CEGAH KEKERASAN PADA PMI PP: KETAHUI HUKUMNYA, PAHAMI HAKNYA!

Praktik kerja paksa masih terus ditemukan di tengah-tengah pekerja migran pelaut perikanan asal Indonesia (PMI PP) yang bekerja di kapal ikan asing (KIA). Setidaknya terdapat 10.925 PMI PP yang bekerja di KIA Taiwan. Jumlah ini belum termasuk mereka yang bekerja di KIA lainnya yang berasal dari Korea Selatan, Australia, dan negara-negara lainnya. Permasalahan yang menimpa PMI PP cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sesuai dengan laporan yang dikeluarkan Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI awal tahun 2022 ini, tren peningkatan terlihat yaitu pada tahun 2018 dilaporkan sebanyak 1.079 kasus; 2019 sebanyak 1.095 kasus; dan 2020 sebanyak 1.450 kasus.

Pada pertengahan tahun 2022, Pemerintah didesak untuk mengeluarkan peraturan yang menaungi para pekerja ini. Hingga bersambut dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran merupakan tindak lanjut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Walaupun masih jauh dari kata sempurna (BACA: KASUS BARU SETELAH PP ABK MIGRAN DIKELUARKAN: 3 POIN YANG PERLU DIEVALUASI), PP ini menjadi awalan yang baik untuk Pemerintah lebih gencar membasmi kekerasan dan kerja paksa ditengah-tengah PMI PP. 

Namun lebih dari itu, proses pemutusan rantai kekerasan ini juga bukan semata-mata hanya dilakukan dengan merilis peraturan saja, tapi terlebih mempersiapkan PMI PP dalam menghadapi situasi dan kondisi di lapangan. ILO (International Labour Organization) dalam dokumen Fishers First – Good Practicesto End Labour Exploitation at Sea menyatakan bahwa pekerjaan anak buah kapal di kapal penangkapan ikan termasuk dalam kategori 3D – dirty, dangerous, difficult (kotor, berbahaya, dan sulit). Hal inilah yang membuat pekerjaan ini tinggi resiko dan minim peminat. Maka dari itu tidak heran jika kemudian sering ditemukan praktik perekrutan ilegal dan penipuan dengan iming-iming gaji besar dan kesejahteraan yang dilakukan manning agency terutama di daerah-daerah pedesaan. Para korban PMI PP mayoritas mengadukan tindak kejahatan kerja paksa, penipuan finansial dimana gaji tidak dibayarkan atau ada biaya lain-lain yang tetiba muncul dan wajib mereka bayarkan dengan gaji mereka, hingga tidak terpenuhinya hak-hak sebagai manusia mulai dari makanan dan minuman yang layak, safety equipment, hingga fasilitas mandi-cuci-kakus yang jauh dari kata layak dan aman.

Hal inilah yang mendasari perlu adanya edukasi di awal, guna memberikan para calon PMI PP sebuah bekal atas hak PMI PP dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh tenaga perekrut dimulai dari pengumpulan data hingga ke pemulangan. Misalnya saja dengan pemenuhan Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang dapat mencegah terjadinya kerja paksa dan eksploitasi PMI PP. PKL sendiri adalah perjanjian kerja perseorangan yang dibuat dan ditandatangani antara awak kapal dengan pihak yang bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kerja atau Prinsipal yang memuat hak dan kewajiban para pihak dan disahkan oleh syahbandar. Detil mengenai syarat yang harus dipenuhi kedua belah pihak sebagai yang direkrut dan yang merekrut, dapat dilihat pada PP KP No.22/2022. Setidaknya ini dapat menjadi acuan bagi calon PMI PP sebelum direkrut oleh manning agency

Pada PP tersebut, dinyatakan bahwa PKL wajib disahkan oleh syahbandar dan dicatat melalui sistem yang terintegrasi. Detil isi PKL yaitu paling sedikit memuat:

  1. Identitas Awak Kapal Niaga Migran:
    1. Nama lengkap
    2. Tanggal lahir atau usia dan tempat lahir
    3. Nomor dokumen identitas pelaut atau kode pelaut
    4. Nomor paspor
    5. Alamat di Indonesia
  2. Identitas Pemberi Kerja atau Prinsipal:
    1. Nama
    2. Nomor identifikasi pribadi
    3. Alamat/domisili
  3. Identitas P3MI:
    1. Nama penanggung jawab
    2. Alamat domisili
  4. Identitas kapal:
    1. Nama kapal
    2. Nomor pendaftaran kapal atau nomor intemational maitime organization
    3. Bendera kapal
  5. Hak dan kewajiban para pihak
  6. Kondisi dan syarat kerja paling sedikit meliputi:
    1. Waktu kerja, waktu istirahat, dan cuti
    2. Upah, cara pembayaran upah, upah lembur, upah cuti tahunan, dan bonus
    3. Akomodasi, fasilitas rekreasi, dan konsumsi
    4. Jaminan Sosial dan asuransi;
  7. Tempat dan tanggal penandatanganan PKL
  8. Jabatan atau rank di  atas kapal
  9. Hak atas pemulangan atau repatriasi
  10. Referensi nomor KKB jika ada
  11.  Penyelesaian sengketa
  12. Jangka waktu PKL.

Sementara terkait waktu kerja dan waktu istirahat diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Waktu kerja paling lama tidak melebihi:
    1. 14 (empat belas) jam dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam
    2. 72 (tujuh puluh dua) jam dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
  2. Waktu istirahat paling sedikit tidak kurang dari:
    1. 10 (sepuluh) jam dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam
    2. 77 (tujuh puluh tujuh) jam dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja.

Pada Pasal 19 dicantumkan Pemberi Kerja atau Prinsipal wajib memberikan pelindungan ketenagakerjaan bagi Awak Kapal Niaga Migran. Pelindungan yang dimaksud paling sedikit meliputi:

  1. Upah
  2. Waktu kerja dan waktu istirahat
  3. Hak cuti
  4. Pemulangan
  5. Hak kompensasi atas hilangnya kapal
  6. Manning Leuels
  7. Pengembangan kemampuan dan karier
  8. Memperoleh akomodasi, fasilitas rekreasi, makanan, minuman, dan air bersih
  9. Pelayanan kesehatan di atas kapal dan darat
  10. Pencegahan kecelakaan kerja
  11. Keselamatan dan kesehatan kerja
  12. Akses fasilitas kesejahteraan di pelabuhan
  13. Jaminan Sosial dan asuransi.

Mari hentikan kekerasan dan kerja paksa dari akarnya. Edukasi diri sendiri dan orang lain mengenai persyaratan, resiko, dan regulasi kepada para Pekerja Migran dan calon PMI PP wajib dilakukan oleh siapapun yang mengetahuinya. 

******