PANCASILA TENGGELAM DI LAUT DENGAN DIKELUARKANNYA PP 26 TAHUN 2023

Masyarakat pesisir di Kepulauan Riau agaknya masih trauma, setiap kali mereka mendengar isu penambangan pasir. Bukan tanpa sebab, merekalah korban kedua, setelah laut dikorbankan Pemerintah dengan melegalkan  penambangan pasir laut. Tepatnya pada tahun 1976, Singapura sedang gencar melakukan perluasan area . Dikutip dari ​​ berbagai sumber, diketahui bahwa pada tahun 1990 luas negara Singapura adalah 580KM², tapi peta pada tahun 2010 menjadi 760 KM² , artinya bertambah 31% dibanding tahun 1990. Pada saat itu, kebutuhan pasir urug oleh Pemerintah Negara Singapura hingga tahun 2010 adalah sebanyak 7,120.000,000 M³. Pasir sebanyak itu untuk mereklamasi di dua kawasan yakni pantai Barat dan pantai Timur. Pasir-pasir itu berasal dari Indonesia. Dampak lingkungannya masih terasa hingga sekarang.

Dilarang 20 Tahun Lalu, Diperbolehkan Lagi Sekarang: Ada Apa?

Pemerintah Indonesia sudah melarang total ekspor pasir laut sejak 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Dalam SK yang ditandatangani Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno 28 Februari 2003 disebutkan alasan pelarangan ekspor untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas. 20 tahun lalu Indonesia masih “waras” dan menyadari mengapa penambangan pasir merupakan suatu kegiatan yang mengancam kesehatan ekologis dan keamanan negara. 

Lalu, entah dengan atas dasar apa Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut pada akhir Mei 2023 ini. Bak ledakan di tengah keramaian semangat “ekonomi biru”, Pemerintah melalui narasi dan permainan diksi justru mengeluarkan PP yang membuka kembali penambangan pasir laut, ini sangat kontradiktif dengan semangat keberlanjutan ekologis. 

Hal yang perlu dikritisi adalah niatan Pemerintah. Jika alasan gangguan ekosistem dan pelayaran karena sedimentasi laut, mengapa pada PP ini juga dituliskan mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)? Yaitu merupakan pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara.

Apakah ini artinya PP 26/2023 ini sama halnya dengan Penangkapan Ikan Terukur (PIT), yang memang ditujukan untuk kepentingan bisnis semata? Dengan dalih alasan ekosistem dan gangguan pelayaran sebagai alasan utama? Nomenklatur legendaris ala Pemerintah juga sangat apik dirangkai, agar seolah-olah Pemerintah melakukan aktivitas “pengelolaan hasil sedimentasi laut”; padahal kenyataannya merupakan kegiatan penambangan pasir yang diatur secara legal.

Alasan PP Ini Wajib Digugurkan Sungguh Banyak!

Dalam pasal-pasal pertama  di PP 26/2023 saja, sudah terlalu banyak pertanyaan yang menggelitik. KORAL merangkum setidaknya ada beberapa pertanyaan yang belum bisa terjawab maupun bisa mendasari alasan mengapa PP ini bukan hanya prematur, tetap juga haram untuk dijalankan.

Alasan pertama adalah dasar pengambilan keputusan. Di PP ini terdapat terminologi “Sedimentasi” yang sebenarnya tidak mempunyai dasar yang jelas. Definisi Sedimentasi yang dimaksud adalah yang seperti apa? Perlu diketahui, dasar laut atau ocean floor juga terbuat dari hasil sedimentasi yaitu berasal dari berbagai sumber, termasuk biota dari air laut di atasnya, material erosi dari daratan yang diangkut ke laut oleh sungai atau angin, abu dari gunung berapi, dan endapan kimiawi yang langsung berasal dari air laut. 

Memang terdapat sedimentasi berbahaya yang patut ditangani seperti sedimentasi yang berasal dari pembuangan pipa penambangan yang bermuara di laut, seperti kasus di penambangan di Freeport, Papua. Sedimentasi menumpuk di muara sungai dan berakhir di laut, karena perusahaan tambang tersebut membuang limbah pertambangan ke sungai. Jika sedimentasi yang dimaksudkan adalah sedimentasi hasil dari penambangan seperti ini, maka dirasa tepat. Tapi juga kemudian terminologi “sedimentasi” tidak diperjelas dan diikuti dengan penelitian dan kajian langsung di lapangan, maka laut kita terekspos bahaya yang sangat besar. Bisa-bisa hasil alam yang sudah terjadi selama ribuan tahun yang justru diambil, padahal pasir laut menjadi rumah bagi mineral-mineral berharga dan tempat ekosistem laut bernaung.

Lalu alasan kedua dituangkan dari Pasal 1 yang berbunyi “Pengendalian Hasil Sedimentasi di Laut adalah upaya untuk mengurangi dampak proses sedimentasi di laut agar tidak menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut.”. Hingga artikel ini dikeluarkan, naskah dan kajian ilmiah yang empiris belum dipublikasikan. Daya dukung dan daya tampung tidak dijelaskan secara detail jumlahnya atau kemampuannya. Semua hanya berlandaskan narasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Jika tidak ada detil mengenai daya dukung dan tampung, maka Pemerintah tidak mempunyai landasan rencana yang jelas. Lucu sekali apabila kemudian pengerukan pasir yang akan dilakukan dalam tempo 20 tahun ini, tidak diperhitungkan dengan matang. Bagaimana bisa?

