Pelabuhan merupakan salah satu sarana penting dalam sektor Kelautan dan Perikanan. Menjadi tempat berlabuhnya kapal dan hasil perairan yang berhasil didapatkan nelayan, pelabuhan juga merupakan tempat berlabuh dan berlayarnya asa dan harapan akan hidup yang lebih baik. Namun sayangnya, pembangunan pelabuhan masih rawan tindakan destruktif yang berpengaruh buruk pada lingkungan.
Tentunya kita masih ingat Makassar New Port (MNP), sebuah pelabuhan baru sekaligus kawasan industri di Sulawesi Selatan dengan luas 1.428 hektare yang ditargetkan akan rampung pada tahun 2025 mendatang. Nyatanya pada proses pembangunan MNP ini, rakyat pesisir di Pulau Kodingareng harus menjadi “tumbal” proyek nasional kebanggaan BUMN yang menelan anggaran sebesar Rp 89 triliun. Proyek reklamasi MNP ini telah menyengsarakan nelayan sekaligus merusak ekosistem laut di perairan Makassar khususnya di Perairan Spermonde yang menjadi wilayah tangkap nelayan Pulau Kodingareng. Sejak kapal PT Royal Boskalis yakni Queen of the Netherlands beroperasi menambang pasir di kepulauan Spermonde pada Februari-Agustus 2020, dampaknya perekonomian masyarakat nelayan Kodingareng saat ini mengalami kelumpuhan.
Degradasi lingkungan sebagai multiplier effect dari penambangan pasir salah satunya adalah keruhnya air laut akibat sebaran sedimen hasil kerukan pasir yang berdampak pada terumbu karang sebagai habitat berbagai organisme laut, rusaknya terumbu karang dapat melumpuhkan ekosistem Perairan Spermonde. Selain itu, penambangan pasir laut di perairan Spermonde juga menyebabkan perubahan yang signifikan di dasar laut sehingga pola arus dan gelombang menjadi lebih besar. Hal ini mendorong terjadinya abrasi di daerah pantai nelayan. Hasil tangkapan nelayan juga jauh berkurang karena ikan semakin menjauh ke tengah laut. Hal ini juga mengakibatkan konflik sosial-ekonomi di tengah-tengah masyarakat pesisir dikarenakan banyak nelayan yang berlayar lebih jauh dan atau beralih profesi sehingga pengeluaran menjadi lebih banyak dari pemasukan, durasi berlayar menjadi lebih lama sehingga jauh dari keluarga cukup lama, dan juga ketidakpastian pemasukan.
Selain MNP, Indonesia juga berencana mengembangkan proyek pelabuhan besarnya ke wilayah Maluku. Dikenal dengan nama Ambon New Port (ANP), pelabuhan ini nantinya mempunyai nilai investasi yang diperkirakan mencapai Rp5 triliun (US$348 juta). Terletak di perbatasan Desa Waai dan Liang, Pulau Ambon, Maluku, Ambon New Port akan dibangun untuk mengatasi beberapa tantangan yang tidak dapat diselesaikan oleh pelabuhan saat ini. Yang membuat Ambon New Port berbeda dari yang sebelumnya bukan hanya kapasitasnya yang lebih besar, tetapi fasilitasnya yang lebih luas dan lebih terintegrasi di dalam lokasi. Dibangun di atas lahan 700 hektare, Ambon New Port akan memiliki beberapa fasilitas. Pelabuhan ini akan menjadi tuan rumah terminal peti kemas internasional dan domestik, terminal roro, pelabuhan perikanan dan fasilitas pemrosesan (TPI), kawasan industri dan logistik, ditambah terminal LNG dan pembangkit listrik. Panjang total dermaga akan menjadi 1.000 m (ultimate).
