Dilansir dari Antara News, saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan evaluasi perizinan berusaha perikanan menjelang dijalankannya kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Program ekonomi biru PIT dijadwalkan mulai berlaku pada awal tahun 2024. Seperti diketahui, kebijakan PIT berbasis kuota ini diatur dalam regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan PP Nomor 11/2023 (BACA: Penangkapan Ikan Terukur Sistem Kuota Perizinan Khusus: Apa Landasannya?)
PIT sendiri sudah terdengar sejak tahun 2022 dengan semua wacana dan narasi yang menginformasikan tentang keuntungan dari program ini. Selama itu pula, PIT menerima banyak kritikan atau kontra dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk KORAL (BACA: Press Release: Penangkapan Ikan Terukur Versi KKP Sarat Masalah, KORAL Tegaskan Kembali Penolakan). Mengapa kemudian PIT menerima banyak kritik di tengah-tengah narasi positif yang disebarkan melalui media?
PIT Banyak Syarat, Sarat Kerancuan dan Eksploitasi
Ada beberapa syarat terkait regulasi ini yang dikenakan kepada para pelaku usaha terkait perikanan. Dalam Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Nomor B.1569/MEN-KP/X/2023 tentang Tahapan Pelaksanaan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) pada Tahun 2023, yang dirilis 2 Oktober 2023, terdapat tujuh tahapan persiapan menjelang penerapan PIT secara penuh pada musim penangkapan ikan tahun 2024 (Kompas, 2023). Salah satu tahapan awalnya adalah perizinan penangkapan ikan mulai dari Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Perizinan Berusaha Sub-Sektor Penangkapan Ikan (SIPI), hingga Perizinan Berusaha Sub-Sektor Pengangkutan Ikan (SIKPI) dimana permohonan dan layanan sertifikat kuota penangkapan ikan, serta perizinan berusaha subsektor penangkapan dan pengangkutan ikan untuk tahun 2024 dilaksanakan mulai 21 November sampai dengan 29 Desember 2023. Layanan perizinan terbagi atas perizinan dengan kewenangan pemerintah daerah dan pusat. Selain itu, seluruh kapal penangkapan ikan dengan bobot diatas 5 gross tonnage (GT) diwajibkan menggunakan aplikasi e-PIT paling lambat 1 Januari 2024. Ada pula kewajiban memasang dan mengaktifkan transmitter sistem pemantauan kapal perikanan (SPKP) selama kegiatan perikanan dilakukan.
Dengan begitu banyaknya syarat, maka kedua belah pihak – Pemerintah dan Pelaku Usaha terkait, harus saling bersiap diri menjelang pemberlakuan PIT. Padahal masih ada beberapa alasan yang membuat PIT menjadi program yang beresiko tinggi dan perlu perhatian lebih. Alasan pertama adalah PIT sarat resiko eksploitasi laut melalui investasi dengan kedok perikanan berkelanjutan. Menurut salah satu anggota koalisi KORAL, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), penerbitan PP PIT harus mengikuti Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 19 Tahun 2022 dan melalui proses uji coba ilmiah. Hal ini dikarenakan pada dasarnya, potensi sumber daya ikan dan tingkat pemanfaatan di sebagian besar wilayah pengelolaan perikanan (WPP) menunjukkan status penuh dan terlalu dieksploitasi.
Alasan kedua adalah kesiapan nelayan sebagai pihak yang paling terpengaruh. Kebijakan PIT ini akan memberlakukan kuota penangkapan ikan yang terbagi menjadi beberapa grup yaitu kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota kegiatan non-komersial. Perlu digarisbawahi, kuota industri ini diberikan untuk perseorangan dan badan usaha yang berbadan hukum, termasuk peluang kuota penangkapan ikan bagi usaha penanaman modal asing.
Dengan adanya sejumlah perubahan perizinan dan pelaporan tentunya akan berimbas pada aktivitas penangkapan ikan dan pelaporan hasil tangkapan (terkait penghasilan negara bukan pajak/ PNBP Pasca Produksi) yang harus dilakukan oleh para pelaku usaha perikanan. Salah satu organisasi nelayan, Front Nelayan Bersatu (FNB) meminta KKP untuk mengkaji ulang PIT. Hal ini dikarenakan pencatatan ikan di pelabuhan untuk kapal dengan PNBP Pasca Produksi seringkali berbeda antara petugas KKP dan pelaku usaha (Inilah,com, 2023). Koordinator Umum FNB, Kajidin, mengatakan bahwa pelaku usaha yang tidak melaporkan hasil evaluasi mandiri sesuai batas waktu yang ditentukan akan berujung pada tidak diterbitkannya Standar Laik Operasi dan Persetujuan Berlayar (PB) serta dibekukannya akun aplikasi e-PIT.
Selain itu, salah satu ketentuan PIT lainnya adalah pemantauan kapal perikanan melalui vessel monitoring system atau transmitter sistem pemantauan kapal perikanan (SPKP) selama kegiatan perikanan dilakukan. Nantinya, kapal perikanan yang belum memenuhi syarat untuk memasang dan mengaktifkan transmitter SPKP karena tidak memiliki perizinan berusaha atau persetujuan Gubernur diberi waktu satu tahun sejak PP ini diundangkan. Nelayan kecil tidak diwajibkan untuk memasang SPKP. Namun, kerancuan definisi nelayan kecil dalam PP No.11/2023 masih belum dituntaskan. Definisi ini belum jelas; apakah kategorinya didasarkan pada jumlah ikan yang ditangkap setiap hari atau ukuran GT kapal penangkap ikan.
Alasan ketiga adalah kesiapan pemantauan dan pengendalian mulai dari pengeluaran izin, pemantauan, dan pengendalian kegiatan penangkapan ikan sesuai dengan kuota, pelaporan kuota hasil penangkapan, pelaporan PNBP Pasca-Produksi yang harus transparan hingga ke pendataan jumlah kuota stok ikan sehat yang dikomparasi saat sebelum PIT dilakukan, saat diberlakukan, dan pasca diberlakukan selama kurun waktu tertentu. Tugas Pemerintah tidak sedikit. Yakinkah Pemerintah mampu bersikap adil dan profesional, efektif dan optimal saat menggelar kebijakan ini? Selama ini pekerjaan rumah terkait penindakan penangkapan kapal ikan yang beraktifitas secara ilegal saja masih belum maksimal dan kewalahan.
Jangan sampai PIT hanya menjadi ‘tameng’ eksploitasi berkedok keberlanjutan yang justru mencuri hak kesejahteraan nelayan dan masa depan laut Indonesia yang sehat. Terlebih, PIT jangan sampai menjadi produk kebijakan yang tidak terkontrol dan tidak terkendali.
***