KOALISI SSI TOLAK TAMBANG EMAS YANG BERPOTENSI MERUSAK KEPULAUAN SANGIHE

Diaspora Sangihe dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Save Sangihe Island (SSI) mengadakan unjuk rasa secara damai pada Kamis, 7 Juli 2022 di Jakarta, tepatnya di depan gedung Dirjen Minerba Kementerian ESDM dan Kedutaan Besar Kanada. Unjuk rasa ini bertujuan untuk menghentikan dan mencabut izin operasi PT Tambang Mas Sangihe (TMS) yang masih mengirimkan alat berat ke lokasi tambang. 

“Pada 2 Juni 2022 lalu, PTUN Manado telah mengabulkan gugatan dari masyarakat Pulau Sangihe terkait izin lingkungan PT TMS,” kata perwakilan dari Koalisi SSI, Jan Takasihaeng. Dalam dokumen Kontrak Karya, PT TMS memiliki luas wilayah tambang di Pulau Sangihe sebesar 42.000 hektar. Nilai ini setara dengan 57% luas wilayah Pulau Sangihe yang mencakup tujuh kecamatan, 80 desa yang dihuni oleh 58.000 penduduk.

Meski belum mulai mengeruk emas hingga 2024, Komnas HAM dalam rilisnya menyebut kehadiran tambang emas berpotensi besar merusak lingkungan, salah satunya melalui pencemaran. Pattimahu (2021) dalam jurnalnya melaporkan bahwa penggunaan merkuri (logam berat beracun) dalam pertambangan emas dapat mencemari sumber mata air. Artinya, kehadiran tambang emas berpotensi mencemari sumber mata air di Kepulauan Sangihe yang mengairi 70 sungai dengan hampir 200 anak sungai.

Jika terjadi pencemaran di sungai, besar kemungkinan bahan pencemar akan sampai di laut. Masyarakat pesisir Kepulauan Sangihe bergantung pada ekosistem laut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kehadiran tambang emas tentu saja membuat para nelayan khawatir akan rusaknya sumber mata pencaharian mereka. Salah satu nelayan yang datang langsung dari Sangihe menuju Jakarta untuk menyampaikan pendapatnya adalah Ben Pilat.

“Yang terjadi sekarang adalah perusakan mangrove yang ada di area tambang. Karang yang ada di seputaran [tambang] itu juga sudah terpengaruh sedimentasi,” kata Ben. Sedimentasi akan membuat air keruh dan menghambat sinar matahari ke kolom perairan. Padahal, terumbu karang sangat memerlukan sinar matahari untuk dapat tumbuh dengan baik. 

Perusakan mangrove dan karang yang tertutup sedimen akan mengganggu bibit ikan yang tinggal di sekitarnya. Ikan-ikan yang berada pada puncak rantai makanan organisme akuatik dapat mengakumulasi logam berat dari air yang tercemar. Artinya, kualitas ikan tangkap akan terdampak oleh pencemaran yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan.

Tidak hanya itu, kawasan hutan lindung Gunung Sahendaruman berada dalam wilayah konsesi tambang emas di Kepulauan Sangihe. Wilayah itu adalah habitat alami burung langka, yakni Seriwang Sangihe (Eutrichomyias rowleyi) atau yang dikenal dengan nama lokal burung Niu hidup. Ada sembilan jenis burung endemik lainnya yang juga terancam akibat kehadiran tambang emas.

Dalam aksi itu juga dilakukan aksi simbolis pemberian putusan pengadilan oleh Koalisi SSI yang diwakili oleh Jull Takaliuang kepada perwakilan Dirjen Minerba ESDM. “Kami berharap segera ada tindak lanjut. Kemudian secara simbolik, 156 ribu orang di internasional menandatangani petisi yang diajukan oleh masyarakat menolak tambang,” kata Jull. 

Banyaknya dampak buruk yang akan ditimbulkan membuat masyarakat di Kepulauan Sangihe berharap untuk dihentikannya operasi tambang emas oleh PT TMS. Dalam hal ini, KORAL berada dalam posisi mendukung penuh Koalisi SSI. “Ketika air akan dipakai untuk mengolah emas maka kami akan mengolah sagu dengan air beracun,” kata Jull.

******