BOLONG DI LANGIT, KOSONG DI LAUT: DAMPAK PENIPISAN OZON PADA LAUT

Bumi sebagai bagian dari tata surya tentunya mendapatkan paparan sinar matahari yang dibutuhkan oleh setiap organisme yang hidup di muka Bumi ini. Dengan adanya lapisan ozon, sinar matahari tidak serta merta secara langsung memancar ke Bumi dan menyebabkan radiasi sinar ultraviolet (sinar UV) yang justru membahayakan makhluk hidup. 

Tapi seiring bertambahnya jumlah manusia dan aktivitas manusia di Bumi ini, lapisan ozon semakin menipis. Bukan tanpa sebab, klorofluorokarbon buatan manusia dan zat perusak ozon lainnya saat ini menyebabkan tren penurunan tingkat ozon stratosfer di sebagian besar bagian Bumi, sehingga membahayakan seluruh kehidupan di Bumi tak terkecuali di laut (Oceaneos, 2018).

Ekosistem laut menjadi salah satu korban dari penipisan lapisan ozon. Sudah banyak bukti bahwa penipisan ozon yang terus-menerus akan menyebabkan peningkatan penetrasi UV ke permukaan lautan, sehingga mengakibatkan kerusakan pada berbagai bentuk kehidupan laut seperti fitoplankton, organisme bersel tunggal yang menjadi dasar makanan laut. Hal ini dikarenakan produktivitas fitoplankton terbatas pada zona eufotik, yaitu lapisan atas kolom air yang memiliki cukup sinar matahari untuk mendukung produktivitas bersih. Paparan radiasi UVB matahari telah terbukti mempengaruhi orientasi dan motilitas fitoplankton, yang mengakibatkan berkurangnya tingkat kelangsungan hidup organisme ini. Para ilmuwan telah menunjukkan penurunan langsung produksi fitoplankton karena peningkatan UVB terkait penipisan ozon (United States Environmental Protection Agency, 2022).

Selain itu, radiasi UVB atau sinar UV gelombang pendek, diketahui menyebabkan kerusakan pada tahap awal perkembangan ikan, udang, kepiting, amfibi, dan hewan laut lainnya. Sementara, dampak yang paling parah adalah penurunan kapasitas reproduksi dan gangguan perkembangan larva. Peningkatan kecil paparan UVB dapat mengakibatkan penurunan populasi organisme laut kecil yang berdampak pada keseluruhan rantai makanan laut.

Pada tanggal 16 September, Bumi merayakan “International Day for the Preservation of the Ozone Layer” atau Hari Ozon Internasional. Hari tersebut menjadi peringatan bagi kita semua bahwa Dunia satu-satunya yang kita miliki terancam bahaya besar karena penipisan lapisan ozon. Di sisi lain, hari tersebut menjadi momentum pengingat bagi bahwa kerja sama internasional dan kesadaran publik sangat penting.

Dilansir dari NASA, terbentuknya lubang atau penipisan lapisan ozon pada dasarnya disebabkan oleh manusia. Aktivitas manusia secara efektif menciptakan lubang melalui penggunaan gas seperti klorofluorokarbon (CFC) dalam kaleng semprot dan zat pendingin, yang memecah molekul ozon di bagian atas atmosfer.

Caption: Kelimpahan zat perusak ozon di atmosfer CFC-11, CFC-12, CFC-113 dan HCFC-22 untuk periode 1965 hingga 2030. Garis utuh mewakili data observasi (1965–2017) dan garis putus-putus mewakili data prediksi (2018–2030). (Sumber: Atmospheric Burden of Ozone Depleting Substances (ODSs) and Forecasting Ozone Layer Recovery, 2018)

Maka dari itu, Protokol Montreal 1987 (UNEP, 2017), chlorofluorocarbons (CFCs) dan hydrochlorofluorocarbons (HCFCs) yang mengandung klorin (seperti CFC-11, CFC-12, HCFC-22, R-502, dan HCFC-123) sudah dihapuskan karena memiliki resiko potensi penipisan ozon.

