MENYUSUN TEKA-TEKI UNTUK MENDUKUNG HAK-HAK NELAYAN MIGRAN DI INDUSTRI HASIL LAUT

Para Awak Kapal Perikanan sedang memilah-milah hasil tangkapan. Foto: Greenpeace

Industri makanan laut adalah salah satu pemberi kerja terbesar di dunia, menyediakan pekerjaan bagi jutaan orang di seluruh dunia. Namun, industri ini memiliki tantangan yang signifikan, termasuk isu seputar kerja paksa, perdagangan manusia, dan eksploitasi pekerja migran. Washington School of Law baru-baru ini, 23 Maret 2023 menyelenggarakan webinar dengan Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization atau ILO) untuk membahas masalah kritis hak-hak nelayan migran dan pentingnya mempromosikan hak asasi manusia dalam industri makanan laut.

Webinar menampilkan pakar dari berbagai bidang, termasuk ILO, Departemen Perburuhan AS—Biro Urusan Perburuhan Internasional, Pusat Penelitian Akuntabilitas (ARC), Pusat Aliansi Perburuhan dan Hak Asasi Manusia (CENTRAL) dan Keadilan Perburuhan Global -Forum Hak Buruh Internasional. Pembicara berbagi wawasan mereka tentang pekerjaan nelayan yang unik dan menantang, yang melibatkan banyak bahaya di laut dan dimulai dengan fase perekrutan. “Rekrutmen selalu menjadi masalah karena model yang dibangun di masa lalu sangat sulit untuk dibongkar. Belum ada modelnya,” bantah Kevin Cassidy, Direktur pembangunan ILO dan isu hak asasi manusia. Salah satu diskusinya adalah perlunya mempromosikan perekrutan yang adil dan pekerjaan migran reguler yang aman, yang menurut Kevin masih merupakan proses yang berkelanjutan.

ILO bekerja sama dengan negara-negara seperti Indonesia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand untuk mengurangi kerja paksa dan mempromosikan pekerjaan layak di bidang perikanan. Mereka juga bermitra dengan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) untuk memperbaiki tata kelola dan meningkatkan koordinasi dengan para pemangku kepentingan di industri ini. Tola Moeun dari CENTRAL, berpendapat bahwa peraturan tersebut harus mempromosikan rekrutmen yang adil sambil menerapkan sanksi perdata, pidana atau hukuman moneter.

Pembicara juga membahas berbagai kebijakan dan peraturan yang perlu diterapkan untuk melindungi hak-hak pekerja migran dan meningkatkan kondisi kerja di industri makanan laut. Anne Zolder, dari Departemen Tenaga Kerja AS, Biro Urusan Perburuhan Internasional, menekankan pentingnya mengajak pekerja dan semua pihak yang terlibat untuk menyelesaikan masalah perekrutan yang adil dan memperkuat standar tenaga kerja. “Pekerja harus menjadi bagian sentral dari solusi,” kata Anne.

Selanjutnya panelis memaparkan berbagai cara yang dapat membantu menjawab persoalan hak-hak nelayan migran, termasuk pentingnya dialog sosial untuk memenuhi kebutuhan dasar buruh dengan baik. Misalnya, Jennifer Rosenbaum dari Forum Hak Buruh Internasional Keadilan Buruh Global secara khusus berupaya menyediakan WIFI di kapal untuk nelayan. Program tersebut menjawab kebutuhan para pekerja akan akses komunikasi selama bekerja di laut. Model kampanye WIFI khusus ini menyatukan tuntutan pekerja dalam rantai konkret. Jennifer lebih lanjut berpendapat bahwa pendekatan pemerintah sangat penting untuk mendukung kampanye.

Selama sesi tanya jawab, para pembicara membahas masalah model rekrutmen saat ini dan bagaimana perusahaan ingin menghindari pembahasan masalah ini. Pentingnya mengatur proses rekrutmen yang adil dan penerapan sanksi perdata, dan hukuman pidana atau uang, ditekankan. Kebutuhan akan kesepakatan yang transparan antara pekerja dan pengusaha sangat penting—misalnya, transparansi dimana konflik terjadi. Para korban harus dapat membawa kasusnya ke pengadilan, dan pemerintah harus menyediakan proses pemulihan keluhan yang efektif.

“Yang terpenting adalah bagaimana menyatukan semua teka-teki,” Judy Gearhart, Peneliti Senior di Pusat Penelitian Akuntabilitas (ARC), menekankan pentingnya memeriksa masalah upah tenaga kerja dan industri makanan laut. Dia melanjutkan, “Gagasan hak asasi manusia lebih dari sekadar mengetahui masalah rantai pasokan. Kita harus dapat melacak kapal, industri, dan pengecer, pembeli, sehingga rantai dapat diatur sebagai satu kesatuan.” Mendukung hak-hak nelayan migran dan menerapkan uji tuntas hak asasi manusia dalam industri makanan laut sangat penting untuk lebih dari sekadar masalah rantai tetapi dengan seluruh kelompok pemangku kepentingan.

Webinar tersebut memberikan wawasan tentang perlunya melindungi hak-hak nelayan migran dan mempromosikan hak asasi manusia dalam industri makanan laut. Para pembicara menyoroti pentingnya perekrutan yang adil, pekerjaan migran yang aman, akuntabilitas, dan tata kelola yang efektif untuk meningkatkan kondisi kerja dan mengurangi kerja paksa di industri ini. Pemangku kepentingan dalam industri ini harus berkolaborasi untuk menerapkan kebijakan dan peraturan yang mengurangi kerja paksa, melindungi hak-hak pekerja migran, dan memastikan lingkungan kerja yang adil dan aman bagi semua.

Sementara itu, pada kesempatan terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh. Abdi Suhufan mengatakan, perhatian dan inisiatif global untuk perbaikan manajemen ABK belum menyentuh persoalan fundamental serta perbaikan regulasi dan sistem di Indonesia. “Program internasional di Indonesia belum menembus akar permasalahannya. Sehingga solusi praktis untuk tata kelola ABK migran yang semrawut belum tersedia,” kata Abdi. Program dan pendekatan yang dilakukan selama ini hanya bersifat supervisi dan berbasis proyek, yang harus menjawab permasalahan tersebut. “Akibatnya, belum ada regulasi yang tegas terkait pengelolaan ABK migran yang digerakkan oleh donor program dan diadopsi oleh pemerintah Indonesia,” pungkas Abdi.

***

Sumber Utama: Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia