Terbentang dari Sabang hingga Merauke, Indonesia memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta km2. Dari total luas wilayah tersebut, 3,25 juta km2 adalah lautan dan 2,55 juta km2 adalah Zona Ekonomi Eksklusif. Bukan hanya Indonesia saja, namun 70 persen luas bumi ini adalah lautan dan maka dari itu, tidak heran jika laut memiliki peran yang amat besar bagi umat manusia. Kontribusi laut menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), laut akan mempekerjakan 40 juta orang pada tahun 2030. Bukan hanya itu, tapi laut berperan menjaga kestabilan iklim dengan mampu menyerap karbon dioksida sebesar 245,6 juta ton per tahunnya atas peran dari fitoplankton yang hidup di laut. Selain itu laut juga berpartisipasi menyuplai hingga 70 persen oksigen dari padang lamun. Namun tragisnya, nasib laut dan seluruh penghuninya justru kian hari kian terancam.
Krisis laut makin lama semakin kritis dan mengancam masa depan bumi ini. Dalam panggung kampanye, kata-kata “masa depan” seringkali menjadi bagian dari pidato mengenai perubahan dan perkembangan negara yang dijanjikan calon pemimpin. Namun nyatanya, dari satu masa jabatan ke masa jabatan baru “masa depan” hanya sebatas angka dalam pertumbuhan ekonomi saja seolah aspek lainnya hanya menjadi poin “nice to have” dalam rangkaian agenda kerja dan proyek nasional yang ingin dibuat pemerintah. Salah satunya adalah aspek keberlanjutan ekologi. Apakah aspek ekologi kemudian tidak masuk dalam aspek penting masa depan? Padahal faktanya, tidak akan ada masa depan tanpa adanya keadaan ekologi yang mumpuni dan sehat.
Dalam satu kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono mengindikasikan bahwa ke depan, KKP akan menempatkan aspek ekologi sebagai prioritas nomor satu ketimbang ekonomi dalam mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan Indonesia. Program ekonomi biru (blue economy) ini juga searah dengan salah satu program Presiden Jokowi yang berjalan menuju ekonomi hijau (green economy)). Maka dari itu, salah satu strategi yang digunakan oleh KKP adalah penangkapan ikan terukur dengan skema output control yang akan KKP mulai pada tahun 2022 mendatang. Dengan skema ini, setiap kapal penangkap ikan wajib terdaftar dan melaporkan seluruh hasil tangkapannya ke pelabuhan perikanan di setiap zona penangkapan ikan berbasis kuota yang telah ditentukan. Untuk penangkapan ikan terukur pada tahun 2022 mendatang, KKP membagi wilayah penangkapan ke dalam empat zona. Zona pertama adalah Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP) 711 yang meliputi Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara dengan total kuota 473.000 ton ikan per tahun. Zona kedua adalah WPP 716 yang meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera dan WPP 717 yang meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan laut lepas Samudra Pasifik dengan kuota 738.000 ton per tahun. Zona ketiga adalah WPP 715 yang meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau serta WPP 718 yang meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur dengan kuota 2.266.000 ton per tahun. Terakhir, zona keempat adalah WPP 572 yang meliputi perairan Samudera Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda serta WPP 573 yang meliputi Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara dan juga laut lepas Samudra Pasifik dengan kuota 1.415.000 ton per tahun.
Regulasi penangkapan ikan terukur ini agaknya memiliki side effect yang justru mengancam faktor ekologi kelautan dan perikanan Indonesia dimana sesungguhnya terdapat kepentingan besar dalam melegalkan pengerukan kekayaan laut. Seperti yang disampaikan pada Webinar KORAL Desember lalu, Dr. Yonvitner, S.Pi, M.Si selaku Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor mengatakan bahwa konsep penangkapan atau perikanan terukur ini jangan sampai “gagal paham”. Ia menjabarkan bagaimana sistem output control yang digadang-gadang pemerintah dinilai tidak tepat untuk diimplementasikan karena ada lebih dari hanya sekadar tiga aspek selain pemilihan zona penangkapan, stok ikan di WPP tersebut, dan nilai ekonomi yang perlu dihitung dan diperhatikan. Apalagi ditambah nantinya stok ikan ini juga nantinya akan dibuka untuk pelelangan kuota dan diserahkan kepada pemenang lelang untuk kemudian dipergunakan. Peserta lelang adalah calon investor, baik dari dalam maupun luar negeri.
