HARI AIR SEDUNIA: APA SAJA ANCAMAN BAGI KUALITAS AIR LAUT?

Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwasanya lebih dari 70% luasan bumi ini didominasi oleh air.  Sumber daya air di muka bumi yang mencapai 70% ini tidak bisa digunakan seluruhnya karena sebagian besar air di bumi berupa air laut yang mengambil bagian sekitar 97% dari total keseluruhan air dunia. Dilansir dari Kompas, Indonesia sendiri sebagai negara kepulauan menjadi satu dari enam negara yang memiliki 50% persediaan air minum dunia. Kita patut bersyukur karena sebagai archipelagic state, Indonesia memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta km2. Dari total luas wilayah tersebut, 3,25 juta km2 adalah lautan dan 2,55 juta km2 adalah Zona Ekonomi Eksklusif. Hanya sekitar 2,01 juta km2 yang berupa daratan (KKP, 2021).

Menyambut Hari Air Sedunia yang jatuh pada tanggal 22 Maret ini, KORAL ingin membahas sejumlah momok mengancam kualitas air laut dan tentunya seluruh tatanan biodiversitas didalamnya. Ada sejumlah masalah yang masih harus dibenahi, bukan hanya oleh mereka yang menduduki kursi kekuasaan, tetapi terlebih oleh manusia pada umumnya. Berikut beberapa ancaman genting bagi kualitas perairan kita, terutama air laut.

Sampah: Mengalir dari Darat, Bermuara Abadi di Laut

Pada tahun 2019, Peneliti Kimia Laut Dan Ekotoksikologi Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Reza Cordova, mengatakan bahwa setiap tahun laut Indonesia diperkirakan mendapat “kiriman” berupa sampah plastik bekas konsumsi manusia dengan jumlah antara 100 ribu ton hingga 400 ribu ton. Sampah tersebut didominasi oleh sampah plastik dengan range 36-38% dan sisanya adalah sampah lain seperti karet, logam, 

Ikan yang dibedah dan di dalam pencernaannya ditemukan plastik yang tercerna. (Gambar: Scientific American)

kayu, olahan kain dan bahan berbahaya lainnya. Dari penelitian tersebut juga ditemukan bahwa mikroplastik atau partikel plastik atau fiber dengan ukuran dibawah 5mm, banyak ditemukan di permukaan air di Sulawesi Selatan dan Teluk Jakarta dengan rerata 7,5 hingga 10 partikel per meter kubik. Dari pemantauan itu ditemukan juga fakta bahwa mikroplastik bisa ditemukan pada tubuh ikan yang kemudian dikonsumsi manusia.

Sementara untuk di laut, penggunaan alat tangkap yang berbahan dasar plastik juga banyak ditemukan mengapung. Misalnya kasus “jaring hantu” atau sampah alat pancing yang terdampar di perairan Kepulauan Hawaii tahun 2021. Menurut penelitian yang dilakukan Mainnah, Diniah, dan Iskandar di tahun 2016, seringkali nelayan yang tidak mampu memperbaiki jaring mereka yang rusak, langsung membuangnya begitu saja di tengah laut. Beberapa di antaranya ada yang membuangnya di tempat sampah atau dibiarkan berserakan di sekitar pantai. Jaring yang dibuang di tengah laut ini kemudian sangat beresiko menjadi limbah yang sangat lama dan sulit terurai. Apalagi karena bahan dasar jaring ikan biasanya nilon yang menurut World Health Organization membutuhkan waktu 30 sampai 40 tahun untuk terurai.

Sampah jaring dengan latar belakang kapal nelayan yang terparkir di Muara Kali Maro. (Gambar: Mongabay)

Pemerintah Indonesia sendiri berkomitmen melakukan penanganan sampah plastik di laut hingga 70% pada 2025 mendatang. Keseriusan ini bisa dilihat dari diterbitkannya beberapa instrumen hukum seperti Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga atau Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2018. Selain itu ada beberapa program yang diupayakan menjadi senjata pemusnah sampah plastik di laut seperti program kemitraan berskala nasional untuk penanganan sampah plastik atau dikenal dengan National Plastic Action Partnership (NPAP) dan baru-baru ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan merilis program Bulan Cinta Laut (BCL) pada Februari lalu. Dalam program BCL, KKP melakukan aksi bersih pantai dan laut, mengatur pengelolaan limbah perbekalan di kapal-kapal penangkap ikan, dan penentuan waktu bagi nelayan untuk melaut dengan tujuan mengambil sampah. Namun agaknya KKP tidak bisa bergerak sendiri. Koordinasi dan kolaborasi dengan pihak Kementerian, Badan terkait, bahkan pihak swasta harus digerakkan secara bersama-sama untuk memangkas permasalahan sampah yang bisa berangkat dari mana saja manusia berada. 

