PENANGKAPAN IKAN TERUKUR SISTEM KUOTA PERIZINAN KHUSUS: APA LANDASANNYA?

ebagai negara kepulauan yang didominasi wilayah perairan, Indonesia tentunya memiliki kekayaan laut yang patut dibanggakan. Namun di satu sisi, nyatanya potensi hasil sumber daya laut yang besar ini, belum mampu dirasakan manfaatnya secara maksimal oleh nelayan lokal dan masyarakat pesisir Indonesia pada umumnya. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa pada 2019, jumlah nelayan laut tercatat sekitar 2,1 juta orang. Angka ini turun jika dibandingkan tahun 2018 yang mencapai sekitar 2,3 juta orang. 

Hal ini diduga besar karena adanya arus alih profesi nelayan ke sektor lain karena tingginya ketidakpastian sumber penghidupan. Hal ini diperkuat dengan data yang dibagikan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2022 dimana nilai tukar nelayan dan pembudidaya (NTNP), sebagai salah satu indikator imbal hasil (pendapatan) yang diterima oleh nelayan cenderung kecil. 

Nelayan lokal dan masyarakat pesisir hidup berdampingan dengan alam. Dibantu sarana dan prasarana yang seadanya, nyatanya, nelayan lokal dan masyarakat pesisir harus berjibaku dengan kenyataan regulasi dan kebijakan yang mencekik, membatasi, hingga bahkan mengeksploitasi ruang gerak mereka. 

Regulasi dan Kebijakan yang Rentan Ambiguitas dan Pencetus Kegelisahan

Salah satu problematika yang membuat kesejahteraan nelayan cenderung dalam angka yang rendah adalah adanya regulasi dan kebijakan yang justru membatasi ruang gerak nelayan tradisional atau nelayan kecil. Di tahun 2020, munculah Undang-undang Cipta Kerja yang memberikan kelonggaran pada definisi nelayan kecil. Kegelisahan ini kemudian terbukti dengan meningkatnya kapal ikan berukuran besar di atas 30 gross ton (GT) di beberapa daerah seperti Kepulauan Riau di Laut Natuna, Kepulauan Aru di Maluku, Kendari di Sulawesi Tengah, dan di perairan Jawa  yaitu Indramayu dan Cirebon.

Kebijakan lainnya adalah penangkapan ikan terukur dalam skema Ekonomi Biru yang baru-baru ini diimplementasikan pemerintah.  Berawal dengan skema sistem kontrak yang akan diberikan pada pihak-pihak yang “menang lelang”. KKP membagi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) jadi 6 zona penangkapan ikan dengan pertimbangan diantaranya karakteristik perairan, komoditas perikanan utama ataupun karakteristik sosial ekonomi. 

Namun baru-baru ini, KKP membatalkan skema Sistem Kontrak tersebut dan menggantinya dengan skema Perizinan Khusus dengan mengacu pada kuota. Alasan utama pembatalan adalah karena sumber daya alam (SDA) tidak bisa diputuskan menjadi milik dua pihak saja, namun menjadi milik semua. Sebagai gantinya, Pemerintah fokus untuk menerapkan sistem kuota dengan perizinan khusus berupa batasan waktu maksimal hingga 15 tahun kepada para pelaku usaha yang ingin memanfaatkan kuota tangkapan ikan. 

KKP dalam acara Konsultasi Publik Rancangan PERMEN KP tentang Tata Cara Penetapan Nilai Produksi akhir Agustus lalu mengatakan bahwa saat ini sedang menyusun Rancangan Peraturan Menteri KP tentang Zona Penangkapan Ikan Terukur (PIT).  Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Ridwan Mulyana, dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP memaparkan bahwa secara paralel, KKP juga sedang menyiapkan substansi lainnya mengenai kuota, harga ikan, penetapan pelabuhan, dan hal-hal lainnya. Rancangan KEPMEN ini sudah ada, namun sejauh ini masih berisikan persebaran zonasi saja. KEPMEN ini nantinya disusun untuk mendukung implementasi PIT yang tertata baik, efisien, dan seimbang sesuai prinsip Ekonomi Biru berdasarkan pada aspek-aspek terkait yaitu: sumber daya ikan dan kelestariannya, lingkungan dan kesehatan laut, teknis dan operasional usaha perikanan, serta sosial ekonomi atau tingkat pemanfaatan dan peluang pengembangan (investasi).

Ridwan mengatakan nantinya kuota penangkapan akan berdasarkan daya dukung dari sumber daya ikan itu sendiri dengan pertimbangan: tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan secara umum (apakah pengembangan atau pengendalian SDI), kedekatan geografis dan karakteristik antara satu WPP dengan WPP lain, wilayah strategis yang perlu perhatian khusus di daerah perbatasan dan isu nasional lain yang relevan. Zonasi yang terbagi berdasarkan kategori adalah:

  1. Zona Penangkapan Ikan untuk Industri (Investor Dalam dan Luar Negeri) dengan kuota industri
  2. Zona Penangkapan Ikan untuk Nelayan Lokal (diutamakan tergabung dalam Koperasi) dan Investor Dalam Negeri
  3. Zona untuk Penangkapan Ikan Terbatas dan Spawning/ Nursery Ground

Apa yang Perlu Dikritisi?

Menurut keterangan dari KKP dalam acara tersebut, diperlihatkan tabel estimasi potensi SDI yang dinyatakan langung, secara general atau umum, SDI sudah masuk berada dalam status overfishing dan tidak lagi untuk dikembangkan atau dipakai sebagai zona industri. Lalu mengapa kemudian KKP terkesan menjilat ludah sendiri dengan ‘memaksakan’ sejumlah WPP untuk dilelang menjadi zonasi industri yang bahkan terbuka untuk pihak asing? 

