STRATEGI PEREMPUAN KODINGARENG BERTAHAN DALAM KRISIS

Kongres Perempuan Kodingareng yang digawangi perempuan-perempuan pesisir diantaranya istri nelayan lokal yang terdampak pertambangan pasir.

Perlindungan dan pengakuan wilayah kelola rakyat di pesisir dan pulau kecil menjadi penting. Penambangan pasir laut di Pulau Kodingareng Lompo, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Makassar, merupakan satu dari sekian banyak kasus di Sulawesi Selatan yang telah melahirkan krisis berupa kehancuran ekosistem laut dan pesisir, yang kemudian memutus sumber pendapatan keluarga nelayan di pulau itu. Perempuan menjadi kelompok yang paling merasakan krisis tersebut.

Hal ini terungkap dalam workshop bertema “Pengembangan Ekonomi Berbasis Wilayah Kelola Rakyat di Kawasan Pesisir Laut”, yang dilaksanakan oleh Walhi Sulsel, Jaring Nusa dan EcoNusa, sebagai rangkaian dari acara Pekan Daerah Lingkungan Hidup (PDLH) IX Walhi Sulsel di Makassar, Kamis (23/6/2022). Nursina, Wakil Ketua Organisasi Perempuan Kodingareng menjelaskan dampak pertambangan di Pulau Kodingareng bagi nelayan dan perempuan serta bagaimana strategi mereka hidup bertahan menghadapi krisis. “Sejak adanya aktivitas penambangan, banyak nelayan beralih profesi menjadi pedagang keliling dan berjualan online untuk kehidupan sehari-hari. Banyak nelayan yang berpindah ke provinsi lain dan berganti profesi, karena kerusakan ruang hidup yang butuh waktu lama untuk memperbaikinya. Kami akan tetap berjuang. PT. Boskalis tidak menambang lagi saat ini, tapi dampak masih dirasakan hingga kini. Hasil tangkapan masih belum pulih. Harapan kami semoga Pulau Kodingareng dan lautnya kembali sehat dan tidak ada lagi Boskalis baru di masa mendatang.” ujarnya.

Nursina beserta perempuan Kodingareng lainnya mencoba menyiasati kurangnya pendapatan suami mereka dengan jualan dan mengelola hasil laut berupa produk abon dan ikan kering, meskipun belum berjalan optimal. Mereka juga berusaha mengorganisir diri agar tetap solid dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan. “Kami pernah melakukan usaha ekonomi seperti abon, ikan kering, namun kami hentikan karena sejumlah kendala. Sekarang kami berusaha untuk mengaktifkannya kembali. Apalagi kondisi saat ini belum normal karena nelayan masih sangat sulit mencari ikan seperti sebelum adanya penambangan pasir, mungkin karena dampak kerusakan karang dan abrasi,” katanya.

Sitti Masniah Djabir, Kabid Penataan dan Pengelolaan Ruang Laut Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Selatan, mengakui bahwa kondisi laut dan pesisir Sulsel memang menghadapi banyak persoalan, seperti destructive fishing melalui penggunaan alat tangkap yang tak ramah lingkungan, penggunaan bom dan bius, tambang pasir liar, kerusakan terumbu karang, mangrove dan padang lamun serta dampak langsung dari perubahan iklim, ditambah dengan datangnya pandemi Covid-19 yang mengganggu ekonomi dan produktivitas masyarakat. Menurut Masniah, dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, Pemprov Sulsel berupaya meningkatkan produktivitas, daya saing produk sumber daya alam yang berkelanjutan. “Berkelanjutan artinya, apa pun aktivitas ekonomi kita di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tetap harus memperhatikan keberlanjutannya,” tambahnya.

Terkait sektor kelautan dan perikanan, terdapat sejumlah strategi yang dijalankan Pemprov Sulsel. Pertama, pengembangan sektor kelautan dan perikanan yang berbasis wilayah dan ekonomi lokal, antara lain melalui upaya peningkatan hasil produksi perikanan. “Bagaimana caranya meningkatkan hasil perikanan kalau lingkungan kita rusak? Sehingga sekarang banyak yang concern pada pengelolaan lingkungan, karena ini sangat mempengaruhi produksi dan produktivitas sumber daya alam kita yang tak bisa berlanjut kalau lingkungannya rusak.” ungkapnya. Kemudian, peningkatan saran dan prasarana yang bisa membantu kelompok masyarakat, pengadaan kapal-kapal untuk pengawasan dan pemberian alat-alat tangkap untuk nelayan. “Hanya saja kegiatan tersebut belum terlalu menyentuh masyarakat banyak karena keterbatasan anggaran, sehingga pelaksanaannya bertahap,” kata Masniah. Strategi lainnya adalah pengembangan sektor unggulan sesuai permintaan pasar, pengembangan potensi perikanan dan kelautan yang berbasis wilayah dan pengembangan sektor kelautan perikanan yang mendiri inovatif berdaya saing dan berkelanjutan.

