PERAN PEREMPUAN PESISIR: PEJUANG KEMERDEKAAN KELUARGA DAN LINGKUNGAN – PART 2

Data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menjelaskan para perempuan nelayan mampu memberikan kontribusi ekonomi lebih dari 60% bagi perekonomian keluarga. (Gambar: Mongabay Indonesia)

Peran perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kesejahteraan ini tidak lantas hilang ditelan masa. Hingga sekarang, perempuan masih berjibaku dalam memerdekakan hak mereka dan hak komunitasnya, tidak terlepas dari para perempuan pesisir di beberapa daerah di Indonesia yang akan KORAL ceritakan pada artikel khusus Hari Kemerdekaan Republik Indonesia bertajuk Peran Perempuan Pesisir: Pejuang Kemerdekaan Keluarga Dan Lingkungan – Part 2.

Peran Perempuan Pesisir dalam Kehidupan Maritim

Perempuan yang menghuni daerah pesisir dihadapkan pada perbedaan kultur, geografis, dan demografis dengan perempuan yang hidup dan menghuni daerah perkotaan. Secara kultur, sebagian besar perempuan pesisir hidup dalam sistem budaya patriarki dengan suami dan anak-anak mereka, dimana peran perempuan mendominasi kehidupan rumah tangga sebagai Istri dan Ibu. Mereka juga dituntut patuh dan turut serta mendukung keputusan dan bahkan pekerjaan suami sebagai kepala keluarga. Secara demografis, tingkat pendidikan yang dimiliki warga pesisir pun sebagian besar hanya menempuh wajib sekolah 9-12 tahun saja. Perbedaan inilah yang kemudian membuat peran mereka berbeda dengan peran perempuan pada sektor lain ataupun di daerah lain seperti perkotaan.

Ada tiga peran yang harus dilakoni perempuan pesisir dari sisi domestik (Rumah Tangga), ekonomi, dan komunitas. Menurut Caroline Moser, ketiga peran tersebut dilakoni oleh perempuan pesisir dalam kehidupan mereka sehari-hari. Laut masih menjadi ranah atau ‘ladang’ bagi para lelaku untuk menghabiskan waktunya menangkap ikan dan hasil laut lainnya. Biasanya, para laki-laki akan menghabiskan waktu seharian atau bahkan berhari-hari untuk melaut. Peran perempuan cenderung besar di darat atau daerah pesisir. Nantinya ketika para laki-laki sudah pulang melaut, merekalah yang akan membersihkan, mengelola hasil laut itu untuk dijadikan bahan masakan rumah atau dijual kepada pembeli atau pedagang di Pasar. 

Peran domestik atau rumah tangga yang selanjutnya dilakoni oleh perempuan pesisir lekat dengan konotasi ‘sumur, dapur, kasur’ yang sayangnya sudah mengkarat di kebudayaan tradisional Indonesia. Perempuan pesisir memiliki tanggung jawab untuk pekerjaan rumah tangga seperti bebersih dan memasak, mengasuh dan mendidik anak termasuk menyediakan kebutuhan sekolah, hingga bertanggung jawab atas kesehatan dan gizi hingga stabilitas perekonomian keluarga. 

Sementara untuk peran ekonomi, perempuan pesisir berkontribusi dalam menunjang pendapatan keluarga dan juga turut ambil bagian dalam struktur pendapatan daerah secara ekonomi. Hal ini dikarenakan potensi sosial ekonomi mereka sangat strategis dalam memainkan peran sebagai produsen, pengumpul ikan, pedagang, hingga tenaga pengolah ikan yang sayangnya tidak pernah terlihat. Hal ini dibuktikan juga dalam data temuan Badan Pusat Statistik di tahun 2019 yang mengungkapkan bahwa jika ditinjau dari daerah tempat tinggal, Perempuan yang berumur 15 tahun keatas sebagian besar bekerja di sektor pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan, yakni sebesar 50,36%berbanding 7,38%. 

Peran komunitas perempuan pesisir tentunya tidak jauh dari lingkungan tempat mereka berkegiatan sehari-hari. Diisi oleh mayoritas perempuan pesisir yang menjadi Istri nelayan, komunitas ini tumbuh menjadi wadah bagi mereka dalam mendukung kelestarian dan kesejahteraan masyarakat pesisir yang terkait dengan laut. Misalnya saja Perempuan Pesisir Kodingareng yang berjibaku mencari cara untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari sektor kelautan dan perikanan dengan menjual produk olahan hasil laut seperti kerupuk dan abon ikan.

Pengakuan Perempuan Pesisir: Kibaran Bendera Awal Kesejahteraan

Peran perempuan pesisir yang cukup signifikan dan besar dalam sektor kelautan dan perikanan sayangnya masih dianggap sebelah mata. Profesi nelayan yang masih identik dengan figur laki-laki sebagai ‘pelaku’nya, membuat perempuan pesisir dianggap tokoh figuran. Hal ini sedikit banyak berpengaruh pada pengakuan status perempuan pesisir yang menjalankan profesi nelayan didalam bingkai kebijakan. Tidak adanya pengakuan sama dengan tidak adanya hak untuk mendapatkan akses bantuan dan atau fasilitas yang dapat menopang profesi mereka serta meningkatkan kesejahteraan mereka. 

Permintaan pengakuan adanya nelayan perempuan bagi perempuan pesisir sudah pernah diajukan kepada Pemerintah sebelumnya. Baru-baru ini, Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) meminta Pemerintah bukan hanya memberikan pengakuan namun juga dapat memprogramkan pemberdayaan perempuan pesisir secara berkelanjutan, adil, dan merata. Juru Bicara KPPI, Masmuni Sri, dalam acara Munas IV Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menambahkan bahwa perempuan pesisir masih minim pengetahuan, informasi, dan pendidikan. Guna meningkatkan taraf ekonomi dan kesejahteraan hidup, Pemerintah diharapkan mampu memberikan fasilitas pelatihan, pemasaran, dan moda usaha hasil tangkapan laut.

Dibalik banyaknya ikan, kerang, dan hasil laut lainnya yang dijejer di pasar atau garingnya kerupuk hasil olahan laut yang dimakan bersamaan dengan nasi panas, peran perempuan pesisir ada disitu. Pengakuan keberadaan Perempuan Pesisir dengan peran mereka sebagai Nelayan agaknya seperti pengakuan negara-negara lain sesaat sesudah Indonesia merdeka. Pengakuan itu menjadi penting, sebagai penanda keberadaan mereka serta peran yang dijalankan sudah disadari dan diakui. Dimana mereka dapat dengan bebas menjalankan perannya dan jelas hak serta kewajibannya. Semoga di tahun 2022, setelah 77 tahun merdeka, Indonesia bisa menghadirkan nafas lega dan fajar harapan baru bagi para Perempuan Pesisir.

Baca juga: Peran Perempuan Pesisir: Pejuang Kemerdekaan Lingkungan dan Keluarga – Part 1

******