Setelah kasus korupsi yang menjerat Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, ternyata polemik benih bening lobster atau biasa dikenal BBL, belum juga selesai. Kasus terakhir di tahun ini pada akhir Agustus 2022, yaitu ketika aparat Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP menggagalkan penyelundupan 300.000 BBL lewat perairan Pulau Sambu, Kepulauan Riau, menuju Singapura, dengan perkiraan nilai BBL sebesar Rp 30 miliar.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia baru-baru ini menggagalkan penyelundupan 34.472 benih bening lobster di Tangerang. Penyelundupan itu menggunakan modus baru, yakni benih dimasukkan kantong plastik yang dipres. Kepala Balai Besar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Jakarta Heri Yuwono mengatakan bahwa Penyelundupan BBL berlangsung pada 8 September sekitar pukul 23.00. Data surat muatan udara (SMU) mencantumkan boks berisi muatan berupa lampu hias. Heri menambahkan, BBL tersebut telah diamankan di area parkir kargo Bandara Soekarno-Hatta setelah petugas Polresta Soekarno-Hatta menemukan mobil pribadi terparkir di kawasan tersebut dengan boks kayu berisi BBL. Dalam pemeriksaan itu ditemukan BBL senilai Rp 3,9 miliar yang akan dikirim ke Singapura. Terdapat total 33 kantong plastik berisi BBL yang disita terdiri dari 24.608 ekor jenis pasir dan 9.864 ekor jenis mutiara.
Penyelundupan benih bening lobster masih marak dengan modus yang terus berkembang. Dalam kasus kali ini, pengemasan BBL menggunakan kantong plastik yang dipres dengan mesin khusus dan kemudian dimasukkan ke dalam boks kayu. BBL yang disita selanjutnya akan dilepaskan di Pantai Loka PSPL Serang.
Kasus yang baru terjadi ini sekaligus menambah akumulasi jumlah kasus penyelundupan BBL di Indonesia. Sejak awal tahun 2022 hingga 12 September 2022, terdapat total 19 kasus penyelundupan BBL sejumlah total 1.669.818 ekor atau senilai dengan Rp 71,18 Miliar Rupiah yang digagalkan aparat BKIPM. BBL itu senilai Rp 71,18 miliar.
Penyelundupan Terus Terjadi, Apa Solusinya?
Penyelundupan BBL tampaknya menjadi salah satu topik penting yang dibahas dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR dengan KKP. Dilansir dari Kompas, anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Yohanis Fransiskus Lema, mengemukakan, penyelundupan BBL yang terungkap dikhawatirkan merupakan puncak gunung es dari angka penyelundupan yang jauh lebih besar hingga 10 kali lipat atau setara Rp 710 miliar. Ia menduga penyelundupan BBL melibatkan sindikat karena pola penyelundupan terus berulang dengan jalur Singapura-Vietnam. Ia pun mengungkapan kegelisahannya, mengapa kemudian kasus ini terus berulang kali terjadi.
Padahal, secara regulasi Indonesia memiliki Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai Perubahan UU No.45 Tahun 2009 dan UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) No. 17 tahun 2021. Kedua peraturan ini memberikan ancaman pidana bagi para pelaku penyelundupan dan melarang kegiatan ekspor benur dengan ancaman pidana delapan tahun. Kerjasama antar sektor pun sudah dilakukan dan terbukti cukup baik dalam mengungkap dan menangani kasus-kasus penyelundupan ini.
Solusi pertama adalah konsistensi upaya edukasi masyarakat, patroli ataupun pengawasan di dalam komunitas perikanan. Masyarakat harus secara penuh teredukasi mengenai kenapa BBL dilindungi dan hukum yang dilanggar beserta dengan sanksi yang diberikan apabila terbukti terlibat. Dalam PERMEN KP No.17 Tahun 2021 dikatakan bahwa BBL boleh ditangkap hanya untuk kebutuhan riset dan budidaya dalam negeri saja. Maka perlu disosialisasikan dan diberikan edukasi kepada pembudidaya bahwa BBL diperuntukkan untuk kegiatan budidaya dalam negeri.
Solusi kedua adalah budidaya. Menurut anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Haerudin, mengemukakan, pelarangan ekspor BBL perlu diimbangi solusi untuk mendorong usaha budidaya lobster di dalam negeri dengan membangun kolam-kolam lobster. Budidaya lobster di dalam negeri akan menciptakan nilai tambah produk lobster.
Tentunya tidak akan ada supply (suplai) jika tidak ada demand (permintaan). Maka solusi ketiga adalah Pemerintah juga harus berjibaku dan bekerja sama dengan negara-negara tujuan ekspor seperti Singapura dan Vietnam contohnya. Kerjasama lintas negara ini dibutuhkan untuk merampungkan dua sisi – penjual dan pembeli, sehingga kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Pelaku tindak illegal fishing ini harus berlaku di kedua belah pihak.
******