Deklarasi Djuanda merupakan bagian dari sejarah nasional Negara Kepulauan, di mana dunia memberikan pengakuan kepada Indonesia sebagai negara kepulauan dengan 17.508 pulau. Konstitusi Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 yang mengatur bahwa sumber daya kepulauan dikuasakan kepada negara untuk dipergunakan secara berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia termasuk nelayan. Meninjau salah satu butir Deklarasi Djuanda yang berbunyi, “Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Salah satu hak nelayan yang terampas adalah hak menangkap ikan. Aktivitas pertambangan membawa dampak buruk bagi kualitas perairan. Pulau Wawonii, Pulau Sangihe dan Pulau Bunyu termasuk ke dalam jajaran pulau yang merasakan dampak buruk pertambangan tersebut. Nelayan setempat mengeluhkan pencemaran perairan yang mengganggu kegiatan mereka mencari ikan. Pak Hariyono yang berprofesi sebagai nelayan Pulau Bunyu menyebutkan bahwa terdapat tiga pertambangan yang mengeruk pulau kecil dengan luas hanya 198,32 km2.
Namun Deklarasi Djuanda yang genap berusia 66 tahun tersebut kemudian bertolak belakang dengan paradigma ekstraktif yang kian menggerus pulau-pulau kecil. Pernyataan tersebut disampaikan pada Diskusi Kebijakan KORAL bersama Ekomarin, dan PBHI menggelar Diskusi Kebijakan dengan tema, “Refleksi 66 Tahun Deklarasi Djuanda: Tambang di Pulau Kecil Dibolehkan, Hak Asasi Nelayan dan Rakyat Pulau Kecil Dirampas” pada Rabu, (13/12) di Jakarta. Kegiatan ini menjadi harapan penting bagi publik Indonesia untuk memberikan penguatan bagi keutuhan Negara Kepulauan.
Perwakilan PBHI Nasional Annisa Zahra menegaskan dalam pertemuan itu, “Mahkamah Konstitusi telah memutus Uji Materil terhadap UU 27/2007 yang telah mengakui hak-hak asasi nelayan dan masyarakat pulau kecil dan perairan sekitarnya yang harus dihormati.” Putusan MK telah memberikan pengakuan kepada hak-hak nelayan dan masyarakat pesisir. Bahkan MA dalam putusan resminya MA No. 57 P/HUM/2022 tertanggal 22 Desember 2022 menyebutkan bahwa pertambangan adalah “abnormally dangerous activity”
Tidak hanya itu, putusan MA No. 57 P/HUM/2022 tertanggal 22 Desember 2022 telah menyatakan bahwa kegiatan pertambangan adalah “abnormally dangerous activity” serta kegiatan pertambangan yang selama ini terjadi mengakibatkan adanya perampasan hak asasi nelayan dan rakyat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau kecil. Oleh karenanya, gugatan PT GKP harus ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Terdapat 11.623 jiwa penduduk yang bermukim pada lima desa yang bergantung pada tiga sumber mata air (BPS Kab Bulungan, 2021). Akan tetapi sumber air tersebut kini menjadi keruh karena terpapar lumpur. Akibatnya warga tidak lagi dapat menikmati air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk keperluan mandi, mencuci, hingga air untuk dikonsumsi.
Fakta lainnya, lahan pertanian dan perkebunan dirusak, pohon-pohon hutan ditebang diubah menjadi lubang tambang beracun dan mematikan. Sementara itu, di kawasan pesisir-laut penduduk yang bergantung kehidupan dengan mencari ikan turut dikorbankan. Sebab, limbah tambang itu mengalir ke sungai, pesisir hingga laut. Ini harus menjadi renungan kita bersama agar nasib nelayan Indonesia semestinya menjadi lebih baik lagi. Ruang hidup masyarakat harus dijaga, sebab dengan meningkatnya kemiskinan juga berpengaruh dengan tingkat kriminalitas.
***