Di penghujung tahun 2022, nelayan Natuna melaporkan keberadaan enam kapal ikan asing (KIA) Vietnam yang memasuki wilayah perairan Natuna. Dalam video yang berdurasi 1 menit 40 detik tertanggal 27 Desember 2022 itu, diperlihatkan dugaan kapal Vietnam pada titik posisi 05° 06’ 461” Lintang Utara dan 107° 55’ 311” Bujur Timur (Kompas, 3 Januari 2023). Kapal yang tertangkap kamera nelayan itu menjadi kapal dengan jarak terdekat dari Pulau Laut yaitu hanya berjarak 34,07 km.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri mengatakan bahwa KIA Vietnam tersebut terlihat berlayar bergandengan. Hal ini mengindikasikan bahwa KIA Vietnam tersebut menggunakan pukat harimau atau trawl. Kapal berukuran besar sekitar 80-100 gross tonnage (GT) itu meraup isi laut Natuna demi menangkap ikan pelagis yang berukuran besar dan kecil. Tidak dapat diketahui berapa banyak terumbu karang yang harus rusak karena aktivitas ini, mengingat pukat harimau atau trawl merupakan alat penangkapan ikan (API) yang destruktif.
Penggunaan trawl sudah dilarang dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Namun tentu saja, yang namanya “maling” tidak akan peduli aturan yang berlaku di “rumah” seseorang, bukan?
Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) yang merupakan bagian dari KORAL, telah melakukan kajian yang menunjukkan intrusi kapal ikan asing di Laut Natuna Utara pada tahun 2022. IOJI menemukan setidaknya ada 438 kapal ikan Vietnam (IOJI, 2022) dan yang tertinggi terjadi di bulan Mei yaitu 67 kapal ikan asing. Bukan tanpa sebab, di beberapa penelitian mengenai pergerakan musim dan angin, bulan Mei menjadi salah satu Musim Timur Teduh Peralihan yang berlangsung selama kira-kira 44 hari. Pada musim ini, hasil perikanan sedang bagus-bagusnya karena dipengaruhi hasil fotosintesis, temperatur laut, dan arus.
Anggaran Habis = Patroli Minimalis
Tindak Illegal, Unregulated, Unreported Fishing (IUUF) sudah menjadi pekerjaan rumah menahun bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). IUUF yang dilakukan oleh KIA bukan baru terjadi semalam, dan seharusnya pola pencurian ikan dan modus operandi yang “katanya” sudah diketahui KKP, membuat KKP lebih mudah untuk mencari celah optimalisasi pengawasan dan penertiban. Tapi sayangnya, saat ini pengawasan laut kita terhadang permasalahan baru; bahan bakar.
Dikutip dari Kompas, Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP-KKP), Pung Nugroho Saksono, mengatakan bahwa kapal perikanan baru bisa digerakkan ke Laut Natuna Utara pada awal Januari 2023 karena PSDKP kehabisan anggaran bahan bakar.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) yang mengatakan bahwa anggaran operasi BAKAMLA sudah habis dan saat ini kapal patroli tersebut hanya bisa berlabuh di Batam. Fakta lainnya, Anggota Komisi I DPR, Muhammad Farhan, mengungkapkan bahwa anggaran di tahun 2023 bagi BAKAMLA hanya mampu menggelar patroli selama 40 hari dalam setahun.
Regulasi Bercelah = Penegakan Hukum Lemah
Pemerintah harusnya mempertanyakan kenapa banyak pelaku yang tertangkap sebelumnya, menjadi residivis di kemudian hari. Tentunya karena tidak ada efek jera dalam pemberlakukan hukuman ini. Bukan sekali dua kali kemudian pelaku IUUF dijatuhkan sanksi ringan yang tidak membuat mereka jera. Pada tahun 2019, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu 2015-2019, dari 116 putusan pengadilan perikanan hanya 113 kasus yang dikenakan denda dengan rerata denda yang dikenakan hanya sebesar Rp 500 juta (KIARA, 2019).
