HARI MASYARAKAT ADAT: DIHANTUI KRISIS IKLIM, DIMARJINALKAN REGULASI

Pimpinan adat Negeri Buano Selatan, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) memasang tanda sasi laut di pesisir pantai negeri mereka, pada 13 Oktober 2022. (Foto: ANTARA/HO-LPPM Maluku)

Indonesia tidak hanya lahir dari perjuangan proklamator dan sejumlah orang yang berdelegasi di kancah internasional. Indonesia juga lahir dari masyarakat adat yang sudah ada sejak Bumi Khatulistiwa ini belum bernama. Masyarakat adat dalam eksistensinya, memiliki tradisi dan kepercayaan yang kuat akan hubungan manusia dan alam. 

Maka dari itu, hampir seluruh tradisi mereka akan mengacu pada fungsi ekologis dan keberlanjutan. Seperti contohnya tradisi masyarakat adat Maluku “Sasi”, yang merupakan perintah larangan untuk mengambil hasil alam, baik hasil pertanian maupun hasil kelautan sebelum waktu yang ditentukan.  Tujuannya adalah untuk melestarikan alam. Dari Sabang sampai Merauke, masyarakat adat juga memiliki tradisi sistem atau lembaga yang bertugas untuk menjaga alam. Misalnya jika di Maluku dikenal sebutan “Kewang” atau penjaga laut, lainnya halnya di pesisir Aceh  yang mengenal sebutan “Panglima Laot”; tugas mereka sama – menjaga laut dan pesisir dari kegiatan penangkapan yang eksploitatif. 

Diburu Iklim dan Ditawan Regulasi

Nasib Masyarakat Adat di Indonesia tidak bisa dibilang setimpal dengan kontribusi mereka dan leluhurnya dalam menjaga alam negeri ini. Menurut data yang dipublikasikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), perampasan wilayah adat, kekerasan, kriminalisasi dan penyangkalan terhadap Masyarakat Adat masih terus berlangsung dan semakin meningkat. Pada tahun 2021 saja, tercatat 13 kasus perampasan wilayah adat dengan area seluas 251 ribu ha dan berdampak pada lebih dari 103 ribu Jiwa.

Bukan hanya itu, Masyarakat Adat juga rawan menjadi korban krisis iklim. Masyarakat adat yang tinggal di daerah pesisir bak diburu oleh krisis iklim yang mengancam nyawa. Perubahan iklim tentunya menyabotase cuaca yang menimbulkan curah hujan yang tidak bisa diprediksi serta gelombang yang tinggi. Di beberapa tempat, permukaan air laut juga naik dan membanjiri pemukiman mereka. Contoh kasusnya adalah yang terjadi di Papua. Dilansir dari WALHI Papua, nasib nelayan masyarakat adat Papua kian terancam karena resiko berlayar semakin tinggi dengan kalender musim nelayan yang semakin pendek. Peningkatan suhu akibat krisis iklim berujung pada rusaknya terumbu karang, degradasi mangrove, dan masih banyak lagi. 

Salah satu penyebabnya krisis iklim adalah kebijakan yang mengeksploitasi alam dan merusak. Regulasi maupun program yang dikeluarkan Pemerintah justru makin memperburuk krisis iklim yang terjadi. Bak sudah jatuh tertimpa tangga, regulasi dan program ini juga antipati dan memangkas partisipasi serta usaha masyarakat adat untuk melindungi alam leluhur mereka. Misalnya yang terbaru, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja/ CK) yang disahkan Pemerintah pada akhir tahun 2022 lalu. 

Didalam Perppu ini terdapat beberapa catatan yang kemudian dianggap beresiko akan masyarakat adat dan tradisinya, yakni:

  1. Perppu Cipta Kerja tidak melaksanakan mandat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010 untuk mengutamakan perlindungan bagi hak-hak masyarakat bahari.
  2. Perppu Cipta Kerja memberikan kewenangan penuh pada Pemerintah Pusat untuk mengatur tata Ruang di tiap provinsi, termasuk dapat merubah peruntukkan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil demi kebijakan strategis nasional.
  3. Perppu Cipta Kerja menggelar karpet merah bagi investor dan penanaman modal asing (PMA) untuk memanfaatkan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dengan dalih investasi. 
  4. Perppu Cipta Kerja memberi celah kriminalisasi masyarakat penolak tambang karena adanya pasal karet pada Pasal 162 Perppu Cipta Kerja.

