Baru-baru ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), mengimbau perusahaan yang memanfaatkan ruang laut untuk segera mengurus Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Sebagai contoh, KKP sendiri telah menerbitkan empat dokumen PKKPRL bagi tiga pelaku usaha di Sulawesi Tenggara dengan capaian Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp6,36 miliar.
Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono juga menegaskan bahwa penerbitan PKKPRL adalah untuk menjamin ketaatan badan usaha, termasuk perusahaan hasil tambang, terhadap rencana tata ruang laut atau zonasi laut, juga untuk memperhatikan kelestarian ekosistem pesisir dan geomorfologi laut, pelindungan dan pelestarian biota laut dan situs budaya. Hal lainnya adalah untuk menjamin proses distribusi hasil tambang dilakukan dengan aman dan tidak sampai mencemari laut.
PKKPRL Harus Dibarengi dengan Kewajiban AMDAL dan Konsistensi Antar Regulasi
Pemerintah harus banyak belajar dari kasus tambang emas di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, yang menjadi “bulan-bulanan” perusahaan tambang, PT. Tambang Mas Sangihe (PT. TMS). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, termasuk dalam kategori pulau-pulau kecil (dengan luas di bawah 2.000 km²). KORAL juga menegaskan dalam beberapa artikel di laman www.koral.info (keyword: Sangihe) bahwa sebagai sebuah pulau kecil dengan aktivitas penambangan, besar kemungkinan akan menimbulkan kerugian dalam berbagai cara, termasuk kerusakan lingkungan, polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan berkurangnya ruang hidup bagi masyarakat Sangihe, yang mayoritas bertani dan menangkap ikan.
Terkait AMDAL, warga Kampung Bowone, Binebas, Salurang tidak pernah diundang dalam Konsultasi Publik atau pun Sosialisasi Publik. Padahal baik konsultasi atau pun sosialisasi publik merupakan merupakan bagian penting dari penyusunan AMDAL. Saran dan tanggapan dari masyarakat merupakan referensi untuk menyusun kerangka acuan dan ruang lingkup AMDAL. Masyarakat tidak diikutsertakan dalam wawancara AMDAL. Mereka bahkan juga berhak menjadi Komisi Penilai.
Berkaca dari kasus Sangihe segala tindakan atau aktivitas yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memanfaatkan ruang laut dan sumber daya alam didalamnya akan berimbas bagi masyarakat sekitar. Maka sangat perlu diperhatikan betul-betul aspek keamanan, keberlanjutan, dan kelestarian lingkungan serta adat budaya masyarakat sekitar seperti kepentingan masyarakat dan nelayan tradisional.
Keberadaan PKKPRL diharapkan menjadi salah satu persyaratan wajib yang harus dimiliki bahkan sebelum perusahaan beraktivitas di wilayah ruang laut harus dibarengi dengan analisis dampak lingkungan (AMDAL). Berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa keberadaan AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat terutama mereka yang terkena dampak, pemerhati lingkungan, dan yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan. Masyarakat juga berhak mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal tersebut.
Namun sayangnya, pada perkembangan kebijakan undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu CK) justru melemahkan kemutlakan AMDAL. AMDAL merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan. Terminologi ini melemahkan kemutlakan AMDAL jika dibandingkan pada terminologi awal yang mengatakan AMDAL sebagai dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan.Selain itu pada Perppu CK, peran masyarakat dalam penyusunan amdal justru dipangkas. Jika pada UU Nomor 32 Tahun 2009 selain masyarakat yang terdampak, pemerhati lingkungan, dan yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dilibatkan, tidak pada Perppu CK. Selain itu, ketentuan tentang pemberian informasi yang transparan dan lengkap, serta hak masyarakat untuk mengajukan keberatan atas dokumen amdal juga dihapus dalam UU dan Perpu Cipta Kerja.
Bukan hanya itu, terdapat pasal-pasal yang memberatkan salah satu usaha dalam menjaga lingkungan ini. Misalnya pada Pasal 162 yang dinilai sebagai “pasal karet” karena berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang menolak keberadaan tambang. Hal ini tentunya tidak konsisten. Niat awal penerbitan PKKPRL untuk menjamin ketaatan badan usaha, termasuk perusahaan hasil tambang, terhadap rencana tata ruang laut atau zonasi laut, juga untuk memperhatikan kelestarian ekosistem pesisir, laut, dan masyarakat rasanya masih “lemah” tanpa adanya AMDAL dan kekuatan masyarakat sebagai poros penegakannya. Apakah Pemerintah sadar bahwa inkonsistensi ini justru tumpang susun; bagaimana kemudian antar regulasi tidak saling menyokong satu sama lain. Apakah kemudian betul-betul murni niatan menjaga lingkungan atau hanya untuk melanggengkan agenda peningkatan pemasukan negara saja? KORAL sisakan ruang bagi pembaca untuk menilai dan Pemerintah untuk berefleksi.
***