KKP SEGERA INVESTIGASI TEMUAN 16 RIBU KAPAL TAK BERIZIN MELAUT 

Baru-baru ini dunia kelautan dan perikanan digemparkan dengan diungkapkannya selisih jumlah kapal yang melaut versi dua Kementerian. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merilis data bahwa terdapat 6.000 kapal yang melaut, sementara Kementerian Perhubungan mencatat terdapat 22.000 kapal yang melaut di perairan Indonesia. Dari kedua laporan kementerian tersebut, terdapat selisih 16.000 kapal yang masih belum diketahui kebenarannya.

Namun angka tersebut bukanlah jumlah yang kecil. Apabila data ini kemudian benar, KKP hanya mengantongi izin 6.000 kapal saja, maka 16.000 kapal ini beroperasi tanpa izin dan bukan tidak mungkin, juga melakukan tindak ilegal, unregulated, unreported fishing (IUUF) di perairan kita.

Tentunya ini menjadi tantangan bagi KKP untuk mencari tahu kebenarannya. Apakah kemudian data milik KKP yang benar, atau justru data yang dimiliki KEMENHUB lah yang sesuai di lapangan. Bukan hanya itu, mungkin saja selisih ini terjadi karena adanya perbedaan penyajian data yang dilakukan KKP dengan KEMENHUB seperti yang diungkapkan oleh Peneliti Destructive Fishing Watch (DFW) Muhamad Arifuddin. “Jika benar ada perbedaan data, mesti dicari sebabnya, apakah ada perbedaan format data dan penyajian atau secara faktual ada perbedaan angka” kata Arif.

Jika Benar, Indonesia Rugi

Jika betul jumlah selisih yang mencapai 16.000 kapal ini benar adanya, maka Indonesia kehilangan pemasukan besar yang didapat dari hilangnya data hasil tangkapan, PNBP dan pajak dari beroperasinya belasan ribu kapal tersebut. Belum lagi kerugian yang dihasilkan dari operasi penangkapan ikan yang tidak jelas caranya. Bukan tidak mungkin, kapal-kapal yang belum terdaftar ini menggunakan alat penangkapan ikan (API) terlarang dan merusak laut. Jika tidak adanya kepastian data, maka tidak bisa dipastikan juga kerugian yang diterima Negara.

Maka dari itu dibutuhkan sinkronisasi data antara satu Kementerian dengan Kementerian terkait lainnya. Bukan hanya basis data dalam pembuatan kebijakan atau regulasi yang tidak jelas, tentunya adanya ketidaksinkronan data antar Kementerian dapat mengurangi kredibilitas Indonesia di mata dunia. 

KORAL berharap, KKP dapat menginvestigasi selisih jumlah kapal ini. Kalau benar, tentunya KKP perlu bergerak cepat dalam menginvestigasi keberadaan kapal-kapal tersebut, mencari tahu siapa saja pemiliknya dan meminta mereka untuk lapor ke KKP. Dari situ KKP perlu menindaklanjutinya dengan proses pendaftaran. Apabila para pemilik kapal tidak melakukan hal tersebut, maka mereka perlu menghentikan aktivitas penangkapan ikan. 

***