HARI HAM NELAYAN DAN MASYARAKAT SIPIL: HAK NELAYAN DAN MASYARAKAT PESISIR UNTUK HIDUP DAN MELANJUTKAN HIDUP YANG SEJAHTERA, AMAN DAN TENTRAM

Ilustrasi kapal nelayan. Lebih dari 80 persen nelayan Indonesia adalah nelayan kecil dengan tingkat kesejahteraan minim. Foto: Nandang Permana/Humas KKP

Sektor kelautan dan perikanan (KP) menjadi salah satu fokus program utama yang dijalankan Pemerintah. Hal ini dikarenakan industri kelautan dan perikanan merupakan bagian besar dari negara maritim kita yang menyumbang pemasukan negara cukup besar. Per tahun 2022 yang lalu, sektor KP turut menyumbang 1,79 Triliun Rupiah (KKP, 2023). Nelayan pun turut berkontribusi dalam pencapaian PNBP subsektor perikanan tangkap yang mencapai angka 1,26 Triliun Rupiah (KKP, 2023). 

Tanggal 13 Januari ini, Indonesia memperingati Hari HAM Nelayan dan Masyarakat Sipil terkait yaitu mereka yang tinggal dan bekerja di kawasan pesisir dan menggantungkan hidupnya pada hasil laut. Dilansir dari detik.com, momentum ini dirayakan dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan kesejahteraan para nelayan dan masyarakat sipil lainnya yang terkait.  Hari nasional ini diawali sejak pekerja informal di sektor KP mendapatkan perlindungan dari sisi HAM dengan disahkannya Peraturan Menteri (PERMEN) Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 35/PERMEN-KP/2015 tentang Sistem Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan pada tahun 2015. 

PERMEN KP No. 35 Tahun 2015 dibuat dalam rangka mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkeadilan, memberikan manfaat, kepastian hukum, dan sesuai asas pembangunan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam aturan perundang-undangan yang berlaku. PERMEN KP No. 35 Tahun 2015 bertujuan untuk memastikan pengusaha perikanan menghormati HAM para pihak terkait dengan kegiatan Usaha Perikanan termasuk Awak Kapal Perikanan, untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM dan/atau mengatasi dampak pelanggaran HAM yang telah terjadi. Namun sayangnya, tujuan ini masih belum tercapai.

Nyatanya, hak asasi nelayan Indonesia dan masyarakat pesisir masih belum terpenuhi. Guru Besar Ekonomi Sumber Daya Perikanan Universitas Padjadjaran, Zuzy Anna, di tahun 2019 menyebutkan bahwa nelayan adalah profesi paling miskin di Indonesia. Sementara survei dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) terhadap pelaku usaha perikanan di Medan, Semarang, Gresik, Lombok, dan Aceh di tahun 2020 menunjukkan bahwa separuh responden mengalami penurunan pendapatan dan tidak mendapatkan bantuan sosial (Kompas, 2020). Bukan tanpa sebab, begitu banyak faktor penyebab pelanggaran hak asasi nelayan dan masyarakat pesisir yang berujung pada kemiskinan, tingginya resiko bahaya dan ketidaksejahteraan sosial ekonomi. Beberapa pencetusnya adalah susahnya akses BBM, konflik sosial ekonomi dari privatisasi ruang laut, keberadaan industri ekstraktif yang merusak alam.

Nelayan Indonesia nyatanya masih kesulitan dalam mengakses BBM sebagai bahan bakar utama dalam kegiatan perikanan tangkap. Masyarakat pesisir dan nelayan masih harus menempuh jarak yang jauh untuk mendapatkan BBM yang disubsidi dengan ketentuan administrasi yang rumit (BACA: NELAYAN TENGGELAM DALAM PROBLEMATIKA BAHAN BAKAR). 

Bukan hanya itu, nelayan masih harus berjuang untuk melawan konflik sosial ekonomi yang terjadi akibat industri ekstraktif yang terjadi di ruang laut dan pesisir. Misalnya saja privatisasi pulau di perairan Pulau Tengah, Pulau Pari, dan Pulau Sangiang. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat keberadaan kapal cantrang yang merusak ruang produksi nelayan tradisional Masalembu.

Keberadaan industri ekstraktif lainnya yang mengancam hak asasi nelayan dan masyarakat pesisir juga hadir karena aktivitas pertambangan seperti pertambangan pasir di perairan Pulau Kodingareng  atau limbah tambang nikel di Desa Pasi-Pasi, keduanya di Sulawesi Selatan. Masyarakat pesisir dan nelayan di Pulau Kodingareng terkena dampak abrasi dan pendalaman laut akibat tambang pasir yang mengakibatkan gelombang tinggi yang membahayakan nelayan dan menurunnya hasil tangkapan. Sementara nelayan dan masyarakat pesisir di Desa Pasi-Pasi, terkena dampak limbah tambang yaitu pendangkalan di area dermaga dan air menjadi keruh ketika hujan tiba. 

Hak asasi manusia bagi nelayan dan masyarakat pesisir meliputi hak atas kesejahteraan, hak untuk hidup dan mempertahankan hidup, dan rasa aman dan tentram. KORAL berharap, Hari HAM Nelayan dan Masyarakat Sipil bukan sekadar hari nasional “asal lewat” yang dirayakan tiap tahunnya, tetapi betul-betul menjadi momentum refleksi bagi Pemerintah; sudahkah hak asasi nelayan dan masyarakat pesisir diupayakan dengan maksimal ataukah selama ini hanya jadi sekadar narasi pendukung untuk melanggengkan peningkatan ekonomi dengan mengorbankan nelayan?

***