KKP juga mengatakan zona berwarna hijau atau Zona Penangkapan Ikan untuk Nelayan Lokal (Zona 5 dan 6 yaitu WPP 571, 712, dan 713) sudah termasuk padat huni dikarenakan jumlah nelayan yang cukup banyak. Di Zona 6 saja misalnya, terdapat lebih dari 576 ribu orang. Nelayan memerlukan ruang lapang tangkap yang lebih besar. Belum lagi dengan posisi zonasi yang saling berdempetan dengan Zona Industri untuk Investor Dalam Negeri dan Asing, tentunya hal ini akan menimbulkan pergesekan dan rawan konflik. Nelayan lokal tradisional yang memiliki keterbatasan sarana dan prasarana, dipaksa untuk saling berdampingan dengan kapal-kapal besar milik perusahaan industri. Perusahaan industri perikanan besar juga memiliki alat produksi yang menangkap ikan secara masif dan eksploitatif.

Konflik yang rawan terjadi juga karena laut bukanlah ladang yang bisa dipatok dan dikotak-kotakan. Tidak ada yang bisa mengatur atau menjamin ketersediaan ikan dalam satu zona dibandingkan dengan zona yang lainnya. Dengan adanya PIT ini juga seolah-olah meyakini bahwa SDI merupakan barang publik yang dapat dimiliki secara privat. Padahal tidak demikian. 

Zona Spawning/ Nursery Ground juga tidak kalah kritisnya. Selain hanya memiliki 1 zona yang didedikasikan untuk mengembangbiakan SDI, KKP juga tetap membuka ladang bagi penangkapan ‘intensif’ disini. WPP 714 yang dijadikan zona Spawning/ Nursery ground ini juga didedikasikan untuk Zona Industri bagi investor Dalam dan Luar Negeri. Lalu bagaimana Pemerintah dapat menjamin ketersediaan SDI di masa depan, di zona-zona perikanan industri, apabila kemudian kegiatan pengembangbiakkan dan pelestarian hanya diadakan secara terbatas di satu zona saja. 

Selain itu, kebijakan PIT masih belum memiliki kajian ilmiah tentang dampak yang akan ditimbulkan, dan juga bertentangan dengan asas keberlanjutan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 2014, yaitu asas keberlanjutan mengandung arti bahwa pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai. 

Kebijakan PIT ini juga bertentangan dengan mandat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yaitu perlindungan nelayan dalam hal ini adalah nelayan tradisional, karena relita yang terjadi di berbagai perairan bahwa wilayah perairan tradisional nelayan sering didapati aktivitas nelayan skala besar/modern dengan alat tangkap tidak berkelanjutan bahkan alat tangkap cantrang masih dapat dijumpai di berbagai perairan di pulau-pulau kecil. Hal ini menandakan masih lemahnya pengawasan penggunaan alat tangkap.

Siapkah Pemerintah?

Dalam skema perikanan tangkap, masih banyak celah pengawasan dan penertiban. Mulai dari traceability, pengawasan kegiatan penangkapan didalam zona, pelaporan hasil tangkapan, serta kemampuan Pemerintah dalam melakukan real-time estimation SDI. Hal ini kemudian berkaitan dengan kuota yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Sejauh mana kemampuan Pemerintah dalam upaya mempertanggungjawabkan kuota yang diberikan kepada nelayan dan pelaku industri? Ditambah, PIT juga sangat rawan eksploitasi dan destruksi. Seberapa mampunya Pemerintah dalam menjamin pelestarian SDI bagi generasi di masa mendatang? Apakah Pemerintah sudah memiliki sarana dan prasarana yang cukup untuk mengawasi dan menertibkan ratusan bahkan ribuan kapal di berbagai zona ini? Toh buktinya, Pemerintah saja masih kewalahan dalam menjaga perairan perbatasan Indonesia dengan negara lain dari tindak ilegal, unregulated, unreported fishing (IUUF) yang dilakukan kapal ikan asing.

Selain itu, bukan hanya diberlakukannya PIT, skema baru bagi Pemasukan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus dibayarkan nelayan ketika ikan didaratkan, menjadi salah satu hal yang semakin membebani nelayan lokal. Bagaimana tidak, penarikan PNBP bisa naik 2-3 kali lipat pra-produksi dari yang sekarang sudah diberlakukan. Belum lagi, tidak semua nelayan melakukan aktivitas penangkapan yang sama seperti di Pulau Jawa, dilakukan secara bulanan. Kerugian lebih besar bisa dirasakan oleh nelayan lokal seperti di Maluku yang memiliki kegiatan penangkapan ikan per hari (one-day trip fishing). Belum lagi, Pemerintah masih belum memberikan fasilitas baik sarana dan prasarana maupun sumber daya manusia yang mumpuni di tiap pelabuhan. Nantinya, hal ini bukan hanya merugikan nelayan, tetapi juga membuka celah penyelewengan atau oknum-oknum oportunis untuk memberikan ‘solusi ilegal yang lebih efisien’.

Kebijakan PIT, baik dalam bentuk kuota, zonasi, atau perizinan khusus, harus dihentikan. Pemerintah harusnya bisa lebih menggagas kebijakan yang pro nelayan tradisional dan perikanan dalam negeri guna meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian nelayan serta juga tetap menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan dan kelautan, berdasarkan mandat UU No. 7 Tahun 2016.

******