KARTINI LAUT YANG MASIH HIDUP DALAM GELAP – SANG PEREMPUAN NELAYAN

Kembali ke tahun 2020, KORAL pernah mengundang salah satu perempuan nelayan asal Kodingareng, Makassar, pada acara High Level Panel KORAL 2020 di Jakarta (TONTON: KORAL Outlook 2020). Sarinah, perempuan nelayan asal Kodingareng, tampil begitu sederhana dan dengan Bahasa Indonesia yang belum lancar, beliau menceritakan nasib mereka sebagai perempuan nelayan di pesisir yang terkepung tambang pasir milik PT. Boskalis. Aktivitas penambangan pasir itu mencapai kedalaman 30 meter dan merusak ekosistem di sekitarnya. Mulai dari pendalaman dasar laut, rusaknya terumbu karang, hilangnya ikan-ikan karena tidak adanya terumbu karang, hingga permukaan air laut yang mengeruh akibat pasir yang mengapung. Semua ini berujung pada berkurangnya pemasukan nelayan Kodingareng.

Para kepala keluarga yang berprofesi sebagai nelayan pun memutar otak untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga tiap bulannya. Banyak akal dilakukan; pergi berlayar dengan jarak lebih jauh dan lama hingga beralih profesi dan merantau ke kota atau provinsi lain. Hal ini menghadirkan polemik baru di kehidupan rumah tangga mereka. Para perempuan pesisir ini akhirnya turun tangan membantu perekonomian keluarga dengan menjadi nelayan dan mengolah hasil tangkapan menjadi makanan hasil olahan yang dapat dijual dengan harga jual lebih tinggi dibanding hasil tangkapan mentah. Mereka juga lah yang berusaha mengusir pergi kapal penambang pasir PT. Boskalis demi kembalinya kehidupan normal mereka. (BACA: Strategi Perempuan Kodingareng Bertahan Dalam Krisis).

Kisah Sarinah dan Perempuan Nelayan Kodingareng bukan satu-satunya kisah perjuangan nelayan perempuan. Mariam Badaruddin, perempuan 59 tahun asal Nusa Tenggara Timur yang sudah menjadi nelayan selama 50 tahun (Kompas.id, 2022). Sepanjang malam, ia sudah menebar jaring dan memancing ikan untuk dijual paginya. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, Mariam memberdayakan ibu-ibu di Kelurahan Air Mata agar dapat membantu perekonomian rumah tangga mereka. Mariam yang memiliki tiga buah perahu juga menyewakan perahunya untuk sesama nelayan lain yang tidak memiliki perahu. Ia tidak mematok tarif sewa dan hanya membagi hasil tangkapan.

Sudah melaut sejak umur 9 tahun, membuat Mariam merasakan hidup sebagai nelayan lebih dari setengah abad. Seluruh aktivitas dan gelombang hidup yang dirasakan nelayan “pria” juga ia rasakan. Ia juga berhasil menghidupi dan membiayai ke-delapan anaknya hingga lulus sekolah menengah atas sekaligus berkontribusi bagi masyarakat di sekitarnya. 

Sang Kartini Laut yang Masih Hidup Dalam Gelap

Sama seperti sosok Kartini yang berjuang demi haknya sebagai perempuan dan komunitasnya, Mariam dan Sarinah memberikan definisi lebih dari sekadar nelayan; merekalah Kartini Laut masa kini. Peran Sarinah dan Mariam hanyalah dua dari begitu banyak kisah perempuan nelayan lainnya dari seluruh Indonesia. Mereka hadir membawa terang dengan mengambil peran dan kontribusi besar bagi kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir hingga lingkungan ketika Pemerintah tidak menunjukkan wajahnya di tengah-tengah kampung mereka. 

Menurut penelitian dari University of British Columbia, aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan perempuan di tiap tahunnya berkontribusi terhadap 3 juta ton hasil tangkapan ikan dan makanan laut secara global (Sarah Harper et al, 2020). Sementara di Indonesia sendiri, menurut penelitian yang dilakukan di tahun 2016 yang bertajuk “Small-scale Fisheries in Indonesia: Benefits to Households, the Roles of Women, and Opportunities for Improving Livelihoods”, 50% perempuan terlibat sebagai nelayan dan/atau pekerjaan di sektor perikanan lainnya. 

Namun sayangnya, perempuan nelayan hingga saat ini belum diakui keberadaannya sehingga mereka tidak dapat mengakses hak-hak mereka sebagai nelayan seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, pelatihan, serta kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sesuai Undang-Undang No.7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. 

Hak lainnya yang menjadi prioritas sekaligus penanda adanya diskriminasi bagi perempuan nelayan adalah nelayan yang dapat mengakses bantuan dari Pemerintah harus memenuhi syarat bahwasanya nelayan tersebut adalah kepala keluarga sebagaimana tertera dalam kartu keluarga. Sementara itu, tidak semua perempuan nelayan menjadi kepala keluarga. Persyaratan semacam ini dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan nelayan. Banyak perempuan nelayan yang berprofesi sebagai nelayan penangkap ikan ataupun pengolah perikanan tidak diakui negara dan dituliskan sebagai “Ibu Rumah Tangga” dalam kolom profesi di Kartu Tanda Pengenal (KTP) mereka. 

Sempitnya definisi nelayan di berbagai kebijakan membuat para perempuan nelayan kesulitan mendapatkan Kartu Nelayan yang berfungsi sebagai suaka perlindungan bagi mereka. Dari survey yang dilakukan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pada tahun 2017 terungkap bahwa dari 100 perempuan nelayan, hanya 2 orang yang mendapatkan Kartu Nelayan. 

Alhasil, Sarinah, Mariam, dan perempuan nelayan lainnya masih hidup dalam kegelapan; mereka tidak bisa meminta hak-hak mereka kepada Pemerintah dan hidup sebagai sosok yang termarjinalkan, tak peduli berapa besar dan lamanya mereka sudah berkontribusi bagi komunitas, negara, dan lingkungan. Katanya kita sudah hidup abad yang revolusioner. seharusnya Pemerintah sudah lebih progresif dan menyadari adanya keterbelakangan yang dirasakan para perempuan nelayan. Namun, apakah Pemerintah masih terkurung dalam wadah patriarkisme yang mengakar di budaya Indonesia sehingga menjadi ciut dan memilih untuk menutup mata akan kehadiran para Kartini laut sehingga belum ada gebrakan apapun terkait nasib mereka hingga saat ini? 

KORAL berharap Pemerintah dapat memberikan bukti bahwa keadilan bisa diterima siapa saja, tanpa memandang gender semata. Sehingga Pemerintah tidak perlu takut untuk mengakui peran dan profesi perempuan nelayan tahun ini. Selamat Hari Kartini, para perempuan nelayan. Terima kasih atas keringat dan air matamu bagi negeri bahari ini. Semoga perahu kesejahteraanmu berlayar jauh dan teduh. 

***