Momentum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-42 di tahun 2023 ini agaknya menjadi momentum yang pas bagi para Pemimpin ASEAN untuk merundingkan isu yang masih belum selesai hingga sekarang. Tidak lain dan tidak bukan adalah konflik Laut China Selatan (LCS) dengan negara China (BACA: Konflik Laut Masih Berlarut-larut: 2023 Menjadi Tahun Krusial).
LCS sudah lama menjadi isu konflik yang masih belum terpecahkan. Bukan hanya menyeret Indonesia dan China, namun konflik batas negara di LCS juga menarik negara-negara perbatasan lainnya seperti Singapura, Vietnam, dan Thailand. Hal ini dikarenakan China mengklaim bahwa Laut Natuna Utara milik Indonesia masuk ke dalam wilayah kekuasaannya berdasarkan klaim Nine-Dash Line (Sembilan Garis Putus-Putus). Padahal, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag menemukan sembilan garis putus-putus tidak memiliki dasar hukum pada tahun 2016 dan The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) sudah mengakui zona ekonomi eksklusif tersebut sebagai Laut Natuna Utara pada 2017. Negara China juga tercatat sebagai negara yang ikut menandatangani UNCLOS 1982.
Konflik Laut Bisa Berujung Peperangan
Konflik di LCS tidak bisa dianggap remeh. Apalagi dengan fakta yang terungkap adanya sikap intimidatif dari China di awal tahun 2023 yang lalu. Pada waktu itu, aktivitas kapal China di Natuna Utara sudah masuk dalam pengamatan melalui Automatic Identification System (AIS) oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI). Keberadaan kapal Penjaga Laut China di Natuna berlayar di dekat ladang gas Blok Tuna di Laut Natuna yang bernilai investasi dengan total U$ 3 Miliar atau setara dengan Rp 45 Triliun. Peneliti IOJI, Imam Prakoso mengatakan bahwa kegiatan kapal China sudah terjadi sejak 2021. Sementara pada September 2022, Kapal Penjaga Laut China kedapatan berlayar di perairan Natuna dan melakukan intimidasi kepada nelayan lokal (Tempo, 15 September 2022). Menurut Dedi, seorang Nelayan asal Natuna, kapalnya dihadang oleh Kapal Penjaga Laut China dan kapal tersebut juga mengelilingi kapal ikan miliknya.
Dampak besar lainnya adalah konflik yang memicu peperangan. Bukan tanpa sebab, hal ini ditakutkan akan terjadi karena China sudah mengirimkan kapal China Coast Guard atau CCG 5901 yang terkenal mengalahkan kebesaran kapal cruiser kelas Ticonderoga milik Angkatan Laut Amerika Serikat, bahkan kapal penghancur rudal Arleigh Burke AS. Hal ini berujung pada pengiriman armada kapal perang, pesawat patroli, dan drone milik TNI Angkatan Laut Republik Indonesia ke atas Laut Natuna Utara.
Code of Conduct: Poin Krusial yang Harus Disegerakan
Kementerian Pertahanan Singapura pernah menghimbau pentingnya penyelesaian konflik LCS ini. Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen mengatakan, negara-negara di kawasan perlu memperbarui komitmen kolektif untuk menjaga tatanan berdasar aturan. Pembaruan diperlukan pula untuk memandu interaksi maritim. Tatanan aturan itu adalah Code of Conduct (CoC).
Sudah sejak tahun 2002, CoC antara ASEAN dan China dirundingkan dan hingga 20 tahun masih belum ada kesepakatan. Negara-negara di ASEAN sendiri sebenarnya sudah berkomitmen untuk terus mendorong penerapan CoC LCS ini. Maka momentum Indonesia sebagai Ketua KTT ASEAN dapat menjadi wadah yang pas untuk kembali menyuarakan dan membahas perihal isu konflik LCS sehingga dapat dilakukan percepatan penyepakatan CoC ASEAN dan China.
Perlu adanya komunikasi dan koordinasi yang erat antar negara ASEAN untuk solid
dan seirama dalam menyelesaikan konflik ini. Apalagi karena adanya perbedaan pemahaman dan konsep CoC antara ASEAN dan China. Beberapa diantaranya adalah:
- ASEAN menginginkan CoC sebagai sebuah perjanjian yang mengikat sehingga memiliki kekuatan untuk memastikan kepatuhan dari pihak-pihak terkait. Lain halnya dengan China yang bersikeras agar CoC menjadi dokumen yang tidak mengikat. Hal ini membuat posisi CoC ditakutkan hanya menjadi simbol belaka, tanpa adanya kekuatan yang mengatur dan mengikat.
- Menurut ASEAN, ruang lingkup CoC diharapkan luas dan mencakup isu seperti hak negara pantai, mekanisme penyelesaian sengketa, dan kebebasan navigasi. Sementara China lebih ingin perjanjian yang sempit dan fokus pada pencegahan insiden dan pengelolaan krisis.
- Negara-negara ASEAN sepakat CoC dapat ditegakkan berdasarkan hukum internasional. Tiongkok bersikeras bahwa CoC adalah dokumen yang tidak mengikat yang tidak tunduk pada pengadilan arbitrase internasional.
Memang keberadaan CoC belum tentu menghadirkan tanda titik pada rangkaian konflik LCS yang mengaitkan banyak pihak. Namun setidaknya keberadaan CoC bisa menjadi lembaran baru yang mengikat semua pihak untuk turut mengakui dan menaati peraturan yang ada sehingga meminimalisir ketegangan dan konflik berkelanjutan yang merugikan semua pihak.
***