Sementara untuk anggaran yang akan dikeluarkan untuk proyek ANP tentu tidak sedikit. Pada pembangunan tahap pertama diperkirakan menelan biaya Rp2,214 triliun (US$154 juta), di mana Rp1.207 triliun (US$84 juta) dari infrastruktur dasar akan diambil dari APBN. Sedangkan untuk pembangunan tahap selanjutnya, pendanaan akan datang melalui kerja sama Pelindo IV dengan pihak swasta melalui Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPS). Skema investasi pelabuhan akan menggunakan skema kerja KPBU hingga Rp5 triliun (US$348 juta).
Degradasi lingkungan yang terjadi saat pembangunan MNP ini harus menjadi bahan refleksi bagi Pemerintah dalam mengadakan pembangunan ANP. Mengantongi izin analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) saja tidak cukup menjadi “lampu hijau” pembangunan pelabuhan dinyatakan berasaskan keberlanjutan. MNP juga sudah mengantongi izin AMDAL, namun nyatanya salah satu proses awal pada pembangunannya terbukti merusak lingkungan. Secara tidak langsung Pemerintah dan Perusahaan terkait diduga melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2012 tentang AMDAL, pasalnya selama ini masyarakat hanya mengetahui aktivitas penambangan pasir laut oleh perusahaan asal Belanda tersebut. Pemerintah harus bisa memastikan bahwa jikalau pembangunan ANP dilakukan, harus berlandaskan asas keberlanjutan dan keadilan bagi lingkungan dan masyarakat pesisir.
Apalagi dengan lokasi infrastruktur ANP yang letaknya nanti berseberangan dengan Kawasan Perlindungan Hatuhaha yang bukan hanya kaya ekosistem kelautan dan perikanan, tapi juga menjadi tempat berdiam masyarakat adat Hatuhaha yang menjaga kelestarian dan keberlanjutan ekosistem setempat. Keberadaan ANP tentunya menjadi ancaman tersendiri bagi keberadaan diversitas ekosistem laut yang sudah dijaga selama ini karena nantinya ANP akan menjadi “rumah” bagi begitu banyaknya aktivitas kelautan dan perikanan. Terlebih, awalnya keberadaan ANP ditujukan untuk mendukung program strategis nasional. Namun sekarang, keberadaan ANP justru sebagai bagian dari implementasi kebijakan Penangkapan Ikan Terukur dikarenakan kebijakan tersebut harus menyiapkan infrastruktur pendaratan ikan.
Menurut Mardi Wibowo dari Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai (BPPT), terdapat beberapa dampak negatif sebagai akibat dari pembangunan kawasan pesisir. Disebutkan bahwa pembangunan pesisir pada tahap konstruksi dan operasional menyebabkan menurunnya kualitas perairan laut, kualitas udara, terjadinya perubahan pola arus, abrasi dan sedimentasi serta terganggunya kehidupan biota yang ada di sekitar dermaga.
Hal ini diperkuat juga dengan pandangan dari Amrullah Usemahu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Nelayan Indonesia (MPN), LSM, dan Ketua Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI) daerah. Ia mengatakan proyek infrastruktur nasional kehilangan tenaga ketika perluasan pelabuhan dikaitkan dengan kawasan pengembangan perikanan Lumbung Ikan Nasional. Dimana menurutnya, fokus utama adalah pembangunan perikanan karena, “Jika tidak ada ikan, kita tidak bisa berbicara tentang ekspor perikanan [dan karena itu pelabuhan],” ujarnya.
Ambon New Port memang berangkat dari niatan baik untuk memperbaiki roda ekonomi Indonesia bagian timur, maka dari itu pembangunan, pengembangan, dan implementasi dari ANP ini harus berasaskan konsep keberlanjutan atau sustainable port. Konsep ini berarti pelabuhan yang dalam manajemen dan operasionalnya memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, bukan hanya profit atau keuntungan secara bisnis semata. Selain pembangunan dan pengembangan yang menggunakan konsep sustainable port, yang paling penting adalah implementasi dan eksekusi keberadaan ANP juga harus memastikan aspek keberlanjutan, keadilan, dan kesetaraan bagi lingkungan dan masyarakat pesisir di sekitar ANP.
******