SANGIHE, NASIBMU KINI…

Penyegelan Alat Berat milik PT. TMS yang masuk ke Pulau Sangihe melali salah satu pelabuhan setelah PTUN Manado memutuskan menghentikan sementara activistas PT. TMS menimbulkan kemarahan warga.

Presiden pertama Indonesia, Soekarno, pernah mengutarakan hal ini; Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri. Mungkin kalimat legendaris ini, bak ramalan yang terbukti kebenarannya. Alih-alih melangkah maju, membela hak masyarakat untuk menjaga kelestarian tanah leluhur yang susah payah dimenangkan dari penjajah, nyatanya masyarakat Indonesia masih harus ‘berperang’ melawan bangsa sendiri yang lebih memilih pundi-pundi uang dan keuntungan.

Tentunya masih segar diingatan kita akan perjuangan mantan Wakil Bupati Sangihe, Almarhum Helmud Montong, yang hingga akhir hayatnya memperjuangkan pembebasan Sangihe dari pertambangan emas besar yang tidak sesuai hukum dan kebijakan yang berlaku. Seperti diketahui, pada April 2021 yang lalu, lebih dari setengah kawasan Pulau Sangihe dinyatakan sebagai wilayah pertambangan emas milik PT. Tambang Mas Sangihe (TMS). Hal ini diungkapkan anggota DPRD Sulawesi Utara, Winsulangi Salindeho, dari daerah pemilihan Nusa Utara (Sangihe, Sitaro, dan Talaud), saat diwawancara Kompas. Dengan izin pengelolaan kurang lebih 35 tahun, pulau Sangihe yang memiliki luas hanya 737 km², ancaman kerusakan yang bisa dialami pulau kecil ini tentunya makin besar dengan kegiatan pertambangan yang secara terus menerus berlangsung selama puluhan tahun.  

Warga Sangihe dalam gerakan Save Sangihe Island (SSI) yang terdiri dari 25 organisasi kemasyarakatan terus menyuarakan penolakan dan protes besar-besaran akan adanya pertambangan ini. Warga merasa takut, terusik, dan khawatir bahwa tanah leluhurnya akan mengalami kerusakan mulai dari air laut yang tercemar limbah, air tanah yang terkontaminasi menjadi beracun, perkebunan dan perbukitan hijau yang dibabat habis, hewan-hewan endemik penghuni gunung yang punah, dan mata pencaharian tradisional penduduk yang mayoritas menghilang. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe juga menambahkan tidak adanya pelibatan dalam proses pengurusan izin lingkungan dan eksploitasi yang diterbitkan untuk TMS. 

Juru bicara gerakan Save Sangihe Island, Samsared Barahama, pada saat itu mengatakan terdapat beberapa alasan rencana eksploitasi emas oleh TMS di Sangihe harus ditolak. Menurutnya, wilayah izin produksi yang diberikan sebesar 42 ribu hektare atau setengah dari luas Pulau Sangihe yang dihuni lebih dari 131 ribu jiwa. Selain tidak memenuhi kriteria dan perizinan sesuai Undang-undang, aktivitas pertambangan ini akan merusak kawasan hutan lindung Gunung Sahendaruman yang menjadi habitat satwa endemik Pulau Sangihe dan juga sumber mata air bagi masyarakat. Apalagi dalam proses penyusunan analisis dampak lingkungan (AMDAL), tidak melibatkan masyarakat Sangihe khususnya mereka yang tinggal di ring-1 lingkar tambang.

Namun baru-baru ini, seorang warga Pulau Sangihe, Robinson Saul, ditetapkan sebagai tersangka oleh  Polres Kepulauan Sangihe. Kelompok Save Sangihe Island menyebut hal itu sebagai kriminalisasi terhadap warga yang menentang pertambangan emas PT. TMS. Menurut Koordinator Save Sangihe Island, Alfred Pontolodo, polisi menuduh Robinson membawa senjata tajam di saat aksi penghadangan alat berat PT TMS pada 13 Juni 2022. Robinson dituding telah melanggar Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 12 Tahun 1951, Pasal 2 ayat 1. Dikarenakan Robinson sempat membawa sebuah pisau putih pada aksi pada 13-16 Juni terkait mobilisasi alat berat PT TMS secara ilegal.  Pisau itu, menurut Alfred, merupakan benda pusaka yang diwariskan dari mertua laki-laki Robinson yang dipakai untuk aktivitas sehari-hari untuk melaut (memotong umpan, memotong tali jangkar, membersihkan tiram). Hal ini jelas dipertanyakan, karena menurut Alfred, jelas ini bukan tindak pidana karena yang dibawa bukan senjata tajam, melainkan alat yang digunakan sehari-hari untuk mencari nafkah sebagai nelayan. Dia pun menilai polisi telah melakukan kriminalisasi sebagai upaya menekan resistensi warga yang menolak keras kehadiran tambang PT TMS di Pulau Sangihe.

