DEMOKRASI PENGELOLAAN DAN PEMBERDAYAAN LAUT: LAUT MILIK SIAPA?

70% permukaan bumi ditutupi oleh air.  Warna biru khas wilayah perairan inilah yang menjadi ciri khas Bumi jika dilihat dari luar angkasa. Semua kehidupan di Bumi bergantung pada air, maka mungkin inilah yang menjadikan Yang Maha Kuasa membuat air menjadi wilayah dominan di Bumi. Indonesia sepertinya menjadi representasi kecil Bumi dengan kemiripan 70% wilayah Indonesia didominasi perairan atau laut. Memiliki begitu banyak pulau dan wilayah pesisir, menjadikan Indonesia salah satu negara dengan kepulauan terbanyak dan garis pantai terpanjang di dunia. 

Bukan hanya kaya akan wilayah perairannya, Indonesia juga memiliki begitu banyak suku budaya. Dilansir dari data sensus penduduk Badan Pusat Statistik pada 2010, ada lebih dari 300 kelompok suku bangsa di Indonesia, yang jika dirinci terdapat sekitar 1.340 suku bangsa di Indonesia. Beberapa diantaranya tinggal di pesisir laut sejak jaman nenek moyang mereka. Dalam waktu yang begitu lama, sudah diturunkannya budaya dan tradisi, termasuk didalamnya cara mereka melihat, merawat, dan memberdayakan laut serta pesisir. Hal ini juga yang kemudian mendasari cara pandang mereka akan arti kepemilikan laut. 

Definisi Kepemilikan Laut Dilihat dari Segi Konstitusional dan Ragam Suku Indonesia

Laut sejatinya adalah milik semua orang. Keberadaannya untuk mengsejahterakan rakyat. Jika dipahami secara konstitusional, laut adalah milik negara, pengaturan semua oleh negara, hak sepenuhnya oleh negara. Jika kita menilik ke beberapa suku di wilayah pesisir, pemahaman ini tidak sepenuhnya sama. Misalnya saja di Maluku. Laut menjadi objek kepemilikan komunal atau hak ulayat. Mereka mengenal istilah Petuanan yang berarti wilayah ulayat juga tidak hanya berlaku di daratan namun juga di laut dan perairan di sekitarnya. Sehingga tidak bisa seenaknya saja bagi warga untuk dapat sembarangan melakukan penangkapan ikan, terutama dengan alat-alat canggih dan untuk keperluan komersil. Izin dari pemilik ulayat harus didapatkan terlebih dahulu sebelum orang luar melakukan aktivitas penangkapan ikan. Selain itu, di Maluku juga dikenal pengelolaan tradisional yang disebut dengan Sasi. Sasi merupakan tradisi yang mengatur kapan suatu wilayah atau sumberdaya dilarang dan boleh diambil.

Selain di Maluku, provinsi Sulawesi Utara khususnya Pulau Para, objek klaim ulayat tidak terlalu ditekankan pada wilayah, namun justru pada salah satu jenis ikan – Mallalugis (Decapterus). Penangkapan ikan ini hanya ada pada musim-musim tertentu dan hanya boleh ditangkap dengan alat tangkap tradisonal Seke. Alat ini berbentuk pagar yang dikerahkan oleh 40-50 orang dan dioperasikan secara bergiliran. 

Sementara di ujung utara Indonesia, tepatnya di Aceh, tidak dikenal klaim atau hak kepemilikan laut. Hukum Adat Laot yang diemban masyarakat pesisir Aceh mengatakan bahwa laut merupakan milik Tuhan untuk semua umat manusia. Walaupun begitu, setiap perairan teluk dikelola oleh lembaga adat yang disebut Panglima Laot. Panglima Laot inilah yang nantinya akan membuat dan mengimplementasikan aturan penangkapan ikan dan pemilihan perairan di sekitar tempat tinggal mereka. Hak kelola ini mewajibkan nelayan manapun untuk ikut aturan-aturan jika beroperasi di wilayah kelola Panglima Laot. Misalnya saja di daerah Perairan Lhok Kruet. Panglima Laot Lhok Kruet memiliki beberapa aturan seperti dilarang untuk menggunakan kompresor untuk menangkap lobster karena resiko over-exploitation dan juga keadilan.