Menurut Rukka Sombolinggi dari AMAN dalam acara Focus Group Discussion bertajuk “Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Dalam Kegiatan Investasi Asing: Analisis Prinsip Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM)” di Universitas Indonesia, kegiatan investasi baik lokal maupun asing telah menyingkirkan masyarakat adat dari wilayahnya sendiri dan menjadi korban pembangunan (Februari 2023). 

Serangkaian regulasi yang memudahkan program pembangunan yang bergulir demi peningkatan ekonomi agaknya membuat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), terlupakan. UU No.32/ 2009 menyatakan bahwa upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan harus memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan lingkungan. Bukan hanya itu, sektor kelautan dan perikanan juga memiliki Pasal 52 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UUP) yang “..mengatur, mendorong, dan atau menyelenggarakan penelitian dan pengembangan perikanan untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha perikanan agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi atau budaya lokal.”.

Sayangnya marginalisasi masyarakat adat masih terus berlanjut. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat juga belum jelas masa depannya. Padahal, masyarakat adat punya andil besar dalam keberlanjutan dan keselamatan Dunia.

Menjaga Lingkungan dengan Pendekatan Masyarakat Adat

Dalam penelitian yang dilakukan pada 2022 lalu oleh Fidler, Ahmadiyya, dan Harborne bertajuk “Participation, Not Penalties: Community Involvement and Equitable Governance Contribute to More Effective Multiuse Protected Areas”, disimpulkan bahwa keberadaan Masyarakat Adat di wilayah pesisir Indonesia justru lebih berhasil dalam upaya melindungi kawasan konservasi. Selain itu, jumlah biomassa yang di wilayah yang dikuasai oleh masyarakat adat lebih besar, dibandingkan dengan kawasan yang dikelola negara dengan regulasi-regulasi konvensional. 

Menjaga lingkungan bukanlah sebuah kompetisi, melainkan kerjasama yang dibangun dengan landasan transparansi dan kejujuran. KORAL satu suara dengan hasil pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Stockholm +50, yang mengatakan bahwa Masyarakat Adat adalah powerful agents of change. Ini yang menjadikan masyarakat adat wajib diakui kontribusinya akan lingkungan dan diberikan:

  1. Penguatan dasar Hukum Kelembagaan Masyarakat Adat yang masih “mandek” di Program Legislasi Nasional yang sudah bergulir lebih dari 1 dekade.
  2. Diakui keberadaannya serta seluruh tradisi yang bertujuan untuk kelestarian alam.
  3. Meningkatkan partisipasi Masyarakat Adat sebagai suara dalam penentuan keputusan aktivitas terkait sumber daya alam seperti dalam keputusan analisis dampak lingkungan (AMDAL) terutama terkait kegiatan yang mengambil sumber daya alam.
  4. Meningkatkan partisipasi dan kolaborasi dengan Masyarakat Adat terkait desain dan implementasi dalam upaya menjaga alam dan konservasi, mengaplikasikan nilai-nilai hidup, hak komunal, dan hak-hak religius.

Salah satu pelajaran terbesar dari tokoh masyarakat adat suku Indian, Chief Seattle, adalah manusia tidak menenun jaring kehidupan dan alam adalah jaring itu; kita hanyalah untaian di dalamnya. Apa pun yang kita lakukan pada alam, kita sebetulnya melakukannya pada diri kita sendiri. Menjaga dan melestarikan bumi tidak semata-mata tugas yang diturunkan dari leluhur kita, tetapi karena kita “meminjam” bumi ini dari generasi anak-cucu kita. Hormati, akui, dan pahami masyarakat adat, agar kita mampu menyelami makna melindungi alam yang sebenarnya.

***