Beragam Persoalan dan Tantangan bagi Nelayan

Mida Saragih, Spesialis Kebijakan Kelautan EcoNusa, memuji bagaimana perempuan Kodingareng bisa bertahan dari krisis dan mampu mengorganisir diri dalam menyuarakan kondisi mereka. “Kami memiliki misi dengan memastikan perikanan dan kelautan kita dikelola dengan baik tentunya masyarakat lebih sejahtera. Harapan kami kalau masyarakat sejahtera mungkin nelayan-nelayan kita tak perlu merasakan hal-hal yang dirasakan oleh ibu-ibu dari Kodingareng.” ungkap Mida.

Menurut Mida, nelayan dan masyarakat pesisir saat ini memang menghadapi banyak persoalan yang berdampak pada kehidupan ekonomi mereka. Pertama, terkait krisis stok ikan. Misalnya untuk kawasan timur Indonesia tadinya stok ikan cukup namun sekarang menghadapi krisis atau berwarna ‘merah’ (over exploited). “Karena berbagai sebab, yang tadinya kuning, hijau kemudian menjadi merah. Fokus kami, bagaimana memastikan yang merah ini dikelola dengan baik, artinya perlu dilakukan restorasi di situ untuk pemulihan. Caranya, mulai dari pengelolaan penangkapan ikan, pembatasan kuota penangkapan ikan, juga pemilihan alat tangkap, dan juga kawasan-kawasan yang merupakan pemijahan atau tempat pertumbuhan ikan itu kalau bisa masuk dalam larang tangkap khusus untuk zona merah,” jelasnya. Lalu, ada juga kerusakan terumbu karang, mangrove dan padang lamun. Khusus untuk padang lamun, Mida melihat perhatian pemerintah sangat sedikit.

Workshop bertema “Pengembangan Ekonomi Berbasis Wilayah Kelola Rakyat di Kawasan Pesisir Laut”, yang dilaksanakan oleh Walhi Sulsel, Jaring Nusa dan EcoNusa, sebagai rangkaian dari acara Pekan Daerah Lingkungan Hidup (PDLH) IX Walhi Sulsel di Makassar, Kamis (23/6/2022) – Foto: JaringNusa

Nelayan dan masyarakat pesisir juga menghadapi tantangan perubahan iklim. Berdasarkan catatan Bappenas tahun 2021, ada proyeksi gelombang tinggi dalam periode yang cukup panjang 2006-2025 pada total luasan wilayah perairan Indonesia yang berbahaya bagi kapal kapasitas di bawah 10 GT adalah 5,8 juta kilometer persegi, atau sekitar 90% wilayah perairan Indonesia. “Artinya, dari perubahan iklim ada kenaikan gelombang cukup besar mengancam wilayah pesisir Indonesia.” Masalah lainnya adalah keberadaan tambang di pulau-pulau kecil, di mana hampir semua pulau-pulau kecil di Indonesia ditambang. Padahal dalam aturan disebutkan bahwa pulau kecil yag luasnya kurang dari 2.000 km2 persegi tidak boleh ditambang.

Nelayan juga menghadapi sejumlah tantangan. Pertama kebijakan yang tidak menguntungkan mereka. Kedua, adanya pencemaran seperti yang terjadi di Teluk Jakarta di mana 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta telah tercemar logam berat. “Kalau dulunya bisa bertahan dengan sejumlah jenis ikan, namun sekarang berkurang. Nelayan juga melautnya lebih jauh dibanding sebelumnya. Hasil utama saat ini adalah kerang hijau yang itu pun menurut dinas lingkungan mengandung logam berat.

Ketiga, ada kerusakan habitat laut, yang antara lain disebabkan oleh eksploitasi yang berlebihan akibat pola kerja yang homogen, di mana nelayan bergantung pada satu profesi. Nelayan juga menjual dalam produk mentah tak bernilai tambah, sehingga perlu meragamkan aktivitas ekonomi. Selanjutnya kemampuan modal, ada permainan harga jual ikan daya serap industri perikanan, sehingga terdapat hasil tangkapan tapi tidak bisa diserap oleh perikanan kita. “Tantangan lain adalah kesulitan dari alam itu sendiri karena pergantian musim,” tambahnya.

Menurut Mida, hadirnya berbagai aturan seperti UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mengakui keberadaan masyarakat adat, masyarakat tradisional dan masyarakat lokal perlu diikuti dengan penguatan perlindungan hak-hak mereka dengan pemberian izin pemanfaatan, pengelolaan dan akses. “Dengan begitu mereka memperoleh kepastian hukum untuk mempertahankan wilayah Kelola, wilayah tangkap dan tempat mereka tinggal,” katanya. Asmar Exwar, Dinamisator Jaring Nusa juga menambahkan baha terdapat keterkaitan yang sangat erat terkait penguatan ekonomi masyarakat dengan kondisi layanan alam atau lingkungan masyarakat pesisir dan pulau kecil.

******

Sumber Utama: EcoNusa dan WALHI