Setelah Konferensi COP27 di Mesir usai, dunia menyambut baik Konferensi Keanekaragaman Hayati COP15 di Montreal, Kanada yang diselenggarakan pada tanggal 7 hingga 19 Desember 2022. Konferensi yang populer dengan sebutan COP (Conference of Parties) CBD (Conference on Biological Diversity atau Konvensi Keanekaragaman Hayati), membahas masalah tindakan di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB. Pada perhelatan ini, COP15 akan dihadiri oleh perwakilan dari 196 negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati, sejak tahun 1992. Selain itu para ilmuwan, kelompok non-pemerintah, dan pakar lainnya juga turut menghadiri Konvensi ini.
COP15 berfokus pada kehidupan dunia melalui Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) yang merupakan kesepakatan yang diadopsi untuk konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati dan isu-isu terkait. Konvensi ini akan melibatkan pemerintah dari seluruh dunia untuk menyepakati kebijakan pada serangkaian tujuan dan target baru yang akan memandu aksi global terhadap alam hingga tahun 2030.
Simfoni Kekacauan dalam Orkestra Kehancuran Biodiversitas Alam
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres dalam pidato pembukaan COP15 mengatakan bahwa dunia sedang dalam kondisi dan kebutuhan yang mendesak. Ia menekankan bahwa tanpa alam dan bumi yang sehat, manusia bukan apa-apa. Guterres menyatakan bahwa umat manusia, selama ratusan tahun, telah “melakukan hiruk-pikuk kekacauan, bermain dengan instrumen kehancuran”.
Ia juga menjabarkan daftar contoh kehancuran yang dilakukan manusia dan salah satunya adalah degradasi lautan, yang mempercepat penghancuran terumbu karang penopang kehidupan dan ekosistem laut lainnya – secara langsung mempengaruhi komunitas yang bergantung pada laut untuk mata pencaharian mereka.
Dalam COP15, Guterres meringkas kerangka kerja baru yang mencakup 21 target yang harus dipenuhi pada tahun 2030. Kerangka kerja ini termasuk: mengurangi penggunaan pestisida, meningkatkan pendanaan hingga $200 miliar per tahun, dan melindungi setidaknya 30% tanah dan laut secara global melalui sistem kawasan lindung dan tindakan konservasi berbasis kawasan lain yang efektif.
Kerangka Kerja Baru yang Penuh Tanda Kutip dan Tantangannya
Tetapi para ahli menunjukkan bahwa draft perjanjian, yang dijuluki Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Pasca 2020, mencakup banyak amandemen yang diusulkan, ditunjukkan dengan tanda kurung siku, yang mengindikasikan banyak syarat dalam pengimplementasiannya, dan belum disepakati oleh para pihak. Hal ini tentunya yang memicu kekhawatiran.
Seorang Profesor dan juga anggota Dewan Riset Ilmiah dan Teknis Nasional Argentina, Sandra Diaz, mengatakan bahwa perjanjian yang diharapkan justru lebih “berani” dengan persyaratan yang lebih sedikit. Seharusnya para Pemimpin Dunia belajar dalam kurun waktu 30 tahun sejak KTT Bumi di Rio tahun 1992, di mana teks perjanjian yang dikurasi dengan kuat, tepat, dan ambisius, nyatanya tidak memastikan implementasi yang sukses. Ini tentunya menjadi tantangan terbesar bahwa nyatanya, implementasi perjanjian masih terlalu bertele-tele, mengamankan oknum yang mengosongkan Bumi, dan lemah komitmen.
Buktinya, dari 20 target yang ditetapkan dalam kerangka global 10 tahun terakhir pada tahun 2010, yang dikenal sebagai Target Keanekaragaman Hayati Aichi, Konvensi Keanekaragaman Hayati melaporkan bahwa tidak ada yang tercapai sepenuhnya pada tahun 2020. Karena pada dasarnya, implementasi di lapangan harus berfokus pada keberlanjutan dan perlindungan keanekaragaman hayati dan diikuti dengan ekosistem dan manusia yang memiliki pola pikir dan pemahaman yang sama untuk mendukung dan memastikan kesehatan lingkungan.
Tantangan selanjutnya adalah keberadaan korporasi yang meraup sumber daya alam. Guterres dalam pidatonya membidik perusahaan multinasional yang, dikutip dari pernyataannya, “mengisi rekening bank mereka sambil mencerabut dunia kita dari berkah alam,” dan menjadikan ekosistem “permainan keuntungan,” dan mengutuk konsentrasi kekayaan dan kekuasaan di tangan sejumlah kecil individu yang sangat kaya.
Bagaimana dengan Sektor Kelautan dan Perikanan di Indonesia?
Pandangan Guterres di atas agaknya dapat terlihat nyata di sektor kelautan dan perikanan (KP). Dalam sektor KP, penangkapan ikan berlebih atau overfishing berkontribusi pada penghancuran keanekaragaman hayati dengan menjaring habitat dasar laut yang kaya karbon, mengganggu fungsi ekosistem dengan praktik penangkapan ikan berlebihan dan pengambilan ikan di atas tingkat yang berkelanjutan, menipiskan populasi ikan dan kerang, dan membunuh satwa liar.
