Dilansir dari laman resmi United Nations, Hari Laut Sedunia awalnya dicetuskan pada 8 Juni 1992 di Rio de Janeiro dalam Forum Global saat Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan dan pembangunan (UNCED). Lalu 16 tahun kemudian, yaitu tepatnya pada tahun 2008, PBB menetapkan tanggal 8 Juni sebagai Hari Laut Sedunia.
Jika dilihat dari tujuannya, perayaan Hari Laut Sedunia memiliki 2 tujuan utama yaitu yang pertama adalah untuk mengajak setiap orang lebih peduli dan memahami terkait peran utama laut dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang sudah KORAL ulas di beberapa artikel, laut merupakan bagian penting dari Bumi yang menjadi sumber oksigen, penyerapan karbon, lumbung sumber daya kaya protein, sumber obat-obatan, dan juga memainkan peran dalam menjaga keseimbangan iklim Bumi.
Sementara tujuan kedua adalah untuk sama-sama menyebarluaskan dampak aktivitas manusia di laut dan menggerakan semua orang untuk mengelola dan menyelamatkan laut. Sebab laut memang dalam keadaan sekarat. Mulai dari polusi plastik dan mikroplastik yang sudah lama mengambang bebas hingga masuk ke badan hewan-hewan laut, hasil limbah industri seperti limbah tambang nikel yang dialirkan ke sungai dan bermuara di laut hingga penambangan pasir yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar.
Pencemaran Mikroplastik – Butuh Kolaborasi Kolektif di Berbagai Lini Regulasi
Dalam semangat Hari Laut Sedunia, KORAL ingin mengajak semua Sobat KORAL untuk turut menyelamatkan laut dari kebinasaan. Hal pertama yang dapat kita lakukan adalah meminimalisir penggunaan bahan-bahan sekali pakai seperti plastik kemasan di kehidupan kita sehari-hari. Hasil studi terhadap 192 negara pesisir pada tahun 2010 melaporkan Indonesia sebagai penghasil sampah plastik ke laut kedua terbesar di dunia. Sementara negara lain dengan populasi penduduk di pesisir sama besarnya, seperti India, ada di urutan ke 12. Sesuai dengan laporan dari United Nations (UN) Environment, keberadaan limbah plastik dan styrofoam terbukti mencemari tanah dan air, menyumbat saluran air dan memperburuk bencana alam, hingga diperkirakan pada tahun 2050 sebanyak 99% burung laut sudah menelan plastik.
Di saat bersamaan, kita juga harus mendukung dan mendorong Pemerintah untuk senantiasa meningkatkan daya upaya dalam menghilangkan penggunaan plastik dan styrofoam. Ada beberapa cara yang dapat Pemerintah lakukan yaitu:
- Membuat instrumen peraturan larangan plastik sekali pakai dan styrofoam
- Instrumen ekonomi seperti retribusi pada pemasok, retribusi pada pengecer, dan retribusi pada konsumen
- Kombinasi regulasi dan instrumen ekonomi seperti larangan dan retribusi serta bentuk perpanjangan tanggung jawab dari pihak produsen
- Menghentikan impor plastik. Indonesia masih berada dalam peringkat ke-7, negara yang mengimpor sampah sebanyak lebih dari 233 juta kilogram sampah di tahun 2020. Ada sebanyak 10 negara pengekspor sampah terbanyak di dunia, secara berurutan, adalah Jerman, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Belgia, Prancis, Italia, Slovenia, dan Austria. Mayoritas adalah negara-negara Eropa.
Ini artinya Pemerintah dari seluruh Kementerian terkait dan Pemerintah Daerah harus saling berkolaborasi mewujudkan Indonesia bebas plastik dan styrofoam. Seharusnya dengan dana dan kemampuan armada yang lebih besar milik Pemerintah, dampak pemberantasan limbah plastik di pesisir bisa jauh lebih besar dari kegiatan sukarelawan lima pemuda hebat – Pandawara Group, yang berhasil membersihkan pantai terkotor nomor 1 di Indonesia, yaitu Pantai Labuan di Desa Teluk.
Diancam Nikel, Diperburuk Tambang Pasir
Bentuk pencemaran lainnya adalah hasil tambang. Ada banyak kasus terkait hasil tambang dan limbah yang mencemari laut. Untuk kasus pertambangan, laut Indonesia masih terancam tambang nikel yang membuat laut kita jadi keruh dan tercemar. Seperti yang terjadi di salah satu wilayah di Kabupaten Konawe Kepulauan, tepatnya di Wawonii Tenggara. PT Gema Kreasi Perdana menambang nikel di sekitar lokasi terdampak dan mencemari lingkungan pesisir dan perairan. Dilansir dari Republika, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan terdapat 5 desa yang terdampak keruhnya perairan laut tersebut adalah Desa Sukarela Jaya, Dompo-dompo, Roko-roko, Bahaba dan Teparoko. Padahal mayoritas penduduk desa bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani.