Penangkapan Ikan Terukur Sistem Zonasi vs Kepemilikan Laut

Kebijakan penangkapan ikan terukur memiliki skema zonasi, dimana laut akan “dibagi” menjadi 3 kategori Zonasi yaitu:

  1. Zona Penangkapan Ikan untuk Industri (investor Dalam Negeri dan Luar Negeri) dengan Kuota industri
  2. Zona Penangkapan Ikan untuk Nelayan lokal (diutamakan tergabung dalam koperasi) dan investor DN
  3. Zona untuk Penangkapan Ikan Terbatas dan spawning/ nursery ground

Berdasarkan informasi yang dibagikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), zona-zona ini nantinya akan tersebar di beberapa wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yaitu WPP 571-573 dan WPP 711-718. 

Ini artinya, laut akan sepenuhnya diatur oleh negara. Mulai dari siapa yang berhak menangkap ikan disana hingga ke besaran kuota sumberdaya ikan yang diberikan pun akan diatur oleh Negara. 

Laut yang Berkelanjutan – Intisari dari Bukti Keadilan dan Kejujuran Negara

Disinilah dibutuhkannya kejujuran dari Negara. Bahwasanya Negara harus seimbang dalam mengelola laut. Seimbang disini adalah tidak terjebak dalam sifat “maruk” dan merasa memiliki kekuasaan mutlak untuk mengutamakan sisi ekonomi dengan resiko eksploitasi laut secara masif, yang akhirnya beujung pada kerusakan laut yang terlalu besar dan multiplying

Penangkapan Ikan Terukur (PIT) agaknya menjadi pion kekuasaan yang dimiliki dan diatur sedemikian rupa oleh Negara. Memberikan zonasi-zonasi dan kuota di berbagai WPP seolah-olah menjadi narasi kerangka pembangunan untuk optimalisasi dan efisiensi yang adil bagi semua orang. Tapi apakah betul begitu? Jika kita menilik poin demi poin dari skema PIT, maka dapat kita bedah dimana letak ketidakadilan dan resiko yang makin menyingkirkan nelayan dan mengeksploitasi laut kita. Mulai dari nelayan tradisional yang kemudian harus bergesekan dengan kapal ikan skala besar milik industri, hanya memiliki 1 zona yang didedikasikan untuk mengembangbiakan SDI, KKP juga tetap membuka ladang bagi penangkapan, hingga nasib masyarakat adat pesisir yang memiliki sistem tatanan budaya yang pro-kelautan.

Konflik yang rawan terjadi karena apa yang dipercaya Pemerintah bukan apa yang dipercaya oleh warga pesisir Maluku, Sulawesi Utara, dan Aceh. Mereka percaya akan keseimbangan dan penghormatan terbesar akan laut sebagai hadiah dari Yang Maha Kuasa. Dimana dalam proses pemberdayaannya, harus berlandaskan keadilan dan keberlanjutan. Sementara, PIT seolah-olah meyakini bahwa sumberdaya ikan merupakan barang publik yang dapat dimiliki secara privat. Padahal tidak demikian. Kebijakan PIT juga seolah-olah menutup mata akan keragaman adat budaya dan tradisi milik masyarakat adat pesisir yang sudah lebih dahulu selama beratus-ratus tahun hidup berdampingan dengan laut, mengambil hasil laut untuk hidup mereka sehari-hari, dan menjaga keberlanjutan dan kelestarian laut untuk generasi mendatang. 

Arti Demokrasi Laut versi KORAL

Menilik dari awalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan diinisiasi, kata-kata “kelautan” ditampilkan di awal seolah-olah untuk menjadi guidance dan reminder bagi Negara bahwa aspek Kelautan harus diutamakan. Pengelolaan laut yang mendasar pada kebaharian dan keberlanjutan harus menjadi inti, nadi dari seluruh upaya Negara dalam memberdayakan laut. Kesehatan laut Indonesia sudah berada diujung tanduk. Di tahun 2021, Laut Indonesia berada di urutan ke 65 dari skala 1-100 menurut Ocean Health Index. Ini artinya laut Indonesia dalam keadaan “sakit parah”. 

