Masih segar di ingatan para pemerhati kelautan dan perikanan mengenai kasus Pelabuhan Benjina. Pelabuhan yang terletak di timur Indonesia, tepatnya di Kepulauan Aru, Maluku yang sempat menggemparkan dunia kelautan dan perikanan beberapa tahun lalu. Pelabuhan ini dikelola oleh pihak swasta dan sempat beroperasi hingga 2014, namun aktivitasnya ibarat lentera kekurangan minyak dan perlahan redup. Terutama setelah terbongkarnya kasus perbudakan anak buah kapal (ABK) asing yang bekerja di salah satu perusahaan perikanan disana.
Namun tidak mau mengenyampingkan peluang besar, Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KKP), Sakti Wahyu Trenggono, dalam kunjungan kerjanya ke Maluku November lalu, meminta agar pelabuhan ini kembali dihidupkan pada tahun 2022. Menteri KKP ini menjelaskan bahwa keberadaa pelabuhan ini sangat mendukung program Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan implementasi agenda serta kebijakan terbaru yaitu penangkapan terukur yang mulai diberlakukan pada awal tahun ini. Kembali beroperasinya Pelabuhan Benjina didasarkan juga pada alasan mulia bahwa pelabuhan ini dianggap penting untuk menyokong masyarakat pesisir dan disekitarnya yang berprofesi sebagai nelayan karena daya tampung dermaga Benjina mencapai hingga 100 kapal dengan panjang dermaga hingga 62 meter.
Pembukaan kembali Pelabuhan Benjina menjadi salah satu tanda keseriusan Pemerintah dalam memberdayakan semua fasilitas dan prasarana yang ada untuk mendukung program perikanan tangkap terukur. Namun pertanyaannya adalah, apakah kemudian perikanan tangkap terukur betul-betul didedikasikan untuk nelayan lokal dan masyarakat pesisir? Apakah pihak asing, dalam bentuk apapun, tidak akan ikut andil dalam kebijakan ini? Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam salah satu wawancaranya dengan pihak media (Antara, 30 Desember 2021) menegaskan bahwa tidak ada kapal ikan asing yang akan beroperasi secara legal untuk menangkap ikan di kawasan perairan nasional karena semuanya harus berbadan hukum perusahaan Indonesia.
Namun ditegaskan juga bahwasanya memang secara teknis, tidak akan ada kapal ikan asing yang beroperasi, namun modal yang diberikan tentunya bisa dan “sangat wajar” apabila dimiliki mereka. Sistem kuota dan kontrak yang menjadi esensi dari kebijakan baru ini sangat patut dibedah dengan lebih presisi dan direfleksikan kembali. Pemanfataan sumber daya ikan di laut dan alam Indonesia wajib hukumnya ditujukan untuk keselamatan dan kesejahteraan hayat hidup generasi bangsa ini. Kehadiran negara bukan untuk “menjamu” dengan kertas memorandum of understanding dan melelangkan alam dan sumber dayanya ke pihak asing. Negara bagaimanapun, tidak boleh kehilangan harga diri dalam fungsi pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan sumber daya alam dan sumber daya ikan, terlepas siapapun yang menanamkan modalnya.
Data yang diungkap terkait eksploitasi perikanan dalam kajian pemerintah di tahun 2011. (Gambar: Katadata)
Sistem kontrak yang diberlakukan oleh kebijakan ini agaknya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 Ayat (3) yang menegaskan dan mengamanatkan negara untuk mengedepankan pemenuhan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penanaman modal asing dan badan usaha asing yang bergerak di sektor kelautan dan perikanan dengan adanya kontrak pemanfaatan sumber daya ikan didalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia bukan hanya harus disikapi dengan sangat hati-hati, tapi juga dibekali pengetahuan, kebijaksanaan, strategi jangka panjang, dan mitigasi serta solusi untuk segala celah kesalahan dan penyalahgunaan. Tentunya Pemerintah masih ingat “borok” kelautan dan perikanan di tahun 2000-2014, dimana pada saat itu, kapal ikan asing dan eks-kapal ikan asing dengan mudahnya “melenggang cantik” di laut Indonesia. Bagaimana kemudian terjadi degradasi dalam kurun waktu 15 tahun itu, tingkat kepatuhan pelaku usaha dan pengawasan kepatuhan ini juga sangat rendah sehingga banyak terjadi tindak illegal, unregulated, unreported fishing (IUUF) seperti transhipment ilegal dan lain sebagainya. Hal ini tentunya berdampak pada eksploitasi ikan secara masif dengan data yang dikeluarkan pada tahun 2011 misalnya, bahwa tercatat penangkapan ikan telah melebihi batas yakni 82 persen dan belum termasuk tangkapan ilegal di tahun yang sama mencapai 25 persen (Katadata, 2016).
Nelayan dan pendaratan ikan di pinggir pantai. (Gambar: Antaranews)
Jika kemudian UUD 1945 betul-betul menjadi gubahan dasar dengan tekad dan niat yang betul-betul mulia untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia dan keberlanjutan laut, maka seharusnya Pemerintah berani untuk mempertahankan harga diri bangsa dengan mempertimbangkan kembali penanaman modal asing dalam pemanfaatan wilayah penangkapan ikan dan sumber daya ikan. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menambah pendapatan negara, melihat bahwa tujuan utama dari sejumlah program dan kebijakan baru dari pemerintah terkait sektor KP belakangan ini adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pertama adala mengoptimalkan peran BUMN Perikanan sebagai aparatur terdepan untuk mengelola perikanan Indonesia. Kedua, meningkatkan kualitas dan keterbaruan data dan laporan terkait kelautan dan perikanan termasuk didalamnya pendataan kapal yang beraktivitas hingga ke pelaporan hasil tangkapan atau pendaratan ikan. Sesudah itu, data yang dikumpulkan harus diperiksa ulang kebenarannya. Ketiga, melakukan koordinasi dengan Kementerian lain terkait seperti Kementerian Keuangan mengenai penerimaan negara dalam pajak maupun PNBP perikanan. Keempat, instrumen pengawasan dan penegakkan hukum yang kuat dan tegas. Kelima kelengkapan data dan prediksi efek dan resiko jangka pendek maupun panjang beserta mitigasinya. Serta yang terakhir adalah pemerataan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan dalam bentuk sarana, prasarana, dan ketersediaan pasar bagi masyarakat.
******