Namun hingga saat ini, dilansir dari laman resmi Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan Bantul, mengungkapkan bahwa industri perikanan di Indonesia saat ini masih banyak menggunakan R-22 sebagai refrigeran karena R-22 lebih mudah didapat dan banyak tersedia, sementara jenis refrigeran lain masih terbatas untuk kalangan nelayan. Padahal nilai GWP HCFC-22 atau R-22 mencapai 4300 kali lebih besar daripada efek rumah kaca CO2 dalam 20 tahun atau 4300 kali lebih besar daripada ODP HFC-22. Selain itu, ODP HFC-22 mencapai 0.05 atau 0.05 kali lebih besar daripada degradasi lapisan ozon yang disebabkan CFC-11.

Ini patut menjadi catatan bagi Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk memastikan bahwa industri perikanan Indonesia juga menjunjung nilai keberlanjutan dan ramah lingkungan. Faktor-faktor seperti penyerapan panas, resiko terbakar, dan nilai ekonomi bukanlah satu-satunya faktor utama yang harus dipertimbangkan. Faktor lainnya yang penting untuk dipertimbangkan adalah dampak lingkungan saat memilih cold storage. Ditambah saat ini ada beberapa agenda proyek nasional seperti mega cold storage di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (CNBC Indonesia, Agustus 2022) dan beberapa wacana penggunaan atau pengadaan cold storage lainnya di berbagai daerah di Indonesia. 

Bukan hanya terkait penggunaan atau pengadaan cold storage saja, namun upaya untuk membuat industri perikanan Indonesia jadi lebih ramah lingkungan adalah dengan memastikan tidak adanya kemunduran regulasi maupun proyek-proyek nasional yang justru meningkatkan eksploitasi akan laut seperti implementasi Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2023 tentang Sedimentasi Pasir Laut. Mengingat resiko kerusakan laut sudah cukup tinggi dan ‘diserang’ dari banyak faktor lainnya. Pemerintah juga harus lebih bijaksana dan memastikan laut Indonesia terjamin kesuburan dan keamanannya dari industri perikanan tangkap skala besar yang eksploitatif dan destruktif. Apalagi jika ditambah penggunaan alat penangkapan ikan yang dilarang dan memperparah kerusakan laut dan terumbu karang. Hal ini dikarenakan overfishing juga menjadi salah satu penyebab 

Caption: Grafik kenaikan suhu permukaan air laut dari tahun 1986-2013 (Sumber: Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA))

perubahan atau krisis iklim. Meskipun penangkapan ikan yang berlebihan tidak berdampak langsung terhadap perubahan iklim, namun hal ini membuat habitat laut menjadi tidak maksimal terhadap dampak perubahan iklim. Hal ini juga secara tidak langsung dapat mempengaruhi perubahan iklim dengan menghancurkan spesies yang berperan penting dalam penyerapan gas rumah kaca, seperti lamun.

Padalah, dilansir dari artikel bertajuk “Oceans May Emit More Ozone-Depleting Gases” (Valerie Yurk, E&E News, 2021), lautan merupakan ‘gudang gas’ yang sangat besar, termasuk didalamnya gas CFC yang merusak ozon. Lautan menyerap gas-gas ini dari atmosfer dan menariknya ke kedalaman, di mana gas-gas tersebut dapat tetap tersimpan selama berabad-abad atau lebih. Namun jika suhu laut semakin panas, maka laut akan berubah dari yang awalnya menyimpan menjadi sumber pelepasan gas-gas berbahaya tersebut. Maka dari itu upaya konservasi juga harus digalakkan baik konservasi di laut seperti lebih banyak ruang pemijahan atau nursery ground yang aman maupun pertambahan ruang hidup yang aman bagi terumbu karang, padang lamun, dan mangrove sehingga suhu laut dapat diperbaiki perlahan.

Bumi dan seluruh isinya merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Satu dapat merusak yang lain dan dampaknya akan sama-sama dirasakan. Semoga di Hari Ozon Sedunia ini, Pemerintah kembali diingatkan akan pentingnya menjaga laut demi nasib Bumi dan ozon yang selamat. 

***