Penambangan Pasir Menurunkan Kualitas Air

Berdasarkan Pasal 35 Undang-undang 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, tertulis bahwa penambangan pasir dilarang jika dapat merusak ekosistem perairan. Lebih rincinya dinyatakan bahwa melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/ atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/ atau pencemaran lingkungan dan/ atau merugikan masyarakat sekitarnya dan melanggar Pasal 109 Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. KKP juga memiliki instrumen hukum yang sudah cukup lengkap yaitu Peraturan Pemerintah  No. 21 Tahun 2021 tentang Penataan Ruang dimana setiap pemanfaatan ruang laut di seluruh wilayah dan yurisdiksi Indonesia harus memiliki Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari KKP termasuk didalamnya mengenai penambangan pasir.

Namun, hingga saat ini, kasus penambangan pasir masih sering ditemukan di Indonesia. Mulai dari kasus penambangan pasir di Pulau Kodingareng tahun lalu, hingga di tahun ini penambangan pasir yang terkuak di Pulau Rupat Riau dan juga di Bangka, menjadi bukti Pemerintah masih memiliki satu PR yang belum selesai. Jika kemudian instrumen hukum sudah ada, tentunya hal yang perlu diketatkan adalah dari segi pengawasan dari hulu ke hilir. Pemerintah baik pusat maupun daerah harus sama-sama “waras”  dalam memberikan lampu hijau bagi  beroperasi untuk kegiatan eksploitatif dan destruktif seperti penambangan pasir laut ini. Jangan sampai kemudian dikarenakan keuntungan pribadi, rekomendasi pemberian izin atau kemudian melanggengkan aktivitas penambangan pasir laut dibiarkan begitu saja. Pengawasan juga perlu dilakukan oleh masyarakat pesisir. Keberanian nelayan dan masyarakat pesisir di Pulau Kodingareng dan Pulau Rupat perlu diapresiasi, sebagai pihak yang berani menolak dan menyuarakan kejahatan kriminal lingkungan para penambang pasir laut. 

Perlu diketahui, aktivitas penambangan pasir memberikan dampak negatif pada laut seperti diantaranya menurunkan kualitas lingkungan perairan dan pesisir dan penurunan kualitas air laut yang menyebabkan air laut menjadi keruh. Hal ini kemudian berimbas pada kepekatan atau berat jenis air yang akan naik. Permukaan air laut yang tertutup akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air dan berpengaruh pada terganggunya proses fotosintesis tanaman dalam air dan jumlah oksigen yang terlarut pun akan berkurang. 

Pencemaran Laut karena Tumpahan Minyak

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Salah satunya adalah pencemaran laut karena tumpahan minyak yang bisa saja diakibatkan dari bocornya operasi kapal tanker, perbaikan dan perawatan kapal, saluran buanyan air, minyak dan pelumas hasil proses mesin atau dikenal dengan air bilga, tabrakan atau kecelakaan kapal dan pesawat, serta penyebab lainnya. 

Menurut laman National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Ocean Service, setidaknya ada dia jenis minyak yaitu ringan dan berat. Minyak seperti bensin dan solar masuk ke dalam kategori ringan, yang cepat menguap dan tidak bertahan lama di laut, namun akan sangat mudah terbakar dan meledak. Sementara minyak jenis berat akan lebih lengket dan berwarna hitam pekat yang umumnya digunakan sebagai bahan bakar kapal. Minyak jenis ini cenderung menggenang hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Resikonya adalah minyak yang menggenang dapat mempengaruhi jumlah cahaya yang masuk ke bawah lapisan permukaan air yang berdampak pada proses fotosintesis, distribusi plankton dan organisme air yang tidak merata, dan tentunya racun bagi binatang yang berada di dekat atau menghirup/ menelan/ menyentuh minyak yang menggenang tersebut. 

Banjir rob air laut dan oil spill di Karawang, Jawa Barat tahun 2019. (Gambar: Kompas)

Dilansir dari situs KKP, Indonesia sudah memiliki beberapa regulasi yang dapat dipakai dalam kasus oil spill yaitu:

  1. Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut
  2. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 54/KEPMEN-KP/2016 tentang Tim Penanggulangan Dampak Tumpahan Minyak terhadap Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
  3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup

Apa yang Bisa Dilakukan?

