DEKLARASI KTT G20 SEMU BELAKA?

Sektor kelautan dan perikanan (KP) menjadi salah satu isu yang banyak dibahas dalam perhelatan internasional Konferensi Tingkat Tinggi Kelompok Negara 20 atau KTT G20. Isu tersebut juga menjadi salah satu yang disebut dalam 52 poin hasil deklarasi yang ditetapkan di akhir kegiatan.

Namun, deklarasi yang dibacakan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo itu, dinilai hanya deklarasi semu untuk sektor KP saja. Pasalnya, seluruh negara menyepakati sektor KP menjadi salah satu sektor yang akan menjalani akselerasi melalui investasi.

Bagi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), apa yang sudah ditetapkan tersebut tak lebih hanya sekedar mempercepat terwujudnya solusi palsu. Itu berarti, keseriusan para pemimpin dunia yang sudah menyatakan komitmennya untuk sektor KP, juga dipertanyakan.

Di antara solusi palsu yang disuarakan KIARA tersebut, salah satunya adalah komitmen seluruh negara untuk terlibat aktif dalam penyelesaian krisis iklim dan perlindungan keberlanjutan sektor KP. Hal tersebut ditegaskan Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati di Jakarta, pekan lalu.

Dia mengatakan kenapa KIARA mengkritik deklarasi 52 poin sebagai bentuk solusi palsu, tidak lain karena antara komitmen yang disepakati dengan realita yang terjadi di lapangan sangat bertolak belakang.

Contohnya, adalah kebijakan pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Proyek tersebut sampai saat ini masih menjadi kegiatan fisik yang mengorbankan lingkungan dan merampas ruang-ruang hidup masyarakat.

“Selain itu, pencaplokan sumber daya alam juga semakin masif terjadi di negara-negara yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA), khususnya mineral,” ungkapnya.

Pulau Letti, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku yang merupakan pulau terluar berhadapan dengan Timor Leste. (Gambar: harianmerahputih.id)

Kritik terhadap komitmen G20 yang ditetapkan menjadi 52 poin hasil deklarasi tersebut lebih rinci dijelaskan KIARA dalam beberapa poin berikut ini.

Pertama, mengutamakan kerja sama ekonomi global negara berkembang dengan SDA sebagai sumber peningkatan ekonomi negara maju. Poin ini menurut Susan Herawati, adalah strategi yang sejalan dengan rencana percepatan pelaksanaan Agenda Pembangunan Biru (Blue Agenda Development) sebagai narasi pertumbuhan ekonomi sektor kelautan.

Kedua, permasalahan ketahanan pangan global yang diusung melalui program Food Estate. Terdapat dua bentuk pengembangan pangan pada sektor kelautan dan perikanan, yaitu membangun lumbung ikan nasional (LIN) dengan skema pembangunan “Integrasi pelabuhan perikanan dan pasar ikan skala internasional”, serta melaksanakan revitalisasi tambak udang dan bandeng dengan pengembangan potensi lahan mencapai 2,9 juta hektare.

Bagi Susan Herawati, komitmen tersebut hanya akan mempercepat eksploitasi pola perampasan ruang pesisir dan laut atas nama ketahanan pangan global. Penyebabnya, karena program di atas akan mewujudkan teritorialisasi wilayah pesisir dan laut.

Dia mencontohkan, jika pembangunan LIN yang berlokasi di Provinsi Maluku jadi dilaksanakan, maka itu hanya menjadi ruang khusus dalam mengeksploitasi sumber daya perikanan dengan skema perizinan kepada pelaku industri.

Pembatasan akses ini akan menuai perdebatan, membuka potensi konflik baru dalam pengelolaan wilayah tangkap dan pemanfaatan sumber daya, dengan masyarakat pesisir dan nelayan tradisional yang telah turun temurun mengelola dan memanfaatkan wilayah tersebut.

M Yusuf Sangadji, berenang solo menyebrangi laut
sepanjang 3 kilometer didampingi speedboad bertuliskan Aliansi
Masyarakat Pesisir Maluku bertuliskan Tolak LIN dan Ambon New Port. (Gambar: Haris Far
)

Susan Herawati menyebutkan, untuk menunjang operasional LIN, Pemerintah membangun Pelabuhan Terintegrasi (New Port Ambon) di Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Rencana tersebut jika dikaji, akan memerlukan banyak hal, bukan sekedar kebutuhan lahan yang terdampak pada relokasi permukiman.

Itu berarti, kajian yang harus dilakukan mencakup sebelum dan sesudah LIN beroperasi. Termasuk, dampak ekologi wilayah sebaran dan migrasi ikan, khususnya ikan Lompa yang merupakan sumber yang dimanfaatkan secara turun temurun oleh masyarakat adat Haruku lewat prosesi adat “Sasi Lompa”.

