TERBITNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 22 TAHUN 2022: APAKAH KEHIDUPAN PEKERJA MIGRAN SEKTOR KP MEMASUKI BABAK BARU?

Diharapkan dengan adana PP 22/2022 ini, kasus kematian ABK Indonesia dan kasus lainnya terkait kesejahteraan serta hak ABK Migran dapat berkurang dan lenyap dari sektor KP Indonesia.

Pemerintah telah menerbitkan sebuah peraturan baru bagi sektor Kelautan dan Perikanan (KP) terkait pekerja migran pada sektor ini. Bukan lain adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2022 Tentang Penempatan dan perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal PP 22/2022 yang diterbitkan pada 8 Juni 2022 yang lalu. Sesuai dengan amanat Pasal 64 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU 18/2017), sekalipun pengundangan Peraturan Pemerintah ini seharusnya dilakukan paling lambat 2 (dua) tahun setelah disahkannya undang-undang, yaitu 21 November 2019.
Walaupun berdasarkan UU 18/2017, PP ini memiliki perbedaan dalam penggunaan atau pengertian pekerja migran perikanan Indonesia. PP 22/2022 ini menggunakan istilah ‘awak kapal perikanan migran’, sedangkan dalam UU 18/2017, menggunakan istilah Pekerja Migran Indonesia Pelaut Perikanan (PMI PP). Penggunaan terminologi yang akan digunakan untuk menyebut pekerja migran Indonesia yang dipekerjakan atau bekerja di atas kapal perikanan berbendera asing seharusnya menggunakan istilah sebagaimana ditentukan oleh UU 18/2017 yaitu PMI PP.

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Maritim dan Investasi Basilio Dias Araujo mengatakan ada tiga akar permasalahan yang menjadi penyebab lemahnya perlindungan terhadap pelaut dan ABK Indonesia di kapal ikan asing. Pertama, belum sinkronnya kurikulum pendidikan dan pelatihan pelaut dan ABK menggunakan standar STCW-F (Standard of Training, Certification, and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel) karena Kementerian Kelautan dan Perikanan belum mengganggarkan dana untuk membeli silabus kurikulum standar IMO. Kedua, belum ada tata kelola untuk mengatur perusahaan manning agent pelaut dan AB.  Aspek ketiga adalah karena tidak adanya database terpadu secara nasional untuk dijadikan acuan berapa jumlah pasti pelaut dan ABK yang berada di luar negeri. 

 Di PP 22/2022 ini, ditegaskan bahwa perusahaan yang melakukan penempatan PMI PP wajib memiliki izin dari Kementerian Ketenagakerjaan, yaitu Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia/SIP3MI (Pasal 25 ayat 1). Nantinya pasal ini diharapkan mampu menjadi solusi akhir atas penyelesaian permasalahan duplikasi kewenangan perizinan dan pengawasan penempatan PMI PP antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan. Hal tersebut tegas dalam Pasal 43 yang mengatur bahwa “pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku manning agency yang telah memiliki Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 tahun 2013, mengalihkan perizinan menjadi SIP3MI paling lama dalam waktu 2 (dua) tahun”. 

Meskipun demikian, menurut Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) PP 22/2022 masih menyisakan sejumlah persoalan, terutama berkaitan dengan nasib PMI PP yang ditempatkan manning agency setelah 7 Juli 2021 sampai dengan terbitnya PP 22/2022 ini. Hal ini dikarenakan Permenhub 84/2013 telah dicabut oleh Permenhub 59/2021 yang berlaku secara efektif sejak 7 Juli 2021. 

PP 22/2022 telah mengatur standar minimum yang harus ada dalam Perjanjian Kerja Laut (PKL), di antaranya: waktu kerja dan waktu istirahat sesuai ILO C-188 (Pasal 35 ayat (3) jo. Pasal 17 ayat (3) serta kewajiban adanya Kesepakatan Kerja Bersama (Collective Bargaining Agreement/CBA), yang dapat melindungi dan memperkuat posisi tawar PMI PP. Agar lebih operasional, standar PKL dan CBA perlu diatur lebih lanjut oleh BP2MI (PKL) sesuai amanat Pasal 15 ayat 3 UU 18/2017 dan Kementerian Ketenagakerjaan (CBA) sesuai PP 22/2022, sehingga dapat memastikan relasi kuasa yang seimbang antara PMI PP dengan pemberi kerja. 