Selain itu, alasan ketiga, masih pada Pasal 1 PP 26/2023 yang berbunyi “Hasil Sedimentasi di Laut adalah sedimen di laut berupa material alami yang terbentuk oleh proses pelapukan dan erosi, yang terdistribusi oleh dinamika oseanografi dan terendapkan yang dapat diambil untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran.”. Ada dua poin yang perlu digaris bawahi – gangguan ekosistem dan gangguan pelayaran. Nyatanya justru kedua hal ini menjadi kontradiktif. Gangguan ekosistem justru bisa terjadi karena aktivitas penambangan. Sudah banyak bukti kasus degradasi kualitas lingkungan karena penambangan pasir seperti yang terjadi di laut Kodingareng, Sulawesi Selatan. 

Di Kodingareng, penambangan pasir dilakukan oleh PT. Boskalis guna membangun

Salah satu proyek nasional Pelabuhan megah di dekat situ (BACA: Perjuangan Masyarakat Kodingareng Merebut Kembali Wilayah Tangkapnya). 13 Februari 2020 adalah awal mula aktivitas tambang pasir laut yang sedang beroperasi di wilayah tangkap nelayan yang mereka sebut (Copong). Aktivitas tambang tersebut, tepatnya dilakukan oleh kapal Queen Of The Netherlands asal Belanda milik PT. ROYAL BOSKALIS. Aktivitas penambangan itu dilakukan karena untuk memenuhi kebutuhan pasir yang diperlukan untuk penimbungan (reklamasi) di Proyek Strategis Nasional  Makassar New Port (MNP). Aktivitas penambangan itu yang beroperasi kurang lebih delapan bulan menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat di Pulau Kodingareng, sebabnya seiring pada kejadian tersebut wabah virus corona masuk ke Indonesia.

Dampak dari penambangan tersebut mengakibatkan terumbu karang hancur, ikan-ikan lari, biota laut rusak, gelombang tinggi, kekeruhan air laut, mengurangi hasil tangkap nelayan bahkan tidak ada sama sekali.dan beberapa perahu nelayan (lepa-lepa) mengalami kerusakan saat hendak mencari ikan di copong akibat dari hantam ombak yang sangat besar. Domino effect pun bukan hanya terjadi di sektor ekologis, tetapi juga social economy yang hingga detik ini masih dirasakan oleh masyarakat pesisir Kodingareng, khususnya para perempuan nelayan. 

Secara scientific, sedimentasi yang terjadi secara natural tidak membahayakan laut. Justru memperkaya laut dengan mineral berharga yang menyusun seafloor area. Alam sudah punya proses adaptasi tersendiri. Sedimentasi bisa “merehabilitasi” dirinya sendiri. Justru lebih membahayakan dampak dari penambangan pasir yang justru mencuri hasil-hasil mineral berharga di dalam pasir, membuat pendalaman dan erosi, serta merusak habitat terumbu karang, rumput laut, dan sejenisnya, di mana kita tahu bahwa komponen-komponen tersebut penting untuk keberlanjutan seluruh jajaran ekosistem laut. Sementara terkait pelayaran, penambangan pasir justru akan merusak peta navigasi arus bawah (bottom current navigation map) yang menjadi salah satu instrumen dasar navigasi kapal-kapal saat ini. Jika terjadi penambangan pasir, maka arus laut akan berubah karena terjadi pendalaman dan perubahan bentuk dasar laut (seafloor). 

Pemerintah Gagal Mewujudkan Pengamalan Nilai Pancasila di Laut dan Pesisir

Bunyi sila ke-5 Pancasila adalah ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia‘ merupakan suatu nilai dan panduan hidup yang sangat bijaksana. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, Sila ke-5 ini memberikan panduan pengamalan bagi kita semua, sesuai dengan yang dituliskan pada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang tertuang dalam Ketetapan MPR No.I/MPR/2003 antara lain adalah.

  1. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
  2. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  3. Menghormati hak orang lain.
  4. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
  5. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
  6. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
  7. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial

Sayangnya, pengamalan nilai-nilai diatas justru dikhianati oleh Pemerintah yang seharusnya menjadi pengayom dan role model bagi masyarakat. 

Jelas sekali penambangan pasir merugikan banyak pihak. Masyarakat pesisir dan nelayan akan menjadi korban langsung dari aktivitas yang eksploitatif dan destruktif ini. Sejak PP ini dikeluarkan, KKP sudah menerima banyak penolakan terutama dari masyarakat pesisir yang akan sangat terimbas. Mengapa KKP kemudian tidak bisa menerima masukan, pandangan, dan juga keberatan dari mereka? Apa dampak positif dan negatif bagi daerah sekitar yang akan ditambang? Who will get the most benefit? Apakah dengan seperti itu, KKP justru  melanggar nilai-nilai pengamalan Pancasila, dengan mengorbankan hak dan kepentingan orang lain? Bukankah KKP justru merampas dan mengancam masa depan Laut Indonesia yang sehat dan berkelanjutan, dimana menjadi hak milik generasi mendatang? 

***