HARI NELAYAN NASIONAL:  DAMPAK PENANGKAPAN IKAN TERUKUR BAGI NELAYAN

Nelayan tua dengan alat pancing sederhana. (Gambar: The Conversation)

Laut memainkan peran penting dan utama bagi kelanjutan hidup nelayan. Nelayan menggantungkan hidupnya pada “kemurah-hatian” laut dalam membagikan hasil lautnya untuk kemudian bisa mereka tangkap dan dijadikan penyambung hidup. Ketergantungan nelayan dan masyarakat pesisir pada laut menjadikan mereka mempunyai ribuan alasan untuk menjaga dan melestarikan laut, walaupun kita tidak bisa menutup mata akan adanya beberapa oknum nelayan tidak bertanggungjawab yang kemudian menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan. 

Setelah tahun 2019, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan sejumlah kebijakan baru dan program nasional yang menitikberatkan pada pengerukan keuntungan ekonomi, salah satunya adalah privatisasi perikanan dan pertambahkan. Dalam sektor perikanan tangkap misalnya, regulasi yang dikeluarkan mayoritas merujuk pada pelanggengan ekonomi politik seperti UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja Bidang Kelautan dan Perikanan, PP No 27.2021, PP No 18/2021, PP No 43/2021, Permen KP No 53/2020 sebagai perubahan Permen KP No 8/2019, Permen KP No 58/2020, Permen KP No 59/2020, Permen KP No 12/2020 dan Draft Permen KP tentang Sistem Kontrak WPPNRI. Penangkapan ikan terukur melalui sistem kontrak dan zonasi; sebuah skema ekonomi biru yang sudah disahkan oleh KKP pada awal tahun ini menjadi hal baru yang akan diimplementasikan di sektor kelautan dan perikanan (KP). Mendapatkan banyak polemik, pro dan kontra akan skema penangkapan ikan terukur melalui zonasi wilayah ini terus meruak. Terakhir, nelayan di Anambas dan Natuna menolak kebijakan KKP ini karena dinilai tidak berpihak kepada rakyat kecil dan bakal semakin meminggirkan nelayan tradisional (Kompas, 22 Maret 2022). Berdiri bersama nelayan, Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL), menilik beberapa alasan dampak dari penangkapan ikan terukur bagi laut dan khususnya, bagi nelayan. 

Persentase Yang Menyenangkan Investor, Menyengsarakan Nelayan

Terkait dengan rencana penangkapan ikan terukur, KKP akan membagi wilayah menjadi beberapa zona yang diperuntukkan untuk beberapa kepentingan yaitu zona industri, zona perikanan lokal, dan zona perlindungan. Zona industri akan dibagi ke beberapa wilayah pengelolaan perikanan (WPP NRI) yaitu WPP 572, 573, 711, 715, 716, 717, dan 718. Sementara untuk zona perikanan lokal akan berada di WPP NRI 572, 712, dan 713. Lalu untuk zona perlindungan ada di WPP NRI 714. 

Dapat dilihat dari jumlah pembagian zonasi ini, bahwa pemerintah terlihat tidak memperhatikan keadilan perikanan dan mempertimbangkan dengan bijak pemanfaatan dan pemberdayaan WPP. Orientasi yang fokus pada industrialisasi ini kemudian membuka pintu selebar-lebarnya untuk investor baik dalam negeri maupun asing, yang ingin mengadakan kegiatan industri perikanan di laut Indonesia. Ketua Aliansi Nelayan Natuna (ANNA) Henri, mengatakan bahwa kebijakan penangkapan ikan terukur melalui privatisasi zonasi ini hanya kedok bagi pemerintah untuk melegalkan pelaku usaha perikanan skala besar dengan presentas 80% untuk investor dan hanya 20% untuk puluhan juta nelayan tradisional Indonesia. 

