak putus sekolah karena tidak adanya hasil tangkapan melaut.
- Di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, pertambangan pasir laut telah terbukti menenggelamkan sekitar 6 pulau kecil.
- Sementara itu, di Lombok Timur, NTB, tambang pasir laut telah memaksa nelayan setempat untuk melaut sampai ke perairan Sumba, NTT.
Ancaman Krisis Iklim
Laut juga terancam oleh krisis iklim yang semakin memburuk. Krisis iklim, yang ditandai oleh naiknya temperatur global, akan memaksa terjadinya percepatan pemanasan air laut. Dampaknya, laut akan terus kehilangan oksigen sekaligus kehilangan kemampuan untuk menyerap karbon. Dalam jangka panjang, laut akan kehilangan kemampuannya untuk memproduksi pangan karena terjadinya pemutihan terumbu karang serta punahnya banyak spesies ikan. Situasi ini akan memicu terjadinya krisis pangan laut di Indonesia.
Krisis iklim juga telah memaksa terjadinya percepatan kenaikan air laut yang akan menenggelamkan ratusan pulau kecil serta desa pesisir di Indonesia. Dampaknya, pada masa yang akan datang, banyak orang yang akan kehilangan tempat tinggal dan menjadi pengungsi iklim.
Atas dasar itu, Walhi bersama masyarakat Pulau Pari menyerukan dunia internasional, termasuk kepada pemerintah di negara-negara utara (global north), serta pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan laut dari tiga ancaman, yaitu ancaman industri ekstraktif yang dilakukan oleh perusahaan multinasional yang mengeruk dan mengeksploitasi sumber daya laut. Tak hanya itu, negara-negara utara didesak untuk mengevaluasi dan menghentikan investasi yang akan memperparah kerusakan di lautan dunia.
Pemerintah Indonesia didesak segera mengevaluasi dan mencabut beragam peraturan perundangan serta mencabut kebijakan yang akan menghancurkan kelestarian laut. Reklamasi, tambang pasir laut, serta tambang migas, merupakan tiga contoh yang relevan disebut dalam konteks ini.
Terakhir, pemerintah di negara-negara utara harus segera menyepakati skema loss and damage untuk memulihkan kerusakan yang selama ini terjadi akibat krisis iklim. Bagi pemerintah Indonesia, dalam situasi ini harus segera disusun undang-undang keadilan iklim dalam rangka mewujudkan keadilan iklim.
***
Sumber Utama: Walhi