Walaupun Pasal 35 ayat (2) dan (5) PP 22/2022 telah menjamin bentuk-bentuk perlindungan yang harus diberikan oleh pemberi kerja atau prinsipal kepada PMI PP, namun untuk menutup celah perbedaan standar perlindungan di tiap negara, Pemerintah Indonesia perlu melakukan negosiasi dan kerjasama bilateral (Memorandum of Understanding/MoU) dengan negara penempatan untuk menentukan standar perlindungan PMI PP sesuai dengan standar internasional yang berlaku. Adapun hal penting yang perlu disepakati dan dimuat dalam MoU para pihak antara lain:

  1. Standar upah minimum
  2. Tata cara pembayaran upah
  3. Keselamatan dan kesehatan kerja
  4. Komitmen mutual recognition (pengakuan timbal balik) atas sertifikat pelatihan PMI PP
  5. Mekanisme pelaksanaan joint inspection dan mekanisme pengawasan pemenuhan hak
  6. Mekanisme pengawasan pemenuhan hak PMI yang bekerja di kapal berbendera bukan negara penempatan
  7. Pembebanan biaya penempatan
  8. Kerjasama penegakan hukum.

Sebelum menyusun MoU dengan negara-negara tujuan penempatan, Pemerintah Indonesia perlu segera meratifikasi konvensi internasional, terutama ILO C-188 untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam negosiasi. Penyusunan MoU dapat menjadi salah satu cara menetapkan standar bersama perlindungan PMI PP dengan negara- negara penempatan, terutama dengan negara yang memiliki Distant Water Fishing Fleets (DWFs) dalam jumlah besar. Demi memperlancar proses penyusunan MoU terkait dengan komitmen mutual recognition (pengakuan timbal balik) atas sertifikat pelatihan PMI PP, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu mempercepat proses perumusan kurikulum pelatihan sesuai standar STCW-F, sehingga sertifikat kompetensi yang dimiliki oleh PMI PP diakui secara internasional.

Selama ini, tidak terintegrasinya data antar satu kementerian/lembaga menjadi salah satu akar masalah lemahnya perlindungan PMI PP. PP 22/2022 menjawab permasalahan tersebut dengan mewajibkan integrasi data antar instansi Pemerintah terkait (Pasal 24 PP 22/2022). Data yang terintegrasi akan sangat bermanfaat bagi semua instansi Pemerintah terkait dalam menyelenggarakan perlindungan PMI PP, termasuk penanganan pengaduan masyarakat. Akan tetapi, PP 22/2022 belum mengatur mekanisme pengelolaan pengaduan masyarakat dan penyelesaian sengketa.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam mekanisme pengelolaan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif, antara lain: (1) ketersediaan sistem pengaduan yang mudah diakses oleh PMI dan diselenggarakan oleh Pemerintah sehingga memiliki kekuatan mengikat (binding power) untuk dijalankan; (2) sistem pengaduan harus dilengkapi dengan sistem perlindungan saksi, pelapor, whistleblower, termasuk kerahasiaan identitas; (3) petugas yang menangani pengaduan masyarakat harus memiliki keterampilan untuk mendalami dan memahami permasalahan yang dihadapi pengadu/pelapor dan tindak lanjutnya; dan (4) kerjasama dan koordinasi antara Pemerintah dalam menangani dan menyelesaikan pengaduan masyarakat. 

Upaya perbaikan nasib bagi PMI PP yang diupayakan banyak pihak akan menjadi paripurna apabila Pemerintah membekali dan menyelubungi itu semua dengan kebijakan dan regulasi yang tepat sasar dan berkeadilan serta “paket komplit” mulai dari perekrutan, hak-kewajiban selama masa kerja, hingga ke pemulangan dan hak-kewajiban apa yang wajib diadakan ketika terjadi insiden ataupun  ’force majeure’. Bagaimanapun juga, kehidupan yang layak, bermartabat, dan berkeadilan sesuai dengan Sila Ke-5 Pancasila wajib bisa dirasakan oleh PMI PP yang mengadu nasib di kapal penangkap ikan jarak jauh (distant water fishing vessels). Poin “rakyat Indonesia” dalam sila ke-5 bersifat mengikat dan menjadi jati diri dari para PMI PP, kemanapun mereka pergi. Sudah menjadi kewajiban dan tugas negara dalam memastikan mereka mendapatkan keamanan, keadilan, dan kehidupan yang baik dan layak, walaupun mereka bertugas jauh dari kampung halamannya. Semoga PP 22/2022 mampu disempurnakan dan menjadi pelindung bagi para Pekerja Migran Indonesia.

*******

Sumber utama: SBMI, ILO, dan IOJI