Dirangkum dari beberapa penelitian terkait laut, mulai dari pencemaran laut dari tumpahan minyak, aktivitas tambang, hingga sampah membuat laut Indonesia tertutup partikel-partikel polutan yang mematikan. Permukaan yang tertutup partikel tersebut membuat sumberdaya ikan, terumbu karang, padang lamun, dan ekosistem laut menjadi lebih lemah dan rentang hidup yang cenderung pendek karena kualitas habitat yang sudah rusak. Mangrove pun demikian. Saat ini luasan mangrove kisaran 3.5 juta Ha, namun seluas 1.1 Juta Ha dalam keadaan rusak parah. Hal ini tentu saja dikarenakan aktivitas manusia, mulai dari pengalihfungsian lahan menjadi permukiman atau ladang sawit hingga sampah yang menumpuk dan tersangkut di akar-akar mangrove.

Dari aspek Perikanan pun, Indonesia masih perlu berbenah diri. Mulai dari tindak illegal fishing yang terjadi di dalam wilayah perairan kita hingga ke tingkat kesejahteraan nelayan yang masih sangat rendah. Padahal salah satu cara meningkatkan kualitas perikanan kita di mata pasar dalam negeri maupun internasional adalah aspek perikanan berkelanjutan, termasuk didalamnya didapatkan dari aktivitas penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan dapat dilacak (traceability). 

Sementara untuk nelayan, data dari Kementerian Sekretariat Negara menyebutkan bahwa pada tahun 2022 terdapat 147 kabupaten/kota wilayah pesisir dengan 1.3 juta (12.48%) penduduk miskin seperti nelayan, masuk kategori desa miskin ekstrem. Hal ini tentu berlawanan dengan semangat poros maritim yang harus berdampak langsung pada kesejahteraan nelayan sebagai aktor utama.

Justru dalam PIT, peran nelayan tradisional dan lokal menjadi lebih terbatas. Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono dalam keterangan resminya, akan ada lima strategi Ekonomi Biru yang KKP jalankan dalam implementasi kebijakan ini. Selain PIT, salah satunya adalah program pengembangan budidaya perikanan. Program ini diharapkan mendorong nelayan di zona PIT untuk beralih ke perikanan budidaya. Lalu program lainnya adalah program ekonomi sampah yang melibatkan nelayan lokal dan industri untuk mengambil sampah di laut. Strategi ini seolah-olah ingin menggeser tempat nelayan yang awalnya beroperasi dan beraktivitas secara penuh di laut Indonesia, untuk beralih ke pekerjaan atau tugas lain dalam agenda KKP. Entah apakah ini murni untuk kebaikan nelayan atau hanya untuk melegakan laut bagi aktivitas industri perikanan skala besar, termasuk didalamnya industri milik asing?

Demokrasi ialah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak yang sama untuk pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara ikut serta—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Tidak sedikit opini dan argumen sudah disuarakan dari berbagai pihak terkait PIT. Tidak sedikit pula nelayan yang merasa dirugikan akan kebijakan ini. (BACA: PERIKANAN TANGKAP TERUKUR:  PEMERINTAH BERBELIT-BELIT, PERIKANAN SKALA KECIL KIAN TERPINGGIRKAN). 

Laut Indonesia bukan milik Pemerintah saja. Laut Indonesia juga bukan milik investor. Laut Indonesia adalah milik semua warga Indonesia. Negara diberikan mandat untuk menjaga laut kita dari berbagai ancaman, termasuk ancaman yang dihasilkan oleh tangan kita sendiri. Sudah selayaknya demokrasi diwujudkan di laut yang berimbang – adil terhadap nelayan dan masyarakat pesisir serta terutama adil bagi lingkungan.

******