HARI TUNA SEDUNIA – YES, WE CAN SAY NO TO PIT!

Pekerja memindahkan ikan yellowfin di pelabuhan ikan di Banda Aceh, Kamis (4/4/2019). (Foto: Kompas.com)

Hari Tuna Sedunia diperingati pada tanggal 2 Mei 2023. Setiap tahun pada Hari Tuna Sedunia, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran untuk mengakhiri penangkapan ikan yang berlebihan dan menjaga pasokan tuna untuk masa depan. Dilansir dari laman resmi Marine Stewardship Council (MSC), ikan tuna merupakan komoditas pangan penting yang saat ini menghadapi sejumlah tantangan seperti:

  • Meningkatnya permintaan menyebabkan penangkapan berlebih: Perkiraan industri terbaru menunjukkan 22% stok tuna mengalami penangkapan berlebih dan 13% sudah masuk ke dalam penangkapan berlebih.
  • Penangkapan ikan tuna dapat dikaitkan dengan masalah tangkapan sampingan: Perikanan yang berbeda memiliki dampak yang sangat berbeda tergantung pada bagaimana alat tangkap digunakan dan di mana tuna ditangkap.

Konsekuensinya dari penangkapan tuna yang berlebih adalah kepunahan yang berujung pada putusnya satu mata rantai dalam siklus rantai makanan, sehingga mengganggu keseluruhan biodiversitas laut.

Yes We Can..Say No to PIT

Tema perayaan Hari Tuna tahun ini adalah “Yes We Can” di mana MSC mengajak seluruh dunia untuk ​​melestarikan sumber daya tuna yang luar biasa untuk generasi mendatang. Salah satu cara untuk dapat melestarikan sumber daya tuna adalah dengan memastikan aktivitas penangkapan ikan tuna dilakukan dengan mawas untuk menghindari eksploitasi berlebih hasil tangkapan. Misalnya dengan memastikan alat penangkapan ikan (API) yang ramah lingkungan dan selektif hingga ke upaya pembudidayaan.

Namun, saat ini Pemerintah Indonesia tengah berjibaku untuk segera mengimplementasikan konsep ekonomi biru melalui kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT). Seperti yang kita semua ketahui, PIT disahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2022. PIT dilakukan di bawah panduan kontrak atau “lisensi” yang memperhitungkan kuota hasil tangkapan per kapal. Terdapat tiga jenis kuota yang diberlakukan, yaitu kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota kegiatan non-komersial yang akan diimplementasikan di dalam 6 zona penangkapan ikan terukur. PIT juga menetapkan pihak-pihak yang akan diatur yaitu perseorangan seperti nelayan kecil dan industri atau badan usaha berbasis hukum. Nantinya, nelayan kecil diwajibkan bergabung dalam koperasi dan akan diperbolehkan beroperasi dalam jarak dibawah 12 mil atau wilayah teritorial yang diawasi dan diatur oleh Pemerintah Daerah. Sedangkan badan usaha yang beraktivitas di atas 12 mil atau di dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) akan diatur serta diawasi oleh Pemerintah Pusat.

Dalam satu kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan bahwa kekhawatiran adanya eksploitasi ini mustahil terjadi lantaran ketatnya pengawasan yang akan dilakukan dengan menggunakan satelit dan armada pengawasan (Kumparan, Maret 2023). Hal ini memantik rasa penasaran KORAL, karena berbanding terbalik dengan fakta yang disampaikan oleh salah satu wakil rakyat di akhir Maret yang lalu. 

Adian Napitupulu selaku Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PDI-P mengatakan perlunya peningkatan anggaran bagi sektor keamanan laut guna mengantisipasi maraknya penyelundupan hingga pencurian yang kerap terjadi melalui jalur laut (Tribunnews, Maret 2023). Apalagi karena tugas Badan Keamanan Laut (BAKAMLA), Polairud, dan TNI Angkatan Laut tidak hanya mengawasi kapal pencuri ikan, namun juga sejumlah tindak kriminal lainnya seperti penyelundupan barang ilegal hingga ke perdagangan manusia.

Hal serupa juga diutarakan oleh Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS pada September tahun lalu. Ia mengatakan bahwa untuk menjalankan konsep ekonomi biru, Indonesia masih memiliki banyak PR; mulai dari masih tingginya illegal, unregulated, unreported fishing (IUUF), lemahnya kapasitas dan kekuatan sektor pengamanan, hingga rendahnya sumber daya manusia. 

Ini artinya jumlah armada kita masih kurang, fasilitas dan sumber daya manusianya pun masih belum mumpuni untuk melindungi laut Indonesia seluas 3.273.810 km². Dapat diartikan bahwa pengawasan laut masih sangat lemah hingga kemungkinan terjadinya tindak kriminal atau ilegal pun masih sangat tinggi. Kemudian, hal apa yang menjadi jaminan dan roadmap yang jelas oleh KKP untuk peningkatan pengawasan pada saat PIT diimplementasikan? Jangan lupa bahwa PIT akan dibuka untuk industri perikanan skala besar  dan jumlah kapal yang beroperasi akan semakin banyak dengan target kuota yang harus dipenuhi. Bukan hal yang mustahil bahwasanya conflict of interest dapat terjadi, di mana kapal-kapal penangkap ikan akan melakukan segala cara untuk dapat mendapatkan ikan sebanyak-banyaknya. Tentunya hal ini akan bertolak belakang dengan semangat berkelanjutan dan pelestarian, bukan? Alhasil, sertifikasi keberlanjutan yang selama ini diupayakan dan dibangga-banggakan justru dikhianati oleh kebijakan pro-ekonomi dengan iming-iming peningkatan kualitas ekologi macam PIT.

Laut Indonesia sudah dalam kondisi kritis. Ketua Kelompok Nelayan Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) kawasan Maginti Raya, Abdul Hafid, mengatakan makin sedikitnya nelayan setempat mendapatkan ikan karena adanya praktek perikanan merusak dengan adanya jaring besar seperti pukat dan trawl yang merusak terumbu karang (Mongabay, 2023). Justru nelayan-nelayan kecil dan komunitas-komunitas lokal yang senantiasa setia berupaya menyelamatkan laut. Seperti PAAP yang menyepakati satu area laut sebagai tempat pemijahan dan perkembangbiakan ikan yang tidak boleh ditangkap bernama kawasan larang ambil (KLA) yang meliputi meliputi area laut Pulau Gala Kecil, Pulau Gala Besar, Pasi Toboang, dan Pasi Madiki. Lalu Pemerintah malah mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan kawasan zona inti konservasi untuk dialihfungsikan sebagai wilayah proyek nasional? Apakah tidak memperhatikan peran masyarakat pesisir dan nelayan yang justru berupaya menyelamatkan laut beserta ekosistem yang ada didalamnya?

Hari Tuna seharusnya menjadi momentum pengingat untuk dapat melestarikan sumber daya laut dengan sebaik-baiknya. Bahwasannya kita semua bisa menunjukkan rasa cinta laut yang sebenar-benarnya, setiap hari, dengan lebih cinta kepada laut dan melindungi laut dari kerusakan fatal di masa depan. Caranya adalah dengan mengatakan “yes, we can say no to PIT! (Ya, kita bisa mengatakan tidak pada PIT!)” dan segala bentuk kebijakan maupun proyek nasional yang rawan eksploitasi dan destruktif. 

***