Jakarta sedang tidak baik-baik saja. Ibukota Negara sedang menghadapi krisis mematikan yang berbahaya bagi manusia. Saat artikel ini ditulis, Selasa, 15 Agustus 2023, DKI Jakarta kembali menduduki peringkat pertama sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di seluruh dunia. Parameter kualitas udara IQAir digunakan untuk menghasilkan data ini. Dari 109 negara, indeks kualitas udara Jakarta mencapai angka 183 US Air Quality Index (AQI US).
Data ini dikumpulkan pada pukul 08.00 pagi ini. Dengan konsentrasi 116.7 g/m3, polat utama adalah PM2.5 (partikel polusi halus yang berbahaya). Menurut iqair.com, konsentrasi PM2.5 di Jakarta saat ini 23.3 kali nilai panduan kualitas udara tahunan WHO.
Alhasil, kesehatan warga Jakarta dalam ancaman. Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyebutkan bahwa dalam dua bulan terakhir, terjadi peningkatan kasus infeksi saluran pernapasan (ISPA) dari 99.130 kasus di bulan Mei 2023 menjadi 102.475 kasus di bulan Juni. Lalu apa penyebab polusi di Jakarta begitu memburuk? Apakah kemudian ada dampaknya bagi laut?
Bukan Semata-mata karena Kendaraan Pribadi, Ada PLTU yang Berkontribusi Besar
Ada banyak faktor yang menjadikan polusi udara di Jakarta semakin mencekik paru-paru kita. Mulai dari tingginya penggunaan kendaraan bermotor, krisis iklim yang membuat kemarau semakin berat dan memperparah tingkat polusi, hingga pencemaran udara akibat sektor industri energi dan manufaktur. Kegiatan ini banyak menggunakan bahan bakar batu bara yang menghasilkan residu emisi berupa asap dan polusi.
Hal ini diperkuat dengan kesaksian salah satu warga yang tinggal dekat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Lontar di wilayah utara Kabupaten Tangerang, Banten. Dilansir dari BBC Indonesia, pria berinisial AG berusia 27 tahun ini mengatakan bahwa pembangkit, yang didirikan pada tahun 2009, telah mengubah kebiasaan masyarakat, salah satunya adalah menampung air untuk digunakan saat mandi. Air hujan yang turun ke atap rumah warga menjadi hitam karena partikel yang mungkin berasal dari aktivitas PLTU. Akibatnya, air tampungan itu tidak dapat digunakan lagi. AG mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa sekarang air hujan berubah menjadi hitam pekat ketika ditadah karena efek debu hitam dari PLTU.
Saat ini, setidaknya ada 16 PLTU berbasis batubara yang terletak tidak jauh dari Jakarta; 10 diantaranya berada di Banten, dan 6 lainnya berada di Jawa Barat. Namun, industri manufaktur yang tercatat pada tahun 2019 memiliki 418 fasilitas yang terletak dalam radius 100 km dari wilayah metropolitan Jakarta. Dari jumlah itu, 136 di antaranya termasuk industri dengan emisi tinggi, seperti semen, baja, kaca, penyulingan gas dan minyak, PLTU batubara, logam, petrokimia, dan plastik.
Salah satu contohnya adalah perusahaan manufaktur di wilayah Marunda, Jakarta Utara, yang terus menggunakan batubara sebagai sumber energi listrik. Salah satu anggota koalisi KORAL; Walhi, mencontohkan perusahaan manufaktur di wilayah Marunda, Jakarta Utara, yang terus menggunakan batubara sebagai sumber energi listrik yang lokasinya dengan permukiman masyarakat. Warga Rusunawa Marunda sudah pernah mengeluhkan. “Harusnya dari perusahaan, kalau masih pakai batubara harus pakai filter untuk menyaring fly ash supaya tidak terbang dan lokasinya harus jauh dari permukiman, Kami melihat sebabnya karena kepentingan ekonomi dan politik. Ketika aturan emisi dari industri diperketat yang teriak-teriak pasti pengusaha. Makanya pantauan kami ada kepentingan ekonomi dan politik yang mendegradasi kebijakan untuk kualitas lingkungan.” kata Ketua Kampanye Walhi DKI Jakarta, Muhammad Aminullah, Minggu (13/08).
Dampaknya Bagi Laut: Tahukah Kamu tentang Acid Rain?
Walaupun banyak keluhan yang disampaikan masyarakat di darat, dampak polusi udara juga akan berimbas ke laut. Raymond Najjar, seorang profesor Meteorologi dan peneliti utama dari Penn State University mengatakan bahwa Nitrogen merupakan unsur alami yang penting bagi semua organisme hidup. Namun dalam sistem akuatik, kelebihan nitrogen dapat merangsang pertumbuhan eksplosif tanaman dan alga, yang menghabiskan kadar oksigen saat mereka mati dan membusuk.
Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), saat ini terdapat bukti nyata dan nyata dari dampak perubahan iklim, dan terdapat konsensus bahwa emisi dari aktivitas manusia merupakan pendorong utama perubahan iklim. Suhu rata-rata bumi telah tercatat meningkat oleh Regional and Global Environmental Issues of Air Pollution 503 sekitar 0,74°C selama satu abad terakhir. Bukti nyata dari pemanasan ini termasuk menyusutnya gletser gunung, pencairan permafrost, pecahnya es sungai dan danau lebih awal, perubahan pola presipitasi dan arus laut, serta peningkatan frekuensi dan intensitas gelombang panas, badai, banjir, dan kekeringan di beberapa wilayah di bumi (IPCC, 2007). Perubahan iklim sekarang diakui sebagai tantangan global utama yang akan memiliki dampak signifikan dan jangka panjang terhadap kesejahteraan dan pembangunan manusia (UNEP, 2007).
Sementara penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2004 bertajuk “Impacts of Atmospheric Pollutants on Aquatic Ecosystems” mengatakan bahwa secara khusus, bahan kimia yang mudah menguap dapat dibawa melalui atmosfer dan jatuh di bagian dunia yang jauh dari asalnya. Kandungan kimia ini dapat diendapkan langsung ke ekosistem darat dan perairan (deposisi “langsung”) atau diendapkan ke permukaan tanah dan kemudian mengalir dan dipindahkan ke perairan hilir (deposisi “tidak langsung”). Pengendapan polutan ini dapat terjadi melalui bentuk basah atau kering. Deposisi basah meliputi hujan, awan, atau kabut, sedangkan deposisi kering meliputi gas, debu, dan partikel kecil.
Hal ini akan berkaitan dengan acid rain atau hujan asam. Pelepasan belerang dan nitrogen ke atmosfer oleh pembangkit listrik dan kegiatan pertanian memainkan peran dalam membuat lautan lebih asam dalam skala global, dengan dampaknya yang sangat besar di perairan dangkal pesisir laut (Woods Hole Oceanographic Institution, 2007). Penelitian ini dilakukan oleh Scott Doney, seorang ilmuwan senior di Departemen Kimia Kelautan dan Geokimia di Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI), berkolaborasi dalam proyek ini dengan Natalie Mahowald, Jean-Francois Lamarque, dan Phil Rasch dari National Center untuk Riset Atmosfer, Richard Feely dari Laboratorium Lingkungan Kelautan Pasifik, Fred Mackenzie dari Universitas Hawaii, dan Ivan Lima dari Departemen Kimia dan Geokimia Kelautan WHO.
“Pengasaman” lautan terjadi ketika senyawa kimia seperti karbon dioksida, belerang, atau nitrogen bercampur dengan air laut, suatu proses yang menurunkan pH dan mengurangi penyimpanan karbon. Pengasaman laut menghambat kemampuan organisme laut — seperti bulu babi, karang, dan beberapa jenis plankton — untuk memanfaatkan kalsium karbonat untuk membuat cangkang luar yang keras atau “kerangka luar”. Organisme ini menyediakan makanan dan habitat penting bagi spesies lain, sehingga kematiannya dapat memengaruhi seluruh ekosistem laut.
Selain pengasaman, masukan nitrogen berlebih dari atmosfer mendorong peningkatan pertumbuhan fitoplankton dan tanaman laut lainnya yang, pada gilirannya, dapat menyebabkan algal bloom yang berbahaya dan eutrofikasi (penciptaan “zona mati” yang kekurangan oksigen) di beberapa bagian laut.
Dapat dikonklusikan bahwa pencemaran udara berdampak pada kesehatan laut. Hal ini tentunya tidak mengherankan, melihat bahwa Bumi merupakan satu kesatuan, bak berbagai mata rantai yang saling berkaitan erat. Ketika ada satu anomali atau kerusakan terjadi di satu rantainya, maka akan berimbas ke mata rantai yang lain.
Sampai artikel ini dikeluarkan, solusi yang diberikan oleh Pemerintah bersifat proaktif dan justru diberatkan ke rakyat seperti kembali menggunakan masker ketika beraktifitas di luar ruangan. KORAL berharap Pemerintah tidak hanya mampu membebankan tanggung jawab ke masyarakat, namun juga mampu menindak tegas perusahaan-perusahaan dan industri yang menghasilkan emisi udara berbahaya ataupun limbah lainnya yang berdampak bukan hanya bagi kesehatan manusia, tapi tentunya berdampak berat dan jahat bagi lingkungan.
***