Menurut Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif Wilayah WALHI Sulawesi Selatan menjelaskan, saat ini 52% cadangan nikel dunia berada di Indonesia. Hal ini mendorong pemerintah menggenjot produksi nikel untuk mobil listrik. “Pemerintah seharusnya mempertimbangkan baik-baik apakah ingin mewujudkan ambisinya menjadi negara penghasil nikel terbesar atau ingin melindungi ruang hidup rakyat. Bayangkan saja, saat ini Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Sulawesi seluas 690.442 ha yang masuk dalam kawasan esensial. Padahal, pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) justru telah melepas kawasan hutan seluas 48.821,98 hektare menjadi kawasan pertambangan melalui IPPKH untuk 74 perusahaan,” jelasnya.
Ia juga menambahkan, kondisi eksisting wilayah IUP nikel di Pulau Sulawesi terdiri dari 87.556 ha di Sulawesi Selatan, 92.604 ha di Sulawesi Tengah, dan 510.282 ha di Sulawesi Tenggara. “Khusus Sulawesi Selatan, ada 7 perusahaan nikel yang sudah mendapatkan IUP. Akibatnya terjadi pencemaran dan sedimentasi yang sangat parah di Danau Mahalona, sungai, pesisir, laut, dan Pulau Mori di Luwu Timur,” tambahnya.
Kejadian serupa juga pernah terjadi di Kolaka, Sulawesi Tenggara tahun 2011 dan di Perairan Teluk Basamuk, Papua Nugini, berubah warna karena tercemar limbah tambang nikel perusahaan milik China di tahun 2019 (lihat gambar bawah).
Banyaknya bentuk pencemaran karena tambang nikel seharusnya tidak sulit untuk dilihat dengan mata telanjang. Bagaimana kemudian laut dan pesisir yang seharusnya biru dan jernih, berubah menjadi merah dan keruh. Apakah kemudian mata Pemerintah dibutakan oleh fakta bahwa Indonesia kini menjadi pemasok bahan baku industri global, sehingga mengenyampingkan kesejahteraan dan keselamatan rakyat.
Belum juga polemik tambang nikel selesai. Pemerintah membuat ulah baru dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, PP ini beresiko mengaburkan kegiatan penambangan laut seolah-olah menjadi kegiatan untuk menyelamatkan ekosistem dan pelayaran. Padahal terdapat fakta bahwa tidak semua sedimentasi di laut itu buruk. Beberapa sedimentasi justru membantu pengakaran mangrove dan padang lamun sehingga kedua vegetasi itu dapat tumbuh dan ‘melekat’ dengan sempurna.
Justru yang seharusnya Pemerintah tindak adalah bentuk sedimentasi tidak wajar yang buruk untuk lingkungan seperti misalnya hasil sedimentasi yang terjadi karena adanya kegiatan pertambangan di hulu yang dibuang dan dilarungkan ke laut atau sampah-sampah dari daratan yang terendap di sungai lalu larung ke laut dan menyebabkan pencemaran mikroplastik yang berdampak bagi hewan-hewan laut hingga peningkatan kadar timbal seperti di Papua.
Pemerintah Perlu ‘Cangkok’ Mata dan Hati
Rasanya tepat ungkapan KORAL diatas dimana Pemerintah dirasa perlu melakukan cangkok mata dan hati karena entah kenapa, selama beberapa tahun belakangan ini, degradasi kualitas lingkungan, termasuk perairan dan pesisir, justru semakin jelas terlihat namun Pemerintah seolah-olah buta dan sudah keracunan rasa maruk, sehingga membiarkan itu semua terjadi. Alih-alih membereskannya, Pemerintah justru malah menambah daftar kerusakan dengan sejumlah proyek nasional dan peraturan yang bersifat tinggi resiko destruktif dan eksploitatif bagi laut.
Larut oleh rasa jumawa, Pemerintah lupa, manusia sangat amat bergantung pada alam yang sehat untuk kelanjutan kehidupan umat manusia di masa mendatang. Regulasi PP 26/2023, IUP, dan proyek nasional seperti penangkapan ikan terukur yang memiliki hidden agenda dan celah eksploitasi legal ini justru menjadikan laut sebagai ladang maut. Bukan hanya sumberdaya ikan dan keragaman biodiversitas laut saja yang akan mati, manusia hanya tinggal menunggu kiamat yang dibuat oleh ulahnya sendiri.
***