Salah satu penyebabnya adalah sanksi yang diberlakukan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nyatanya belum dapat membuat jera para pelaku IUUF. Undang-Undang yang jadi landasan justru masih memiliki celah. Hal ini tidak terlepas dari celah kelemahan hukum pada UU Nomor 45 Tahun 2009 tersebut yang tidak menyatakan batas minimum hukuman pidana bagi pelaku.
Di pasal 93, Pasal 94 dan Pasal 94A dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pengangkutan atau penangkapan ikan tanpa dilengkapi dengan surat izin usaha perikanan (SIUP), surat izin penangkapan ikan (SIPI), dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI), terancam penjara paling lama enam tahun dan denda sebesar Rp 2 miliar hingga Rp 20 miliar. Sementara bagi Nahkoda yang berlayar untuk melakukan aktivitas pengangkutan dan penangkapan ikan tanpa memiliki surat izin, juga terancam hukuman pidana satu tahun penjara dengan dengan Rp 200 juta.
Dapat dibaca pada lembaran Undang-Undang tersebut bahwa tidak disebutkan batas minimum hukuman. Alhasil, penegakan hukum dengan sanksi yang diberlakukan cuma sebatas formalitas tanpa adanya efek jera.
Kerugian Triliunan, Pemerintah Jangan Kalah Pintar!
Jumlah perkiraan kerugian Indonesia dari praktik IUUF adalah Rp 60,007,400,000,000,- yang setara dengan 4 Miliar USD per tahunnya. Angka tersebut diutarakan Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Perikanan dan Kelautan dalam suatu webinar di tahun 2020 silam. Apalagi, Laut Natuna Utara bukan wilayah perairan satu-satunya yang menjadi incaran pencurian ikan oleh kapal-kapal asing. Setidaknya ada beberapa wilayah lainnya yang menjadi incaran “maling ikan” ini yaitu Laut Natuna, Perairan Selat Karimata, Teluk Tolo, Laut Banda, perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik, Perairan Sulawesi dan utara Pulau Halmahera, Perairan Laut Arafura, Laut Aru, dan Laut Timor bagian timur. Luas wilayah yang diintai dan menjadi mangsa si “maling ikan” ini, membutuhkan pengawasan dan penertiban yang juga maksimal.
Jika kemudian Pemerintah belum menemukan titik resolusi dan implementasi peraturan yang afirmatif, maka tidak heran jika kesejahteraan dan keamanan nelayan kecil terus menurun paralel dengan kerugian Indonesia semakin besar. Perlu diingat, dampak kerugian materiil dalam jumlah bukan satu-satunya kerugian yang diterima Indonesia. Contohnya saja KIA Vietnam yang tertangkap kamera nelayan di Natuna Utara, mengeruk laut Indonesia dengan trawl yang menyebabkan ekosistem dan kelestarian alam bawah laut Indonesia juga hancur. Dampaknya tentu tidak dirasakan secara langsung, namun pelan tapi pasti, akan mematikan nilai keberlanjutan laut Indonesia untuk generasi mendatang dengan nilai kerugian yang tidak terhitung.
Keberadaan KIA yang relatif besar dengan alat tangkap yang merusak, membuat nelayan lokal takut melaut dan membuat mereka tersudut untuk mencari wilayah lain untuk melaut. Tak jarang hal ini juga yang memantik mereka untuk berlayar di batas wilayah perairan negara dan berujung dengan tertangkap otoritas negara lain karena melanggar batas wilayah.
Lingkaran setan ini harus segera ditangani. Di tahun yang baru ini, KORAL berharap Pemerintah jangan kalah pintar dalam menegakkan ketertiban dan kedaulatan Indonesia. Selain patroli bersama, ketegasan hukum dengan memperjelas Undang-Undang dan penegakan sanksi juga jadi kunci untuk mengurangi jumlah IUUF yang dilakukan kapal ikan asing. Perlu Pemerintah ingat juga, dengan keberadaan Perppu Cipta Kerja yang memberikan askes untuk perikanan asing beroperasi di wilayah perairan Indonesia, bukan jadi solusi yang tepat. Apalagi melihat aspek-aspek lain yang masih belum berpihak pada nelayan kecil. Semoga tahun 2023 menjadi momentum berjayanya nelayan lokal dan perairan Indonesia, bebas dari IUUF.
***