Lama tidak terdengar hembusan kabar baru mengenai Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjabarkan “narasi” baru mengenai UU CK atau Omnibus Law ini. Seperti yang diketahui, UU CK juga ikut mengatur sektor kelautan dan perikanan. Ada topik terbaru terkait UU CK di sektor KP, yaitu mengenai perizinan nelayan kecil.
Nelayan kecil bisa mendapatkan izin berdasarkan UU Cipta Kerja, menurut KKP. Hal ini agar nelayan skala kecil cukup melapor untuk mendapatkan izin. Menurut Koordinator Kelompok Tata Perizinan, Direktorat Perizinan dan Kenelayanan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP, Lingga Prawitaningrum, kapal dengan kapasitas kurang dari 5 GT termasuk dalam kategori usaha mikro. Sebagai sebuah usaha, salah satu persyaratan untuk pemilik kapal adalah nomor identifikasi bisnis (NIB). Nantinya, NIB akan berfungsi sebagai alat pendataan yang digunakan untuk memudahkan pemerintah dalam pembuatan kebijakan di masa mendatang.
Sementara untuk kapal dengan ukuran di atas 5 GT, diwajibkan untuk memiliki NIB beserta izin usaha, izin dari provinsi, dan juga izin dari pusat sesuai dengan besaran GT yang dimiliki. Lebih jelasnya, jika berukuran di bawah 30 GT, maka dibutuhkan izin dari provinsi sebagai pemegang kewenangan. Namun jika kapal berukuran di atas 30 GT, maka dibutuhkan perizinan dari pusat.
Dalam kesempatan yang sama, Lingga mengatakan bahwa hingga saat ini, KKP belum memberikan izin kepada kepada kapal asing untuk melakukan penangkapan di perairan Indonesia (Detik.com, 9 Desember 2022). Sehingga kapal yang beroperasi di dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) masih diperuntukkan bagi kapal berbendera Indonesia saja.
Bagaimana dengan Sisi Gelap UU CK? Apakah Sudah Terlupakan?
UU CK merupakan sebuah Undang-Undang baru yang cukup menggemparkan. Menyapu jagat lintas sektor, UU ini tidak serta merta luput dari beberapa kelemahan dan celah yang rentan ancaman dan resiko. Setidaknya ada beberapa bentuk isi pasal yang perlu dievaluasi atau bahkan dihapuskan dari UU CK yang sudah pernah dikaji oleh KORAL, bahkan sejak UU CK masih merupakan Rancangan (Baca: RUU Cipta Kerja Tenggelamkan Nelayan Kecil dan Tradisional).
UU CK dan sejumlah peraturan turunannya nyatanya membuat sektor kelautan dan perikanan rawan resiko eksploitasi. Saat ini, memang betul WPP masih diperuntukkan bagi kapal berbendera Indonesia saja. Namun jangan dilupakan, beberapa proyek strategis nasional seperti Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) merupakan turunan atau dampak dari UU CK itu sendiri, yaitu salah satu bentuk operasionalisasi dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan dan PP No. 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan yang merupakan turunan UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020. Tujuannya, tidak lain adalah untuk mendongkrak penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dengan target mencapai Rp 12 triliun di tahun 2024.
Sisi gelap UU CK dapat dilihat dari turunan peraturannya. Dalam PP 27 Tahun 2021 sendiri misalnya; sangat kental dengan aroma liberalisasi dan privatisasi, diantaranya: (i) Membolehkan zona inti kawasan konservasi laut dikonversi menjadi kawasan Strategi Nasional (Pasal 2 sampai 7). Apakah kawasan konservasi laut Indonesia seluas 24 juta hektar akan diizinkan untuk dikonversi; (ii) Membolehkan penggunaan alat tangkap terlarang berupa jaring Hela (Pukat Hela) (Pasal 116), di mana sebelumnya alat ini dilarang; (iii) Membolehkan alih muatan ikan hasil tangkapan di tengah laut (transhipment) (Pasal 115b, 118); dan (iv) Membolehkan impor kapal ikan (Pasal 124).
Sementara di dalam skema PIT, korporasi asing dapat masuk ke dalam WPP RI dengan melakukan kemitraan dengan perusahaan nasional (badan usaha swasta nasional dengan penanaman modal asing – PMA). Nantinya kapal-kapal eks asing dan kapal ikan asing yang diberi izin atau lisensi termasuk dimigrasikan menjadi kapal ikan Berbendera Indonesia, bebas berkeliaran dan mengeruk kekayaan laut Indonesia.
Lalu sisi gelap lainnya adalah penghapusan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN) yang mereduksi peran sains dalam pertimbangan perumusan kebijakan. Komnas KAJISKAN merupakan lembaga independen yang berwenang mengkaji potensi perikanan di Indonesia secara ilmiah. Tanpa lembaga tersebut, penentuan potensi dapat diintervensi oleh kepentingan politik dan hasil kajian tidak kredibel. Akibatnya, pengelolaan dan eksploitasi perikanan berlebih akan semakin tidak terkendali. Padahal saat ini pemerintah melalui Kepmen-KP No. 50 Tahun 2017 menyatakan bahwa sebagian perikanan utama Indonesia telah mengalami overfishing.
Walaupun saat ini UU CK sedang dalam masa revisi dari keputusan Mahkamah Agung, nyatanya satu demi satu intensi nyata dari Pemerintah dengan adanya UU CK mulai terkuak melalui program dan skema-skema ini. Ujung-ujungnya, narasi positif yang dilemparkan ke publik guna menutupi sisi gelap UU CK, tidak akan pernah cukup untuk menutupi risiko degradasi laut dan lingkungan serta kerugian nelayan kecil dan tradisional.
***