Perjuangan untuk menuntaskan sampah laut harus dimulai dari hulunya, yaitu di daratan. KKP tidak bisa berjalan sendiri. Perlu adanya koordinasi dan kolaborasi dengan kementerian atau badan lainnya seperti misalnya dengan Kementerian Koordinasi Maritim dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian PU, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Lingkungan Hidup. Kenapa kemudian ini perlu? Karena sampah dan limbah dapat berasal dari mana saja. Tugas Pemerintah adalah memastikan tindakan pencegahan sampah sebelum itu terjadi. Misalnya saja dengan mewajibkan tiap badan usaha yang menghasilkan plastik kemasan untuk mengadakan program daur ulang wajib bagi kemasan-kemasan yang dihasilkan, mewajibkan pembangunan tempat tinggal menggunakan sistem pilah sampah, selain itu Balai Pengelolaan Sampah juga wajib untuk diberikan edukasi dan fasilitas pengelolaan dan pemilahan sampah yang memadai, efektif dan efisien, serta dapat bergerak cepat. Manusia pada umumnya sebagai penghasil sampah terbesar juga wajib ditertibkan. Harga plastik belanja di supermarket masih tergolong murah yaitu rerata 400 Rupiah per 1 plastik ukuran medium. Jika memang kemudian targetnya adalah meminimalisir penggunaan plastik, tentunya pemerintah harus lebih kreatif dalam memberikan desakan pengurangan pemakaian plastik. KKP sendiri selain menjalankan program bebersih laut, juga bisa menertibkan alat pancing yang digunakan. Bersama dengan badan peneliti atau pihak swasta, KKP dirasa mampu melakukan penelitian untuk mencari bahan dasar alat pancing yang lebih ramah lingkungan sehingga mampu mengganti bahan dasar yang sekarang sering dipakai,  nilon.

Untuk penambangan pasir ilegal sendiri, pemerintah pusat dan daerah harus saling berjibaku dalam menentukan dan mengkaji peraturan dan peraturan daerah terkait mengenai tata ruang laut dan pesisir. Selain itu, adanya peninjauan dan pemeriksaan kembali izin lingkungan, izin usaha pertambangan juga harus dilakukan secara berkala. Audit ini tentunya untuk melihat sejauh apa aktivitas dan dampak yang sudah dihasilkan. Hal ini justru dirasa perlu dilakukan, mengingat sudah “agak telat” ketika kemudian izin usaha pertambangan baru dicabut setelah perusahaan melanggar. Seharusnya pemerintah pusat dan daerah bisa mencegah sebelum ini terjadi dengan sidak atau audit mendadak.  

Selanjutnya adalah pencegahan melalui pemeriksaan berkala dan penegakan hukum bagi pelanggar. KKP memiliki sejumlah wewenang untuk memastikan kapal yang melaut dalam keadaan baik. Dalam upaya pencegahan sampah dan limbah laut, rasanya pemeriksaan berkala yang berujung pada pemberian izin bagi kapal untuk beroperasi dirasa perlu. Sama seperti kendaraan bermotor yang diuji emisi, kapal pun harus diuji dan diperiksa kesehatan mesinnya. Hal ini tentu untuk meminimalisir kapal-kapal bobrok yang beroperasi dan memiliki resiko mencemari laut dengan minyak. KKP sendiri juga sudah memiliki regulasi dalam mengatur resiko adanya sampah atau limbah atau tindakan yang beresiko pencemaran dan destruksi pada laut, tetapi masih kurang pengawasan dan penegakannya. Contohnya pada tindak illegal, unregulated, unreported fishing (IUUF). Kurangnya armada pengawasan ini akan membuka celah kelemahan dalam melindungi wilayah perairan dari tindak kejahatan laut.

Indonesia sudah sepatutnya menjaga pemberian Tuhan yang tidak ada duanya: air. Air laut yang mengisi lebih dari setengah bagian negara ini sudah sepatutnya dijaga kualitasnya, bukan saja hanya diberdayakan untuk segi ekonomi dengan baik. Karena air laut menjamin kualitas hidup manusia, bukan hanya semata-mata untuk hewan atau tumbuhan laut saja. Laut yang sehat akan memberikan dampak pada kadar oksigen dunia yang jauh lebih baik karena mikro-organisme kecil seperti fitoplankton dapat hidup dan bertambah banyak. Fitoplankton sendiri merupakan penghasil oksigen terbesar di Bumi, yang mampu menghasilkan 50-85% oksigen di Bumi per tahunnya. Jadi, apakah kemudian menjaga kualitas air laut masih mau ditawar-tawar?

******