Hal lain yang kemudian menimbulkan tanda tanya adalah pihak kepolisian yang justru mengamankan dan mengawal mobilisasi alat berat PT TMS. Padahal, izin lingkungan perusahaan tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado pada bulan lalu. PT. TMS diminta menghentikan segala aktivitas konstruksi yang sedang berlangsung oleh Ketua Majelis Hakim PTUN Manado Fajar Wahyu Jatmiko pada 2 Juni 2022. Poin pertama putusan itu adalah menetapkan penundaan pelaksanaan izin lingkungan bagi PT Tambang Mas Sangihe (TMS) yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sulawesi Utara. Penundaan izin lingkungan ini harus dilaksanakan secara efektif oleh Pemprov Sulut sebagai Tergugat I hingga muncul putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) atau ada penetapan lain yang mencabutnya di kemudian hari. Artinya, segala kegiatan konstruksi oleh PT. TMS harus dihentikan sementara. Tapi kenyataannya, alat berat berupa bor tersebut masuk melalui Pelabuhan Pananaru, Kecamatan Tamak. Koordinator Save Sangihe Island, Jan Takasihaeng, mengatakan bahwa pengiriman alat berat tersebut juga tanpa disertai dokumen perizinan. 

Namun apa yang terjadi pada 13-16 Juni dimana mobilisasi alat berat milik PT. TMS dilakukan, menjadi ‘genderang perang’ jilid baru dari rangkaian perjuangan masyarakat Sangihe. Kasus pertambangan emas di Sangihe ini tidak lepas dari implementasi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang tidak jelas dan tidak konsisten. Menurut UU No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, dikatakan bahwa pulau kecil tidak boleh dijadikan area pertambangan. Menurut Pasal 1 dalam Undang-undang ini, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² beserta kesatuan ekosistemnya. Jika mengacu pada Undang-undang tersebut, sudah jelas bahwa Pulau Sangihe masuk ke dalam kriteria pulau kecil yang juga menurut Undang-undang yang sama, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk 9 jenis kepentingan, seperti konservasi, pendidikan dan pengembangan, dan budidaya laut. Ironisnya, ketentuan ini tidak berjalan optimal karena faktanya Pulau Sangihe justru jatuh kepada PT. TMS dan menjadi salah satu ladang tambang emas. 

Perlu diketahui, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) sendiri sudah menemukan ada 55 pulau-pulau kecil di Indonesia yang telah dieksploitasi untuk pertambangan mineral dan batubara. JATAM juga mengungkapkan bahwa PT. TMS adalah gabungan dari perusahaan Kanada, Sangihe Gold Corporation yang merupakan pemegang saham mayoritas sebesar 70%, dan tiga perusahaan Indonesia. KORAL bersama dengan SSI meminta dan mengharapkan Kementerian kelautan dan Perikanan menggunakan kewenangannya untuk ikut ambil serta dalam proses mengamankan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Karena menurut pandangan KORAL, kegiatan PT TMS di pulau kecil Sangihe melanggar Pasal 3, Pasal 4, Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 35 huruf k UU PWP3K. 

Penangkapan Robinson menjadi bukti keterberpihakan pemerintah akan perusahaan-perusahan tambang. Masyarakat Sangihe menjadi saksi bagaimana kemudian penjajahan itu belum usai. Mengatasnamakan pemberdayaan sumberdaya alam, nyatanya wilayah Indonesia sudah ‘dilelang dan atau dibeli’ oleh perusahaan-perusahaan baik lokal maupun asing, dengan mengorbankan alam, biodiversitas, dan masyarakat lokalnya. Mari kita kawal keputusan PTUN Manado dan kita dukung perjuangkan masyarakat Sangihe untuk mempertahankan ruang hidup mereka dari aktivitas tambang PT TMS hingga pulau Sangihe benar-benar terbebas dari kepungan tambang emas PT TMS.

******