Selain itu, tragisnya, KKP seperti terfiksasi oleh investor dan industri perikanan skala besar sehingga banyak wadah-wadah diskusi yang dibuka justru untuk pengusaha dan calon investor. Dalam beberapa kesempatan pun, “panggilan” kepada para investor ini digaungkan seperti pada acara World Ocean Summit ke-9 di awal Maret lalu dan baru-baru ini di gelaran acara internasional Coastal Fisheries Initiative (CFI) Global Partnership Consultation 2022. Sementara bagi nelayan, narasi yang disampaikan kepada media atau pada acara-acara tertentu lebih kepada generalisasi tujuan yang bersentimen positif tanpa bisa memberikan bukti nyata keuntungan maupun manfaat yang bisa dirasakan secara nyata oleh nelayan lokal dan masyarakat pesisir. 

Dalam penelitian yang dilakukan Olson (2011) yang bertajuk Understanding and contextualizing social impacts from the privatization of Fisheries, salah satu dampak negatif dari privatisasi zona adalah pengangguran atau penurunan pendapatan yang dapat memiliki implikasi jangka panjang bagi stabilitas masyarakat. Beberapa dampak dapat secara khusus diucapkan dalam sistem kuota karena “perangkap keuntungan transisional”, di mana nelayan generasi pertama menerima keuntungan tak terduga yang dibayar oleh generasi mendatang (Copes, 1986, hlm. 287). Skema ini kemudian akan merugikan generasi mendatang dikarenakan adanya “dorongan” kepemilikan oleh investor, sehingga akan menjadi sangat sulit bagi nelayan tradisional untuk makmur jika memutuskan untuk terlepas dari hubungan dengan investor atau pengusaha industri perikanan skala besar (Phillips et al., 2002, hlm. 465). 

Dampak keberlanjutan masyarakat juga bisa terlihat dari perubahan mata pencaharian dan identitas ketika nelayan baru atau lama kehilangan kesempatan menangkap ikan. Selain itu bukan sesuatu yang jarang terjadi, ketika proyek nasional dan pendapatan alternatif jsutru lebih banyak terlilit masalah karena sarat intrik politik atau bahkan kepentingan pihak yang paling berkuasa. Salah satu contohnya adalah privatisasi tidak proporsional yang mempengaruhi komunitas kecil penduduk asli Alaska di perikanan halibut, di mana kuota jauh lebih mungkin untuk dijual daripada dibeli (Carothers et al., 2010), dan telah mendorong erosi cara penangkapan ikan berbasis tempat dan di sana.

Resiko lainnya adalah dampak negatif dari privatisasi seringkali jatuh pada segmen industri perikanan yang kurang kuat, yaitu awak kapal, atau pemilik usaha kecil tanpa armada kapal atau bisnis yang terintegrasi secara vertikal. Investor skala besar atau pengusaha industri perikanan skala besar yang akan lebih mampu mengambil keuntungan dari langkah-langkah tersebut kemudian semakin mampu melakukan kontrol di berbagai pasar, seperti kuota sewa, mempekerjakan kru, atau bahkan mempengaruhi harga yang diterima nelayan untuk produk mereka. Perubahan semacam ini, pada masanya, akan mempengaruhi struktur masyarakat dan melalui perubahan hubungan antara orang-orang dan pergeseran nilai-nilai dominan dan mempengaruhi kelangsungan hidup komunitas nelayan termasuk didalamnya ancaman pada hilangnya nilai adat dan tradisi. 

Laut Dieksploitasi; Sesudah Masa Kontrak Habis, Nelayan Tinggal Gigit Jari

Dalam implementasinya, perikanan dengan sistem zonasi yang akan diberlakukan di Indonesia sudah dimulai sejak pendirian Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan sejumlah regulasi yang membagi zona di tiap WPP NRI. WPP NRI yang terpilih tidak kemudian serta merta menjadi aman bagi rangkaian peningkatan aktivitas perikanan secara masif ini. Sebagian wilayah perairan yang telah ditentukan tersebut sudah masuk dalam level tingkat pemanfaatan yang besar dan mengalami full exploited dalam aktivitas penangkapan ikannya. Terutama adalah WPP NRI 711, 713, dan 718. 

Hal lainnya adalah pembagian zona yang menitikberatkan pada “pemerasan” hasil alam dengan mengenyampingkan konservasi dan pemulihan. Jumlah zona yang dijadikan zona industri jauh lebih banyak dibandingkan zona konservasi yang hanya ada 1 zona – WPP NRI 714. Padahal setiap zona yang menjadi fokus industri dan penangkapan ikan memiliki zona konservasi masing-masing. Lalu apakah kemudian yang menjadi ancang-ancang pemulihan bagi zona-zona industri diatas yang akan dieksploitasi? Apakah kemudian ketika masa kontrak dan kuota yang dipakai sudah habis, zona WPP NRI tersebut tidak membutuhkan pemulihan? Yang berarti ketika sudah “diperas” habis, zona tersebut menjadi “daerah gersang” sumberdaya ikan. Bagaimana dengan nelayan atau warga pesisir yang masih akan menempati daerah tersebut sesudah para investor hengkang kaki ketika masa kontrak habis?

Kapal Besar vs Kapal Kecil

Resiko selanjutnya bagi nelayan tradisional adalah dengan dibukanya “gerbang” bagi investor dan industri perikanan skala besar masuk, perairan Indonesia akan mendatangkan kapal-kapal besar dengan peralatan penangkapan ikan yang canggih, masif, dan mempunyai daya tempuh yang lebih luas dan cepat. Nelayan tradisional yang rata-rata memiliki kapal dengan ukuran paling besar 10 GT, pasti akan tertinggal. Belum lagi dengan kebijakan zonasi nelayan lokal dengan ukuran kapal bertonasi kurang dari 30 GT yang hanya diperbolehkan menangkap ikan di wilayah sampai 12 mil. 

Calon Buruh di Laut Sendiri

Dengan adanya ketimpangan yang besar antara pelaku industri perikanan skala besar dengan nelayan tradisional, ketimpangan sosial ekonomi tentunya akan semakin terlihat. Dengan masa kontrak hingga puluhan tahun, skema penangkapan ikan terukur sistem zonasi dan kontrak ini mensyaratkan perekrutan nelayan lokal sebagai anak buah kapal (ABK) bagi kapal-kapal yang akan beroperasi milik investor asing. 

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, hal ini sama saja menjadikan nelayan lokal sebagai buruh di laut sendiri, dimana keuntungan akan banyak diterima justru oleh pihak asing. 

Lalu Bagaimana?

Pemerintah jangan seperti kacang lupa kulitnya. Peningkatan pemasukan negara bukan serta merta dengan “menjual” negeri sendiri kepada pihak yang mampu membayar paling besar. Laut bukan “barang” yang bisa digadai, dipakai dan dikeruk isinya hingga puas, dan kemudian sisanya dikembalikan dengan keadaan “ala kadarnya”. Nelayan juga bukan penonton. Pada lagu anak-anak, kita mengenal penggalan lirik ini – “Nenek moyangku orang pelaut”.  Lirik singat itu menjadi penanda bahwa dari jaman dahulu kala, nelayan telah menjadi aktor utama di negeri bahari ini. Nelayan merupakan bagian dari jati diri bangsa Indonesia. Mereka lah yang merawat dan menjaga laut Indonesia, menjadi tulang punggung pergerakan ekonomi nasional walaupun sering dianggap sebelah mata. Penangkapan terukur mungkin lahir dari niatan baik menyelaraskan ekologi dan ekonomi, tetapi jangan kesampingkan nelayan. Pemerintah harus bisa memberikan deretan aksi nyata dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan dengan mengembangkan kemampuan mereka, memberikan fasilitas atau sarana dan prasarana yang membantu nelayan untuk lebih maju, serta mendorong adanya komunitas pesisir dan nelayan yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam mengelola dan mengawasi laut.

KORAL berdiri bersama nelayan. Dalam badai maupun tenang. Selamat Hari Nelayan, pahlawan bahari. 

******