PEMBERANTASAN IUUF UNTUK CEGAH DEGRADASI IKLIM DIMULAI DARI SEKARANG

Di akhir tahun 2021, Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) Republik Indonesia kembali menangkap kapal ikan asing (KIA) berbendera Vietnam di perairan Natuna Utara, perbatasan Indonesia-Malaysia bagian barat yang masuk ke wilayah Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (KEPRI). Ada 2 KIA yang terlihat melakukan kegiatan pencurian ikan, namun hanya 1 KIA dengan nomor lambung KG 2118 TS yang berhasil ditangkap sementara satu KIA Vietnam yang lainnya kabur dan masuk ke wilayah Malaysia. Setelah diperiksa, KIA Vietnam KG 2118 TS yang diawaki 20 orang ABK berkebangsaan Vietnam, terdapat muatan ikan campur hasil tangkapan illegal kurang lebih 2 ton. KIA Vietnam diduga telah melanggar batas wilayah dan menangkap ikan secara ilegal tanpa izin dari Pemerintah Indonesia. 

Pencurian ikan ilegal masih menjadi momok yang menghantui wilayah perairan Indonesia, baik pelakunya dari dalam maupun luar negeri. Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) melakukan pendeteksian melalui Automatic Identification System (AIS) di bulan Desember 2021 kemarin dan mendapati 18 KIA Vietnam. Peneliti IOJI, Imam Prakoso mengatakan bahwa jumlah ini meningkat diakibatkan nelayan lokal tidak berani melaut karena angin utara yang kuat, sehingga membuka celah bagi KIA untuk lebih berani mencuri ikan di perairan yang kosong. 

Illegal, unregulated, unreported fishing (IUUF) tentunya berdampak pada perikanan berkelanjutan dan lingkungan pada dasarnya. Kerugian secara ekonomi dari IUUF mengakibatkan kerugian yang lebih luas bagi masyarakat seperti hilangnya pekerjaan dan pendapatan bagi nelayan yang sah, kerugian bagi sektor pariwisata dan terganggunya kohesi sosial dalam masyarakat nelayan.  Selain kerugian ekonomi yang bisa mencapai lebih dari Rp 100 Triliun per tahunnya, kerugian secara ekologi pun lebih besar daripada itu. Penangkapan ikan IUU secara konsisten dikaitkan dengan perbudakan modern, pelanggaran perburuhan dan korupsi, terutama di Asia Tenggara. Dampak lingkungan dari tindakan IUUF terutama penangkapan ikan ilegal adalah penurunan produktivitas perikanan karena stok yang menipis, risiko kepunahan spesies, dampak pada jaring makanan laut dan berkurangnya ketahanan laut untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Semua ini merugikan perekonomian dan menghambat kemajuan tujuan global seperti mencapai ketahanan pangan, mengurangi kemiskinan dan mencapai target pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. 

Jika kemudian IUUF dan bentuk eksploitasi kelautan dan perikanan tidak diberhentikan atau diperangi dengan maksimal, maka impian Indonesia untuk mencegah degradasi iklim akan sangat sulit tercapai. Mengapa demikian? Lautan adalah sebuah ekosistem kompleks yang saling terhubung dalam satu rantai yang sama antar spesies yang berbeda. Setiap mata rantai berbeda itu, saling mempengaruhi kelimpahan sumberdaya dan ekosistem di laut misalnya mulai dari terumbu dan bunga karang yang menyediakan tempat berlindung dan berkembang biak bagi banyak hewan laut hingga fitoplankton yang menyerap karbon dan menopang jaring makanan. Tragisnya, ekosistem seperti gunung bawah laut yang memiliki sumberdaya perikanan melimpah, justru sering ditargetkan sebagai “area” tindak kriminal IUUF karena kekayaan alamnya.  Apabila kemudian terumbu karang dan ekosistem alami dibuldoser, dicabik-cabik maka sangat mungkin seluruh komunitas ikan dan makhluk hidup lainnya hilang. 

Padahal lebih banyak ikan di laut, lebih sedikit perubahan iklim. Memiliki lebih banyak ikan dan kehidupan laut lainnya di laut, berarti lebih banyak penyerapan karbon; sebuah proses penting yang mengunci emisi karbon. Diperkirakan lautan mengandung sekitar 38.000 gigaton karbon, dan sejauh ini merupakan reservoir karbon terbesar di Bumi. Hutan hujan, meskipun penting, tidak memiliki apa-apa di laut dalam. Lautan yang beragam dan penuh membantu mengurangi perubahan iklim karena kehidupan di dalamnya memungkinkan penangkapan dan penyimpanan karbon yang jika tidak akan berkontribusi pada perubahan iklim di atmosfer. Lautan dianggap sebagai satu-satunya penyerap bersih emisi CO² manusia dalam 200 tahun terakhir. Jika kehidupan di darat telah menjadi penghasil net emitter; kehidupan di lautan telah melakukan upaya keras untuk mencegah kita dari peningkatan panas lebih cepat. IUUF juga meningkatkan resiko bycatch atau penangkapan sampingan hewan yang dilindungi seperti hiu, lumba-lumba, penyu, dan lain sebagainya yang juga sangat berimbas pada lingkungan.

Selain perbaikan dan pengetatan dalam cara menangkap ikan, IUUF juga wajib dihentikan agar kita, sebagai manusia, tidak mengambil terlalu banyak dari lautan dan membayar “hutang ekologis” dengan mengembalikan ke lautan. Solusi yang harus digalakkan ada di tangan pemerintah; mulai dari konflik kedaulatan negara yang wajib diselesaikan, penegakan hukum dan sanksi bagi pelaku, penertiban alat tangkap ikan dan pelabuhan dari segala tindak kriminal IUUF seperti memperbolehkan jual-beli hewan yang dilindungi, lalu kongkalikong antar pejabat pelabuhan dan kelautan perikanan dengan oknum-oknum tidak bertanggung-jawab dalam melanggengkan tindak IUUF dan overfishing, dan yang paling penting adalah peningkatan fasilitas, sarana-prasarana, dan armada pengawasan perairan seperti kapal patroli dan petugas masih dinanti-nantikan dalam memerangi IUUF di Indonesia. Tahun yang baru menjadi lembaran baru juga bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam menorehkan catatan sejarah baik di sektor ini dengan menindak tuntas IUUF. bukan hanya generasi sekarang, namun generasi masa depan pun akan sangat berterimakasih apabila kemudian KKP dan segenap jajaran terkait, mampu membasmi pelaku IUUF dan menimbulkan efek jera pada pelaku.

******