Jakarta, 12 Juli 2022
Enam orang warga Pulau Sangihe mendatangi Propam Mabes Polri untuk membuat pengaduan terkait dugaan pelanggaran etik anggota Kepolisian Resor Kepulauan Sangihe serta menggelar aksi di beberapa titik agar berbagai aktivitas tambang di Kepulauan Sangihe dihentikan. Koordinator SSI Jan Takasiaheng mengatakan, kunjungan keenam warga Sangihe ini adalah bentuk perlawanan untuk menjaga tanah leluhur mereka dari kerusakan. Selain itu, kunjungan ini juga merupakan desakan pada Pemerintah untuk turun tangan mengatasi konflik yang ada di Sangihe
“Kami datang dari jauh ke Ibukota untuk memperjuangkan hak kami, tanah leluhur kami. Sampai kapan pun, kami tidak akan membiarkan Sangihe dirusak dan dihancurkan. Di tanah Sangihe, ada ribuan orang menggantungkan penghidupan dari alam,” kata Koordinator SSI Jan Takasiaheng dalam Konpres yang di gelar di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (12/7/2022)
Koalisi Save Sangihe Island juga sudah melakukan serangkaian kunjungan ke berbagai lembaga mulai dari Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kantor Sekretariat Presiden (KSP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan sejumlah kementerian lembaga terkait.
Tuntutan warga masih sama yakni pembatalan aktivitas tambang di Pulau Sangihe. Tuntutan ini sejalan dengan putusan PTUN Manado yang mengabulkan gugatan 56 perempuan Sangihe yang menolak aktivitas tambang di tanah mereka. Namun kemenangan warga ini tak membuat PT. TMS menghentikan kegiatan terkait pertambangan.
Warga menuntut Pemerintah khususnya Kementerian ESDM untuk mengikuti putusan PTUN Manado yang telah membatalkan izin lingkungan PT. TMS. Apalagi jika berkaca pada putusan provisionil, selama proses hukum yang berjalan, segala aktifitas tambah harus ditangguhkan.
Tak hanya mendesak penghentian aktivitas oleh PT TMS, Koalisi SSI juga mendesak kepolisian untuk bersikap tegas menindak seluruh tambang ilegal yang beroperasi di tanah Sangihe. Salah satunya adalah aktivitas tambang ilegal di Tanah Merah, Kampung Bowone, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe yang semakin tak terkendali.
“Berbagai alat berat yang beroperasi di tambang ilegal itu berpotensi merusak lingkungan dan mengancam ekosistem di Kepulauan Sangihe,” kata Koordinator SSI Jan Takasiaheng
Koalisi SSI juga menyerukan agar Kapolri maupun Panglima TNI tidak melakukan tindakan represif, intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga Pulau Sangihe. Seperti diketahui, sebelumnya Robison Saul, salah satu warga Pulau Sangihe yang menolak keras kehadiran tambang di Pulau Sangihe ditangkap dan ditahan kepolisian dengan tuduhan membawa senjata tajam saat aksi penghadangan alat berat PT TMS pada 13 Juni 2022.
Langkah aparat Kepolisian yang secara cepat menetapkan Robison sebagai tersangka itu, janggal. Bahkan, penetapan Robison sebagai tersangka tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu.
Sementara itu, sejumlah CSO juga menyuarakan dukungan untuk warga Sangihe. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) – mengatakan, apa yang terjadi di Sangihe merupakan permufakatan jahat antara negara dan korporasi terhadap warga.
“Saya kira, kita tidak perlu menunggu perubahan iklim dan naiknya muka air laut untuk menenggelamkan Pulau Kecil Sangihe beserta seluruh kehidupan di sana, karena hal tersebut sedang dikerjakan dengan sungguh-sungguh oleh pengurus negara dengan memberikan perizinan tambang emas kepada PT. TMS,” kata Muh Jamil, Manajer Simpul dan Jaringan JATAM.
Bentuk lain kejahatan negara dan korporasi itu tercermin dari pembiaran aktivitas PT TMS, tanpa ada penegakan hukum apapun. Di saat yang sama, warga yang mempertahankan hak atas ruang hidupnya justru mendapatkan intimidasi dan upaya kriminalisasi. Keterlibatan aparat keamanan dalam hal ini TNI-Polri dalam pengawalan alat berat milik PT TMS tidak terlepas dari instruksi Presiden Joko Widodo kepada Kapolri terkait dengan pengamanan bisnis/investasi di berbagai daerah.
“Bahwa upaya mempertahankan tanah milik warga Sangihe justru dibalas dengan pengerahan kekuatan dalam hal ini aparat keamanan yang justru akan sangat berpotensi menimbulkan pelanggaran-pelanggaran HAM sebagaimana yang telah terlihat saat ini di Pulau Sangihe,” ujar Helmy Hidayat Mahendra, Staff Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS.
Di sisi lain, dalam rangkaian pertemuan dengan berbagai kementerian lembaga di Jakarta, Koalisi SSI dan KORAL (Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan) menyampaikan urgensi perlindungan Sangihe sebagai pulau kecil sekaligus juga urgensi penyelamatan ruang hidup masyarakat Sangihe. KORAL menyatakan bahwa, Pulau Sangihe masuk ke dalam kelompok pulau kecil (dengan luasan di bawah 2.000 km2) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 3 UU No. 1/ 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27/ 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Aktivitas tambang di pulau kecil berpotensi
membawa kerusakan di berbagai aspek, mulai dari kerusakan lingkungan, pencemaran, hilangnya keanekaragaman hayati dan ruang hidup masyarakat Sangihe yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan dan petani. Dan dalam berbagai catatan rekomendasinya, KORAL dan SSI menegaskan kepada segenap Kementerian Lembaga terkait agar menggunakan kewenangannya untuk ikut ambil serta dalam proses melindungi Kepulauan Sangihe, termasuk dalam hal memastikan agar PT TMS mematuhi putusan PTUN Manado dan berhenti menjalankan berbagai bentuk kegiatan pertambangan.
Download Press Release disini
Narahubung:
Jan Takasiaheng – Koordinator SSI – +62 823-4862-1456
Muh Jamil – Tim Hukum SSI/JATAM (0821-5647-0477)
Wiro Wirandi – Perwakilan KORAL (0812-337-9998)
Helmy Hidayat Mahendra – KontraS – +62 812-5926-9754