POTRET KERAWANAN KERJA PELAUT PERIKANAN DI KAPAL ASING: TINJAUAN HUKUM, HAM, DAN KELEMBAGAAN – PART 2

Wahyungki Saputra (kedua dari kiri) dan Zulham Afandi (keempat dari kiri) bersama rekan-rekan PMI PP lainnya ketika berada di kapal penangkap cumi dari Cina Ning Tai 95. Foto: Zulham

Pekerja Migran Indonesia Pelaut Perikanan (PMI PP) masih menghadapi persoalan rumit yang mengancam keselamatan dan kesejahteraan mereka. Dalam artikel koalisi yang lalu, permasalahan yang dibahas adalah yang terjadi di sisi internasional, nasional, dan regional. Akar permasalahan lain yang masih belum mampu diselesaikan adalah adanya tumpang tindih kewenangan dan kelembagaan pelindungan PMI Pelaut Perikanan dan ketimpangan relasi kuasa (imbalance power relation) antara PMI PP dengan Pemberi Kerja. Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) merangkum empat permasalahan terkait tumpang tindih kewenangan yaitu:

  1. Pendekatan multi-institusi UU 18/ 2017 dan koordinasi antar instansi yang belum berjalan optimal berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan program perlindungan PMI PP yang tidak terpadu.
  2. Tumpang tindih kewenangan perizinan dan pengawasan PMI PP berimplikasi pada tidak adanya data penempatan PMI PP yang terintegrasi, standar pelindungan PMI PP yang berbeda, dan tidak efektifnya penanganan keluhan untuk memenuhi hak PMI PP.
  3. Lemahnya pemantauan dan pengawasan terhadap PMI PP baik oleh pengawasan PMI PP baik oleh pengawas ketenagakerjaan di dalam negeri maupun oleh Perwakilan RI di negara tujuan penempatan. 
  4. Keberadaan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) belum berfungsi efektif sesuai dengan intensi pembentukannya.

IOJI memberikan beberapa rekomendasi bagi penguatan fungsi kelembagaan dan koordinasi lintas Kementerian dan atau Lembaga untuk meningkatkan efektifitas pelindungan PMI PP, yaitu:

  1. Melakukan optimalisasi sistem informasi terpadu pelindungan PMI lintas Kementerian/Lembaga/Daerah (K/L/D) dan rapat terpadu antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Desa, serta masyarakat sipil.
  2. Presiden membentuk Satuan Tugas Pelindungan PMI, termasuk PMI PP yang beranggotakan K/L/D terkait dan masyarakat sipil dan dipimpin oleh Kementerian Koordinator terkait.
  3. Kementerian Ketenagakerjaan RI dan Kementerian Luar Negeri RI perlu membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan negara-negara tujuan penempatan yang memiliki Distant Water Fishing Fleets (DFWs) dalam jumlah besar, seperti Taiwan, Tiongkok, dan Spanyol.
  4. Perwakilan RI di negara tujuan dan Kementerian Ketenagakerjaan RI mengefektifkan pengawasan pelindungan dan pemenuhan hak-hak PMI PP sebelum, selama, dan setelah bekerja. Hal ini dapat diimplementasikan melalui empat cara yaitu: 
  1. Membuat SOP mekanisme penetapan dan pengumuman daftar pemberi kerja/ mitra usaha yang bermasalah.
  2. Membuat mekanisme pengawasan bersama antara Perwakilan RI dengan flag state inspector dan port state control officer.
  3. Memperluas keberadaan seafarer’s corner dan kemudahan repatriasi. 

Sementara untuk ketimpangan relasi kuasa, dirangkum terdapat tiga permasalahan yaitu:

  1. PMI PP memiliki posisi tawar lebih lemah dari sejak tahap perekrutan hingga penyelesaian sengketa.
  2. Terbatasnya pengetahuan PMI PP mengenai hak-hak yang dimiliki karena minimnya akses terhadap informasi dan edukasi.
  3. PMI PP memiliki kualifikasi kerja yang rendah dibandingkan pekerja dari negara lain meningkatkan tingkat kerentanan terhadap kekerasan. Hal ini berdampak pada ketiadaan keterampilan, skill keselamatan, teknis penangkapan ikan, pengolahan, serta keterampilan lainnya.

Rekomendasi yang diberikan adalah dengan menguatkan posisi tawar PMI PP melalui pengorganisasian, edukasi, dan standarisasi perjanjian kerja. IOJI merekomendasikan lima solusi bagi Pemerintah yaitu:

  1. Mendorong pengorganisasian, pembentukan, dan penguatan serikat PMI PP di dalam dan di luar negeri.
  2. Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) perlu menyusun standar perjanjian kerja laut bagi PMI PP yang mengakomodir prinsip dan standar perjanjian kerja sesuai dengan hukum internasional (soft law dan hard law).
  3. Kementerian Ketenagakerjaan RI, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, dan Pemerintah Daerah bekerja sama dengan masyarakat sipil memberikan pelatihan mengenai hak-hak dasar PMI PP.
  4. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu mempercepat perumusan kurikulum pelatihan PMI PP yang sesuai dengan standar STCFW-F. Hal ini agar lembaga-lembaga penyelenggara pelatihan di Indonesia dapat tersertifikasi sesuai dengan standar internasional dan dapat diakui oleh negara tujuan penempatan.
  5. Kelompok Masyarakat Sipil dan lembaga bantuan hukum perlu mengembangkan program pendampingan untuk pendidikan hak PMI PP dan pendampingan dalam penyelesaian sengketa. 

Memang untuk mengatasi permasalahan PMI PP, Pemerintah harus saling bekerjasama dengan banyak lembaga. Hal ini dikarenakan kompleksitas terkait pekerja migran memang cukup pelik dan dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Padahal, tumpang tindih kewenangan dan kelembagaan menimbulkan beberapa resiko dalam penanganan kasus terkait pelaut perikanan di kapal asing; mulai dari tidak jelasnya wewenang tiap lembaga hingga saling lempar tanggung jawab. Maka dari itu, KORAL berharap, alur, batas, dan area pertanggungjawaban tiap lembaga dan peraturan-peraturan yang berlaku mulai dari pra-keberangkatan, saat masa penugasan, hingga ke pasca pemulangan PMI PP wajib diperjelas dan dikomunikasikan dengan serentak ke tiap stakeholder hingga ke akar rumput agar pencegahan kasus diskriminasi dan kekerasan kepada PMI PP dapat dicegah sejak awal.

***

Sumber Utama: Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI)