HAK ATAS TANAH (HAT) KEPADA MASYARAKAT YANG TINGGAL DI ATAS AIR: REZIM AGARARIA VERSUS PENGELOLAAN RUANG LAUT

Dalam tata kelola sumber daya alam, Indonesia memiliki lembaga yang mempunyai wewenangnya masing-masing dan agenda yang beraneka ragam. Pengelolaan sumber daya kelautan dan daerah pesisir mempunyai perbedaan jika dibandingkan dengan bidang yang ada didaratan misalnya kehutanan. Hal ini menjadikan pengelolaan ruang laut lebih kompleks. 

Dalam “Tinjauan dan Contoh Peraturan Perundang-undangan Dalam Pengelolaan Pesisir di Daerah” dikatakan bahwa rezim penguasaan di wilayah pesisir diselenggarakan melalui begitu banyaknya regulasi atau hukum. Masing-masing regulasi tersebut tentunya disasarkan untuk kewenangan mengatur yang tidak jarang tumpang tindih dengan peraturan lainnya. Misalnya saja mengenai pengelolaan sumber daya kelautan. Walaupun berdasarkan pada beberapa regulasi yang dipegang oleh kewenangan sektor kelautan dan perikanan seperti regulasi Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (LNRI Nomor 84 Tahun 2007-TLNRI Nomor 4739) serta perubahannya yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (LNRI Nomor 2 Tahun 2014-TLNRI Nomor 5490. Selanjutnya disebut UUPWP3K). Namun ternyata Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (LNRI Nomor 104 Tahun 1960-TLNTI Nomor 2043. Selanjutnya disebut UUPA), yang menyebutkan “Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara” juga mengatur masalah air dan termasuk kelautan. 

Seperti topik yang sedang dibicarakan saat ini, rezim agraria versus pengelolaan ruang laut yang muncul ketika Presiden Joko Widodo memberikan sertifikasi tanah bagi penduduk pesisir di Sulawesi Tenggara pada bulan Juni yang lalu. Presiden Jokowi bersama dengan beberapa Menterinya membagikan sertifikat hak atas tanah dalam perhelatan Gugus Tugas Reforma Agraria Summit 2022 di Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada 09 Juni yang lalu. Kehadiran GTRA Summit 2022 merupakan ruang untuk berdiskusi dan mencari pemecahan masalah dengan kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah terkait reformasi agraria. Hal ini membuktikan bahwa kompleksitas permasalahan tumpang tindih regulasi dan kewenangan antar lembaga masih menjadi ranah yang tidak awam bagi masyarakat. 

Adanya beberapa pandangan mengenai konsep agraria dan kewenangannya saja sudah cukup kompleks. Menurut A.P Parlindungan, agraria mempunyai ruang lingkup, yaitu dalam arti sempit, bisa berwujud hak atas tanah, ataupun pertanian saja. Sedangkan Pasal 1 dan 2 UUPA mengambil sikap dalam pengertian yang meluas yaitu, bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Pengertian ini sejalan dengan yang tercantum pada Tap MPR No. IX th 2001, Pada Pasal (3) menyebutkan “Pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.” 

Kebijakan Sertifikasi Tanah di Wilayah Ruang Laut dan Pesisir

Pemberian hak atas tanah (HAT) di wilayah perairan laut maupun pesisir membuka ruang diskusi dan pro kontra dari beberapa pihak. Hal ini dikarenakan anggapan bahwa wilayah perairan maupun pesisir merupakan sumber daya milik bersama yang tidak bisa dikotak-kotakkan kepemilikannya menjadi hak milik individual. 

Salah satu pandangan kontra disampaikan oleh Pakar Hukum Lingkungan Universitas Padjajaran, Maret Priyanta, yang mengatakan bahwa di samping aspek karakteristik fisik ruang laut yang sifat pemanfaatannya tidak dapat diberikan batas-batas sebagaimana dilakukan di ruang darat, pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut juga harus mengikuti prinsip-prinsip hukum, baik yang berasal dari sumber hukum nasional maupun internasional (JPNN, Juni 2022). Di dalam hukum internasional sendiri, berlaku prinsip funtional jurisdictions, dimana terdapat perbedaan antaran pengaturan pemanfaatan SDA laut dan pesisir dengan SDA di daratan. Dalam functional jurisdictions ditegaskan bahwa pemberian legalitas pemanfaatan tidak sama dengan pemberian legalitas kepemilikan atas sudatu sumber daya. Apalagi sumber daya laut dan pesisir merupakan common property resources yang artinya tidak bisa dikuasai atau dimiliki oleh siapapun.

Status laut dan pesisir sebagai common property resources seharusnya diselenggarakan dan diatur mekanisme perizinannya dibawah wewenang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bukan lembaga agraria. KKP dinilai lebih berwawasan dalam mengatur ruang laut dan wilayah pesisir sebagai inti dari tugas dan wewenangnya, termasuk mengetahui sejumlah hambatan, batasan, hak, dan tanggung jawab yang dimiliki tiap stakeholders di wilayah ruang laut dan pesisir seperti misalnya nelayan, pembudidaya, dan masyarakat hukum adat/ lokal dan tradisional di daerah setempat. Hal ini pula yang dapat menjadi sumber konflik sosial ekonomi karena adanya pengotak-ngotakan wilayah untuk dimiliki secara individual. Konflik atau dampak negatif lainnya yang kemudian ditakutkan adalah penyalahgunaan ruang laut karena dianggap menjadi milik individual yang berujung pada eksploitasi dan degradasi lingkungan.

Padahal, sebelum kebijakan sertifikasi HAT ini dikeluarkan, Pemerintah masih punya ‘PR’ untuk menilik kembali Perencanaan Ruang Laut (PRL) yang masih jauh dari sempurna. PRL yang layaknya sebuah bingkai dalam proses pemetaan laut menjadi empat tujuan: konservasi, alur laut, kawasan strategi nasional tertentu (yang berarti wilayah ini dapat dikesampingkan untuk apapun yang disebut sebagai ‘proyek strategis’), dan kawasan pemanfaatan umum; masih belum berjalan dengan optimal, konsisten, dan adil. Hak-hak nelayan tradisional masih belum terjamin pasti dan diprioritaskan serta wilayah konservasi masih terancam dari berbagai jenis kegiatan terkait aktivitas kelautan dan perikanan yang bersifat ekstraktif seperti penambangan dan ekonomi biru, terutama zonasi wilayah perikanan tangkap terukur yang terbuka untuk investor asing dan pelaku usaha besar dengan masa kontrak puluhan tahun.

Pemerintah harus lebih cakap dalam menyelenggarakan kebijakannya. Laut dan wilayah pesisir memiliki peran penting dalam menjaga seluruh rantai sumber daya dan kualitas ekologis sehingga perlu diputuskan secara bijaksana. Bukan hanya pembagian sertifikat HAT sesuai rezim agraria yang harus direfleksikan kembali, tetapi juga PRL. Dimana bukan semata-mata dari sisi keuntungan, namun terlebih kerugian jangka pendek dan panjang serta multiplier effect yang bisa terjadi. 

******