DALAM DIAM MENGINTAI: ANCAMAN PRIVATISASI DALAM PERPPU CIPTA KERJA

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah dirilis di akhir tahun 2022. Peraturan yang sering disingkat Perppu CK tersebut menghadirkan ancaman yang mengintai dalam diam: privatisasi dalam sektor kelautan dan perikanan. 

Privatisasi Dimuluskan Perppu Cipta Kerja, Dirayakan Oligarki

Privatisasi perikanan ini terlihat dari beberapa poin yaitu investasi dan industrialisasi sektor perikanan yang dibuka bagi pihak pengusaha perikanan bahkan investor asing dengan harapan adanya pertumbuhan ekonomi sebesar 3-4 persen seperti yang disampaikan oleh Direktur Usaha dan Investasi Ditjen PDSPKP Catur Sarwanto, dalam Webinar Peluang Investasi Usaha Kelautan dan Perikanan pada tahun 2022 lalu (Liputan6, 22 Januari 2022). 

Padahal posisi nelayan kecil Indonesia masih belum sejahtera di kandang sendiri, apalagi jika kemudian harus bersaing dengan industri besar dan kapal ikan asing di wilayah perairan nenek moyang mereka. Apalagi fakta di mana Perppu Cipta Kerja yang menghapus skala ukuran kapal dalam definisi nelayan kecil yang justru mengucilkan nelayan. 

Hal ini menjadi ancaman bagi nelayan kecil karena dengan adanya penghapusan tersebut, mengaburkan kejelasan definitif mutlak berdasarkan angka yang dapat diukur dan menjadi celah bagi nelayan yang seharusnya bukan termasuk ke dalam golongan nelayan kecil untuk:

  1. Tidak melakukan atau menghindari kewajiban mematuhi ketentuan mengenai sistem pemantauan Kapal Perikanan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2).
  2. Tidak melakukan atau menghindari kewajiban memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah serta kewajiban membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan (3).

Bukan cuma itu, Perppu Cipta Kerja juga mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam Pasal 18 tersebut, disisipkan Pasal 17A yang memberikan kekuasaan mutlak kepada Pemerintah Pusat untuk mengubah alokasi ruang laut dalam rencana tata ruang untuk mengakomodasi “Kebijakan Nasional yang bersifat strategis”. Sehingga tidak kecil kemungkinan bahwa privatisasi sektor perikanan akan dikuasai oleh kaum-kaum oligarki dan asing. 

Perppu Cipta Kerja juga memberikan keabsahan skema Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), PIT akan diimplementasikan dengan pembagian 11 wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) dan pelelangan kuota melalui ketentuan kontrak penangkapan ikan yang mengikat selama 20 tahun. Nantinya akan ada setidaknya tujuh WPP yang dibuka untuk penangkapan komersial yang membuka gerbang bagi industri perikanan besar dan Kapal ikan asing beroperasi di dalam wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI). KORAL juga sudah pernah membuat Kertas Kerja membahas PIT yang membahas mengenai zona konservasi yang turut terancam akibat industrialisasi ekstraktif dan privatisasi (Baca: RINGKASAN EKSEKUTIF – Kertas Kerja Terhadap Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur)

Masih Yakin Perppu Cipta Kerja Adil bagi Nelayan Kecil?

Selama bulan Januari kemarin hingga sekarang, narasi dan sentimen positif coba diutarakan berulang kali oleh KKP. Namun nyatanya masih banyak noda hitam dan celah di Perppu Cipta Kerja yang justru berakibat fatal bagi nelayan kecil dan masyarakat pesisir. Privatisasi ini akan memperlebar jurang ketimpangan ekonomi di wilayah pesisir dan tidak kecil kemungkinannya akan mengabaikan atau menggerus nilai-nilai adat dan tradisi masyarakat pesisir. Padahal seperti yang kita tahu, banyak adat dan tradisi masyarakat pesisir yang justru merawat dan melestarikan laut.

Privatisasi karena Perppu CK di sektor kelautan dan perikanan bukan hanya memuluskan jalan keuntungan kaum oligarki dan masuknya pihak asing ke wilayah pengelolaan perikanan kita, tetapi juga bukti kegagalan pemerintah dalam komitmennya menjaga kelestarian dan keberlanjutan wilayah laut dan pesisir demi keuntungan materiil dan memicu degradasi lingkungan yang berdampak lebih panjang dari kontrak 20 tahun itu. Ada baiknya Pemerintah merefleksikan kembali untuk tidak main ambil jalan pintas, memuluskan agenda yang sempat terhenti karena Mahkamah Konstitusi. 

***