KENAIKAN PNBP PASCAPRODUKSI: DITOLAK NELAYAN, DIPERTANYAKAN DPR

Ilustrasi nelayan

Baru-baru ini sektor kelautan dan perikanan Indonesia digegerkan dengan isu adanya kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pascaproduksi  sebesar 5% dan 10%. Kebijakan tersebut tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dalam PP tersebut dijabarkan bahwa untuk kapal penangkap berukuran sampai dengan 60 GT, indeks PNBP adalah 5%. Sementara untuk kapal diatas 60 GT adalah 10%.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam keterangan resmi di laman mereka mengatakan bahwa penetapan PNBP pascaproduksi menggunakan perhitungan indeks tarif (satuan persentase/ %) dikalikan nilai produksi ikan pada saat didaratkan (satuan Rupiah/ Rp).

Kenaikan PNBP Pascaproduksi Menerima Banyak Protes: Kenapa Harus Direvisi?

Kenaikan tarif PNBP Pascaproduksi diprotes oleh banyak pihak; mulai dari nelayan hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perlu diketahui ribuan nelayan mendatangi kantor Bupati Pati Jawa Tengah pada 13 Januari 2023 yang lalu. Menurut Ketua Koordinator lapangan, Hadi Sutrisno, massa menuntut penurunan tarif PNBP karena memberatkan nelayan. 

Hal serupa juga diutarakan oleh DPR RI. Komisi IV DPR RI meminta KKP untuk mempertimbangkan besaran PNBP Pascaproduksi. Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin, mengatakan bahwa demo yang dilakukan oleh nelayan bukan tanpa sebab. Ia menilai, pungutan pajak tersebut terlalu merugikan nelayan, apalagi biaya operasional nelayan sudah sangat tinggi. 

Dikutip dari laman KKP, dikatakan bahwa penetapan tersebut dilakukan untuk “.. memberikan rasa keadilan karena pungutan hasil perikanan (PHP) tidak lagi dibayarkan berdasarkan perhitungan produktivitas kapal perikanan sebelum melakukan operasional penangkapan ikan, melainkan dibayar berdasarkan penghitungan volume produksi ikan riil setelah pelaku usaha melakukan usaha penangkapan ikan. “ namun sayangnya, keadilan tidak bisa serta merta diputuskan tanpa menimbang faktor-faktor lainnya. 

Kenaikan tarif PNBP tidak bisa serta merta dilakukan dengan menyamaratakan antara nelayan kecil dan nelayan besar. Jika kemudian syarat besaran PNBP hanya berdasarkan dua golongan yaitu dibawah 60 GT atau diatas 60 GT maka terjadi penyamarataan kondisi antara nelayan kecil dan besar. Tentunya akan tidak adil bagi nelayan kecil dengan jumlah yang mendominasi perikanan tangkap,  untuk dibebankan tarif yang sama dengan nelayan besar. 

Jika dilihat berdasarkan data yang dikeluarkan oleh KKP di tahun 2021 sendiri, ada sekitar 190 ribu kapal perahu tanpa mesin yang digunakan nelayan kecil dengan alat tangkap sederhana seperti jaring, pancing, dan alat tangkap lainnya. Sementara, ada sekitar 181 ribu kapal perahu dengan motor tempel dan 174 ribu kapal bermesin yang digunakan oleh nelayan skala besar dengan alat tangkap yang lebih besar. 

Tentunya biaya operasional, besar hasil tangkapan, dan juga alat tangkap dan daya tempuh dari kapal berukuran 5 GT dengan 10 GT saja sudah sangat berbeda dan menjadi faktor lain yang membuat besaran PNBP jadi lebih berat bagi nelayan kecil. Misalnya saja jarak tempuh untuk mendapatkan BBM dan harga BBM yang tinggi membuat nelayan kecil menjadi lebih terpuruk dan terbebani, lalu juga jumlah hasil tangkapan yang pastinya berbeda.

Tanggapan KKP

KKP sendiri menanggapi hal ini mengatakan akan meninjau kembali besaran PNBP tersebut. Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (Dirjen DJPT) Muhammad Zaini menuturkan, KKP telah melakukan langkah-langkah merevisi aturan yang terkandung dalam PP No. 85 Tahun 2021 tersebut (Kompas, Januari 2023).  Hal ini juga diperkuat dengan ruang diskusi yang dibuka KKP pada 16 Januari yang lalu. KKP mengundang para pelaku usaha dari berbagai daerah untuk bertemu dan membahas mengenai PNBP dan disepakati untuk menurunkan tarif pungutan pajak tersebut. Namun demikian, besaran PNBP masih perlu dibahas.

Update terbaru, dilansir dari Tempo, Menteri Trenggono dan perwakilan pelaku usaha perikanan bersepakat menerima kebijakan penarikan PNBP Pasca-Produksi dengan formulasi 10 persen x harga acuan ikan (HAI) yang mempertimbangkan harga pokok produksi (HPP). Namun hingga kemarin, aksi demo sebagai bentuk penolakan besaran PNBP dari nelayan di Cilacap masih terjadi. Ini artinya, penentuan besaran PNBP tidak bisa serta merta diputuskan begitu saja. Walaupun ruang diskusi sudah dibuka, faktor-faktor penyerta yang wajib masuk dalam pertimbangan. 

KORAL memiliki beberapa pertanyaan bagi KKP yaitu:

  1. Mengutip media Tempo, “Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan menggelar pertemuan dengan nelayan dan pengusaha perikanan untuk membahas penurunan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Jakarta, Senin, 16 Januari 2023,”. Pertanyaannya adalah: nelayan manakah yang terwakilkan suaranya? Apakah nelayan di bawah 60 GT atau hanya nelayan di atas 60 GT? Jika kemudian pengusaha perikanan dan nelayan di atas 60 GT saja yang terwakilkan, tentunya ada disparitas kepentingan dan kemampuan produksi  antara nelayan besar dan nelayan kecil. 
  2. Jika kemudian KKP memberikan penurunan nilai PNBP menjadi 5% ke nelayan besar, maka pungutan yang diberikan antara nelayan besar dan nelayan di bawah 60 GT menjadi sama. Apakah menurut KKP hal ini adil bagi nelayan di bawah 60 GT?
  3. Jika KKP memberikan angka persentase tersebut ke nelayan di atas 60 GT, apakah itu artinya Negara secara tidak langsung memberikan sinyal keuntungan lebih bagi nelayan besar yang mengeruk hasil sumber daya perikanan lebih besar hanya dengan syarat membayar PNBP 5%?
  4. Terkait dengan HAI, apakah KKP telah melakukan review untuk melihat efektivitas penerapan HAI di seluruh  pesisir dan pulau kecil Indonesia? Mengingat kenyataannya, mayoritas perikanan tangkap di Indonesia didominasi nelayan kecil (di bawah 10 GT) dengan disparitas geografis yang pasti berdampak terhadap harga ikan.

KORAL berharap ruang diskusi yang diberikan bagi perwakilan nelayan bukan hanya dibuka untuk nelayan diatas 60 GT, tetapi juga bagi nelayan di bawah 60 GT.  Semoga revisi akan besaran PNBP yang ditetapkan bagi para nelayan, dapat diputuskan dengan transparan dan bijaksana tanpa mengenyampingkan faktor-faktor lainnya yang dapat membebani mereka. 

***