Selain itu jikalau kebijakan lelang kuota tangkap ini menganut amanat yang dituliskan pada Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan perlindungan, pelestarian, dan pemeliharaan sumberdaya ikan seharusnya resiko dan ancaman eksploitasi sistem kuota perikanan ini tidak dilanggengkan begitu saja. Jika betul ekologi berada sebagai prioritas nomor satu pemerintah, kebijakan lelang kuota ini seharusnya diperuntukkan bagi nelayan kecil dan nelayan menengah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan berjalan paralel dengan program pelestarian lingkungan mulai dari perikanan budidaya yang diatur dengan seksama (penempatan tambak yang tidak asal-asalan, sistem pengolahan limbah yang mumpuni, dan lain sebagainya), pelestarian wilayah pesisir mulai dari konservasi mangrove, penertiban kebun sawit di pesisir pantai, lalu juga pelestarian padang lamun, hingga ke konservasi perikanan dan kelautan yaitu mulai dari penertiban alat tangkap, pengetatan pengawasan baik di laut maupun di pelabuhan, pembabatan aktivitas penambangan pasir, dan yang paling penting perluasan wilayah nursery ground yang terbebas dari pengalihan fungsi ruang laut menjadi sektor lainnya.
Pemerintah Indonesia terdiri dari begitu banyak kementerian dan badan resmi terkait yang seharusnya bisa saling bekerjasama, apalagi terkait dengan ekologi atau alam. Misalnya saja dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Kementerian Luar Negeri dan juga bahkan Pemerintah Daerah. Menurut The Global Change Institute and The Boston Consulting Group (2015), nilai aset kelautan dunia mencapai US$24 triliun yang terdiri dari potensi yang diambil langsung dari perikanan, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun sekitar US$6,9 triliun, transportasi laut US$5,2 triliun, penyerapan karbon US$4,3 triliun, dan jasa lain US$7,8 triliun. Hampir dua pertiga produk kelautan tersebut bergantung pada laut yang sehat. Nilai yang begitu besar ini pada kenyataannya sangat terancam. Dikutip dari Food and Agriculture Organization (FAO), kerusakan kawasan kelautan dan perikanan, bahwa 90 persen stok perikanan dunia kondisi mengkhawatirkan, sekitar 61 persen sudah mengalami tangkap penuh (fully exploited) dan 29 persen sisanya tangkap lebih (over exploited). Begitu pula tingkat kerusakan mangrove 3-5 kali dari laju deforestasi. Sekitar 29
persen padang lamun juga telah rusak. Begitu pula kerusakan terumbu karang dunia mencapai 50 persen; dan pada 2050, dengan kenaikan suhu seperti saat ini, terumbu karang akan musnah. Indonesia sendiri menurut data yang dibagikan oleh Greenpeace, sampah menjadi salah satu musuh utama kelautan dan perikanan kita dimana ditemukannya beberapa jenis sampah dari tiga pantai di Indonesia, yakni sekitar 797 jenis merek sampah plastik, sebanyak 594 merek makanan dan minuman, kemudian sekitar 90 jenis merek perawatan tubuh, 86 jenis kebutuhan rumah tangga, dan sekitar 27 jenis sampah lainnya.
Aspek ekologi kelautan dan perikanan terancam dari begitu banyak aspek yang masih butuh kerja maksimal dari Pemerintah. Hal ini tidak bisa disepelekan sama sekali dna sudah tidak ada ruang bagi program yang mengatasnamakan ekologi hanya untuk “memperkosa” dan mengeksploitasi laut dengan legal. Jika pemerintah tidak bertindak tegas dan terukur serta jujur untuk mengutamakan ekologi dari sekarang, maka tidak heran apabila degradasi lingkungan dan perubahan iklim akan semakin cepat dan mengancam nyawa kita semua dan generasi mendatang, hanya karena ketamakan golongan tertentu saja.
******