ABK MIGRAN DAN KASUS KEKERASAN BERBASIS RAS DITENGAH LAUT

Indonesia turut menyumbang tenaga pekerja migran bagi beberapa negara. Negara-negara seperti China, Korea Selatan, Spanyol, dan negara-negara di Asia Tenggara menjadi destinasi penyambung nasib bagi para ABK Migran asal Indonesia. Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Indonesia menyumbang 2,2 juta Jiwa yang bekerja sebagai awak kapal perikanan (AKP). Namun sayangnya, tidak semua negara menjadi tempat kerja yang hangat bagi mereka. Kekerasan berbasis ras pun kerap dirasakan para AKP Migran di atas kapal maupun saat mereka berlabuh sementara. 

Kekerasan berbasis ras masuk ke dalam salah satu bentuk modern slavery atau perbudakan modern. Menurut buku Migrant Workers’ Rights – A Handbook yang dikeluarkan International Labour Organization atau ILO, modern slavery dalam bentuk diskriminasi ras terjadi  karena faktor-faktor di negara tujuan seperti peningkatkan jumlah pengangguran dan kesempatan kerja yang berujung pada kesulitan ekonomi, ancaman terorisme yang meningkatkan xenophobia (fobia terhadap orang asing). 

Dilansir dari jurnal penelitian yang dikeluarkan oleh Universitas Muhammadiyah Malang, ada beberapa kasus kekerasan berbasis ras yang dirasakan AKP Migran di kapal penangkapan ikan seperti di kapal perikanan Taiwan. Kekerasan atau diskriminasi rasisme ini biasanya terjadi adalah perbedaan hak dasar antara pekerja migran asal Indonesia dengan pekerja asal negara Taiwan. Perbedaan perlakuan ini tentunya berdampak pada pemenuhan hak mereka sehari-hari, seperti jam dan kondisi kerja hingga ke jaminan makanan yang halal dan layak. Diskriminasi ras yang dirasakan juga terkait penyalahgunaan kerentanan (abuse of vulnerability) di mana para AKP Migran yang tidak memiliki basis keahlian bahasa lokal dan berujung pada minimnya pengetahuan akan peraturan lokal ataupun tingginya resiko kesalahan kerja karena keterbatasan bahasa.  

Trauma yang dialami dan dirasakan bukan hanya secara verbal atau fisik, namun juga trauma psikologis yang akan bertahan lama. Menurut tinjauan Racism as a Determinant of Health: A Systematic Review and Meta-Analysis (2015), menunjukkan bahwa tindakan rasisme dapat mempengaruhi kesehatan mental yang berujung pada depresi, kegelisahan karena rasa tidak aman/ nyaman, gangguan stres pasca-trauma (PTSD) seperti flashback atau kilas balik, mimpi buruk, sakit kepala, palpitasi jantung, penyalahgunaan obat dan pikiran untuk bunuh diri. Bahkan tidak jarang, trauma ini berlanjut ke generasi berikutnya. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa trauma historis dari institusi rasis seperti perbudakan dapat berdampak pada generasi mendatang.

Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Internasional – Tingkatkan Kerjasama Antar Negara, Perkuat Hukum, dan Wadah Pengaduan 

Awak kapal perikanan (AKP) sedang bekerja di sebuah kapal perikanan berbendera Taiwan. Foto : istimewa/Greenpeace

Menurut Konstitusi ILO 1919 yang diperjelas dalam Deklarasi Philadelphia 1944, dinyatakan prinsip bahwa pekerja bukan komoditas dan “..semua manusia, tanpa memandang ras, kepercayaan, atau jenis kelamin, memiliki hak untuk memperoleh kesejahteraan material dan pembangunan spiritual mereka, dalam kondisi kebebasan dan martabat, keamanan ekonomi dan kesempatan yang setara.” Maka dari itu pemutusan rantai kekerasan berbasis ras di kalangan AKP Migran bukan hal yang mustahil dan wajib diusahakan.

Beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan adalah:

  1. Mendorong terbentuknya tata kelola dan standar norma yang diberlakukan secara  regional dan internasional terkait diskriminasi ras. Standar dan tata kelola tersebut harus memastikan perlindungan AKP Migran yang bekerja di negara lain selain negara asal tidak akan mendapatkan tindak diskriminasi ras dalam bentuk apapun, baik verbal, non-verbal, fisik, dan psikis. Pemerintah dapat mengacu pada regulasi dan standar internasional yang tertuang pada Konvensi ILO Nomor 188 (ILO C-188), Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD, 1965), Kovenan Internasional Mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 (ICCPR) Kovenan Internasional Mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 (ICCPR), dan Deklarasi Durban dan Program Aksi yang diadopsi pada Konferensi Dunia menentang Rasisme, Diskriminasi Rasial, Xenofobia dan Ketidaktoleranan yang Terkait (2001).
  2. Meningkatkan penertiban dan pengawasan akan negara tujuan dan kapal penampung AKP Migran dengan memastikan jaminan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar AKP. Bagi mereka yang terbukti melanggar, hukuman yang diberlakukan pun harus mampu memberikan efek jera yaitu selain denda dan hukuman pidana, pencabutan izin usaha dan masuk daftar hitam untuk kemudian dilarang mempekerjakan AKP Migran asal Indonesia dalam kurun waktu tertentu juga diperlukan.
  3. Baik manning agency maupun negara penampung juga diwajibkan untuk menyediakan sarana untuk mempersempit jurang diskriminasi dan miskomunikasi seperti edukasi hak dan kewajiban, pelatihan bahasa, dan memberikan buku panduan kerja sesuai dengan menggunakan bahasa ibu AKP tentang hal-hal teknis terkait pekerjaan yang dilakukan sehari-hari di atas kapal hingga ke situasi-situasi tertentu. 
  4. Mengadakan mekanisme pelaporan dan perlindungan bagi kasus diskriminasi ras. Selain itu, Pemerintah juga wajib meningkatkan kemampuan staf pengawas dalam mengidentifikasi kasus rasisme dan memahami mekanisme dan peraturan terkait. 

Berlandaskan semangat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, setiap manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Di tahun 2023 ini, KORAL berharap diskriminasi ras di tengah-tengah awak kapal perikanan tidak akan lagi terjadi. 

***