Hal lainnya yang bertolak belakang adalah isu perlindungan ekosistem laut yang berkaitan dengan aktivitas penangkapan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai regulasi (IUUF). Hingga kini, isu tersebut jelas dan tidak ada kajian ilmiah tentang dampak yang timbul jika pembangunan LIN dilaksanakan.

Ketiga, tentang komitmen berkaitan dengan upaya penanganan bersama perubahan iklim dan krisis iklim. Komitmen tersebut direncanakan dengan pendanaan hingga USD20 miliar atau sekitar Rp311 triliun. Dana tersebut dikumpulkan dari negara-negara maju yang tergabung dalam Kelompok Negara Tujuh (G7), termasuk dari Amerika Serikat kepada Indonesia.

Menurut Susan Herawati, pendanaan dengan skema utang itu dilakukan untuk mendukung pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan mendukung percepatan transisi energi melalui penghentian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

Akan tetapi, dampak dari kebijakan tersebut justru akan memicu semakin masifnya pertambangan nikel untuk menyuplai kebutuhan nikel sebagai salah satu komponen utama baterai mobil listrik. Padahal, Indonesia adalah produsen utama nikel di dunia.

“Sedangkan, sumber daya alam tersebut terkandung di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat,” ungkap dia.

Sebanyak 80 persen energi listrik yang menggerakkan smelter nikel di Sulawesi bersumber dari pembangkit listrik tenaga batubara, yang dinilai bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. (Gambar: WALHI)

Keempat, komitmen tentang kesetaraan gender, termasuk pemberdayaan kaum perempuan sebagai salah satu pendukung pembangunan berkelanjutan. Komitmen tersebut juga tidak jelas, karena hingga sekarang definisi nelayan masih erat kaitannya sebagai profesi bagi kaum lelaki.

Akibat definisi tersebut, nelayan dari kaum perempuan yang berprofesi sebagai nelayan, sampai saat ini masih kesulitan untuk mendapatkan pengakuan tentang profesinya itu. Bahkan, KIARA melihat kalau Negara juga masih abai terhadap peran perempuan nelayan.

“Dan abai terhadap perlindungan serta pemberdayaan perempuan nelayan di Indonesia,” tegas dia.

Kelima, memastikan penghormatan, perlindungan, dan pelestarian warisan budaya masyarakat bisa terus berjalan dengan baik, termasuk kepada komunitas lokal dan masyarakat adat. Cara paling tepat, adalah dengan mendukung adanya insentif publik dan investasi berkelanjutan dari sektor swasta untuk memperkuat ekonomi budaya.

Namun demikian, Susan Herawati mengatakan kalau perlindungan masyarakat adat di Indonesia sampai saat ini juga masih belum sejalan dengan pengakuan masyarakat adat. Salah satu faktornya, adalah belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat.

Faktor tersebut ikut memicu hadirnya kemudahan investasi kepada para pemilik modal dan berakibat terjadinya perampasan ruang-ruang komunal masyarakat adat pesisir dan pulau-pulau kecil.

Semua proses tersebut menjadi bagian yang difasilitasi resmi oleh Negara melalui proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan juga proyek konservasi laut (marine protected area/MPA). Karena itu, KIARA mendesak agar Pemerintah Indonesia tidak perlu lagi menawarkan investasi kepada negara G20.

Perairan di Pulau Gelasa yang memiliki nilai konservasi tinggi harus dijadikan kawasan konservasi. (Gambar: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia)

Seharusnya, Negara berdiri dan mengambil posisi untuk mensejahterakan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui perlindungan dan pemberdayaan mereka dalam mengelola lautnya. Hal itu sesuai dengan adat istiadat dan pengetahuan lokal seperti yang diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010.

Itu berarti, Negara harus melakukan aksi nyata untuk segera mengatasi krisis iklim yang tengah mengancam masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Salah satunya, dengan menghentikan industri ekstraktif dan eksploitatif yang saat ini berkembang atas nama investasi.

“Sudah saatnya aksi nyata bukan terjebak pada pertemuan-pertemuan internasional yang menghasilkan solusi palsu!” pungkas Susan Herawati.

Kemitraan Biru

Tentang agenda biru yang disebut KIARA, itu adalah bagian dari komitmen yang muncul saat KTT G20 berlangsung di Bali, dua pekan lalu. Saat itu, Pemerintah Indonesia bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) National Blue Agenda Actions Partnership (NBAAP).

Untuk kerja sama tersebut, Indonesia dipimpin Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), dan didampingi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan PPN (Bappenas).