Yang terjadi di Indonesia, khususnya terkait sektor kelautan dan perikanan, kebijakan dan regulasi seperti Undang-Undang Cipta Kerja, lalu Ekonomi Biru yang dinarasikan sebagai “penyelamat perairan Indonesia” justru berat sebelah ke arah eksploitasi legal dengan sistem Penangkapan Ikan Terukur dan Zonasi bagi industri perikanan tangkap besar, dan masih banyak lagi.
KORAL melihat kebijakan ini memberi peluang kepada investor di dalam dan luar negeri untuk memanfaatkan sumber daya ikan pada zona-zona industri melalui perizinan khusus berjangka 15 tahun. Padahal dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No.19 Tahun 2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan (JTB), dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) menunjukkan fakta bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di sebagian besar WPPNRI telah menunjukkan status eksploitasi penuh (fully exploited) dan eksploitasi berlebih (over exploited).
Sementara di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pun tak lepas dari ancaman eksploitasi massal. Hal ini terjadi karena keberadaan industri ekstraktif, salah satunya adalah pertambangan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh WALHI, per November 2021 sudah ada 2.919.870,93 Ha kawasan wilayah pesisir yang dikuasai oleh 1.405 Izin Usaha Pertambangan (IUP) seperti mangan, tembaga, minyak gas bumi, pasir dan lainnya. Sementara di wilayah laut, terdapat 687.999 Ha dan 324 IUP yang rata-rata pertambangan minyak dan gas.
Keberadaan Marine Protected Areas atau wilayah konservasi dan restorasi di wilayah laut dan pesisir yang dapat secara signifikan menyembuhkan kesehatan laut dan meningkatkan penyerapan karbon, perlindungan pesisir dan keanekaragaman hayati, kapasitas reproduksi organisme laut serta tangkapan dan pendapatan nelayan, belum sepenuhnya jadi komitmen yang diimplementasikan dengan maksimal dan ditegaskan urgensinya.
Dilansir dari siaran pers Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), wilayah konservasi laut di Indonesia sampai saat ini hanya seluas 28,4 juta ha dengan luas area zona inti (restricted area) adalah sebesar 1,9% (0,5 juta ha). Tentunya angka dibawah 2% bukanlah suatu kebanggaan. Indonesia butuh lebih dari itu. UU Cipta Kerja melalui regulasi turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan mengatur bahwa zona inti konservasi dapat dialihfungsikan. Syaratnya, pemanfaatan wilayah itu khusus proyek strategis nasional dan maksimal hanya 10% dari total luas zona inti. Pemohon izin juga harus mengganti wilayah itu sesuai dengan luas dan fungsi yang sama.
Pertarungan Melawan Waktu
Menurut Living Planet Report, kita telah kehilangan rata-rata 69% dari semua populasi vertebrata sejak tahun 1970. 150 spesies hilang setiap hari, dan satu juta spesies dapat musnah dalam beberapa dekade mendatang. Peristiwa kepunahan massal keenam sekarang sedang berlangsung. Manusia sejatinya, baik mereka yang menghuni negara maju atau berkembang, kaya atau miskin, semuanya bertarung melawan waktu untuk menyelamatkan bumi kita satu-satunya dari kerusakan tanpa “putar balik”.
Dalam COP15, Sekjen PBB, Guterres, menyarankan perlu adanya kesepakatan dalam mengatasi akar penyebab seperti subsidi yang berbahaya, investasi yang salah arah, sistem pangan yang tidak berkelanjutan, dan pola konsumsi dan produksi yang lebih luas. Kesepakatan ini juga wajib mencakupi dan mengatasi penyebab penurunan keanekaragaman hayati seperti perubahan atau pengalihan fungsi penggunaan lahan dan laut, eksploitasi berlebihan pada banyak spesies, perubahan iklim, polusi, dan invasi spesies asing.
Selain itu, melalui COP15, diharapkan adanya solusi pendanaan bagi negara-negara berkembang untuk melindungi keanekaragaman hayati sebagai negara yang paling terdampak. Sama seperti harapan KORAL di COP27, 3 aliansi negara yaitu Indonesia, Brazil dan Kongo juga diharapkan mampu menagih utang ekologis/ iklim kepada negara-negara maju yang bertanggung jawab secara mutlak atas kerusakan hutan dan meminimalkan konsumsi produk dari industri ekstraktif.
KORAL berharap, diskusi dan perjanjian yang dicetuskan di dalam perhelatan akbar COP15 Montreal mampu memberikan solusi nyata bagi misi penyelamatan bumi dan bukan sekadar diskusi kosong yang melahirkan draft perjanjian penuh tanda kutip dan agenda terselubung. COP15 Montreal bisa jadi merupakan salah satu event terpenting dalam sejarah manusia dan momen terpenting dalam menjamin masa depan dunia. Indonesia sebagai poros maritim dunia harus bisa lebih berkomitmen, gagah berani, dan bahkan “radikal” dalam memastikan keselamatan, keberlanjutan, dan kesehatan laut dan wilayah pesisir. Percuma rasanya menjadi bagian dari banyak perhelatan akbar terkait lingkungan, apabila pulang tanpa menemukan solusi bagi penurunan kualitas laut dan justru merilis regulasi atau kebijakan antipati lingkungan dan atau mendorong eksploitasi yang lebih besar.
***