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi pada momen tersebut mengatakan bahwa pertemuan dengan PBB menjadi penting, karena itu mendukung upaya Indonesia dalam melindungi laut.

“Keberhasilan kerja sama ini tidak hanya memberikan pengaruh besar bagi Indonesia, tapi juga secara global,” ungkap dia.

Dia menerangkan kalau Indonesia juga terus berkomitmen untuk mewujudkan laut yang sehat dan berkelanjutan. Komitmen itu terus diperkuat oleh Pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Menko Maritim dan Investasi Luhut B Pandjaitan (tengah),
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono (dua dari kanan) bersama Director Global Climate Fund Mitigation and Adaptation Division, Green Climate Fund German Velasquez (paling kiri), President Conservation International M. Sanjayan (paling kanan), dan Senior Vice President & Executive Chair of Konservasi Indonesia Meizani Irmadhiany (kedua dari kiri), dalam peluncuran Program Blue Halo S pada rangkaian G20 di Nusa Dua, Bali, Minggu (13/11/2022). (Gambar : KKP
)

Dari komitmen itu, maka lahirlah tekad Indonesia untuk memerangi polusi sampah plastik di laut, dan memerangi perikanan tangkap yang tidak berkelanjutan, serta praktik IUUF. Untuk mewujudkan komitmen, Indonesia berkolaborasi dengan semua pemangku kepentingan.

“Kami menjamin bahwa Pemerintah Indonesia akan berusaha keras untuk mempercepat pencapaian target pembangunan baik jangka pendek maupun jangka menengah pada sektor kemaritiman,” tutur dia.

Menurut dia, untuk mencapai target pembangunan yang diinginkan, kuncinya adalah kemitraan yang terjalin sangat baik antara para pihak yang terkait, yaitu Pemerintah Indonesia, PBB, mitra pembangunan dan stakeholder lain.

Kemitraan tersebut, nantinya bisa dikembangkan dengan sistem mobilisasi sumber daya kelautan yang dimiliki setiap negara G20. Setelah itu, bisa dilaksanakan aksi bersama untuk memastikan memastikan tercapainya tujuan awal dikembangkan NBAAP.

Perlunya kemitraan dijalin dengan baik, karena NBAAP menargetkan diri untuk mempercepat pencapaian target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Kebijakan Kelautan Indonesia 2020-2024.

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, target yang ditetapkan NBAAP itu sejalan dengan target yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia sekarang, yaitu mencapai kelautan yang berkelanjutan.

Dia yakin, kemitraan yang dijalin melalui NBAAP akan bisa mendukung Indonesia untuk mencapai agenda biru nasional, mewujudkan laut yang tangguh dan berkelanjutan, serta kesejahteraan rakyat. Untuk itu, dia meminta semua pihak yang ada di dalam negeri untuk ikut memberikan dukungannya.

“Kemitraan tersebut dapat tercipta upaya yang saling tersinkronisasi untuk melindungi laut sekaligus kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada laut,” jelas dia.

Presiden Joko Widodo dan para pemimpin negara G20 dan lembaga internasional mengunjungi dan melakukan penanaman bibit mangrove di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Bali. (Gambar : BPMI Setpres)

Kepala Perwakilan PBB untuk Republik Indonesia Valerie Julliand mengatakan bahwa kemitraan yang dijalin dalam bentuk NBAAP menjadi representasi yang tepat untuk keberpihakan pada keberlanjutan laut.

Jika dipetakan lebih lanjut, dia melihat bahwa negara-negara yang menjadi anggota G20 menjadi bentuk keterwakilan garis pantai yang ada di bumi. Oleh karena itu dia berharap kalau kelompok G20 bisa menjadi contoh bagi dunia tentang pembangunan kelautan yang berkelanjutan.

Dia melihat bahwa komitmen yang dibangun oleh Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sangat kuat untuk mencapai keberlanjutan. Dengan kekuatan itu, Indonesia bisa memberikan contoh yang kuat bagi dunia secara global.

“Dan kita bersama tahu, jika Indonesia berhasil, efeknya akan terasa bagi dunia secara global,” sambung Valerie.

Tanpa ragu, Valerie Julliand juga menyebut kalau Indonesia adalah salah satu negara pelopor menuju laut yang berkelanjutan. Program yang dibuat Pemerintah Indonesia, di antaranya adalah membeli sampah laut yang dikumpulkan oleh nelayan.

“Pada kemitraan ini kita sampaikan keahlian, pengetahuan, sumber daya yang kita punya. Hal ini untuk memastikan SDGs ke-14 serta keseluruhan SDGs dapat tercapai,” pungkas dia menyebut poin tentang Life Below Water.

***

Sumber Utama: KIARA

Dirilis oleh: Mongabay Indonesia