MENGAWASI SISTEM PEMBAYARAN AWAK KAPAL PENANGKAP IKAN

Para AKP sedang bekerja di sebuah kapal penangkapan ikan.

Pemerintah masih perlu melakukan pengawasan penuh terhadap sistem pengupahan awak kapal penangkap ikan di dalam negeri atau di dalam negeri. Hal ini diperlukan untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan awak kapal penangkap ikan. Bekerja sebagai awak kapal penangkap ikan dikenal berbahaya dan sulit. Sayangnya, pemerintah masih perlu mendapatkan alat untuk memantau upah awak kapal penangkap ikan.

Moh Abdi Suhufan, National Coordinator of Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, menyatakan bahwa temuan studi yang dilakukan oleh organisasinya pada Juni 2022 mengungkapkan bahwa sistem dan upah yang diterima oleh awak kapal penangkap ikan di pelabuhan perikanan laut Nizam Zachman di Jakarta tidak ideal. “Rata-rata upah bulanan awak kapal nelayan sekitar Rp. 900 ribu – 1,3 juta,” kata Abdi. Survei tersebut juga menemukan bahwa majikan membayar 47% awak kapal penangkap ikan kurang dari Rp. 2 juta. Sementara itu, pemerintah telah menetapkan Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta Tahun 2022 sebesar Rp. 4,6 juta per bulan.

Sistem remunerasi awak kapal penangkap ikan dapat dilakukan dengan bagi hasil dan gaji bulanan, sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33/2021. “Umumnya sistem bagi hasil dan gaji harian diterapkan pada kapal penangkap ikan, sedangkan gaji bulanan diterapkan pada kapal penangkap ikan,” jelas Abdi.

Pihaknya menegaskan mekanisme pengupahan dengan sistem bagi hasil tidak memenuhi standar hidup dan prinsip keadilan bagi awak kapal penangkap ikan. Menurut ketentuan pasal 176 ayat 2 Permen KP 33/2021, dalam keadaan yang mengakibatkan tidak adanya penghasilan bersih, pemilik atau operator kapal penangkap ikan wajib membayar kepada semua awak kapal penangkap ikan setengah dari upah minimum provinsi, upah minimum kabupaten, atau upah minimum kabupaten. upah minimum kota untuk setiap bulan. “Berdasarkan ketentuan tersebut, upah minimum awak kapal nelayan Muara Baru seharusnya Rp. 2,3 juta per bulan,” kata Abdi.

Masalahnya, sumber daya manusia atau otoritas perikanan tidak pernah mengawasi sistem pengupahan awak kapal penangkap ikan. Akibatnya, meski sudah diatur dalam peraturan perikanan, aturan tersebut tetap harus dilaksanakan sepenuhnya. “Harus ada Keputusan Bersama Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Ketenagakerjaan yang mengatur standar pengupahan dan hal-hal yang menyangkut pekerja perikanan, khususnya awak kapal penangkap ikan,” kata Abdi.

Imam Trihatmadja, peneliti DFW Indonesia, menambahkan, praktik remunerasi yang berlaku saat ini bagi awak kapal penangkap ikan menunjukkan bahwa para pekerja kurang berminat menjadi awak kapal penangkap ikan domestik. “Mereka yang bekerja sebagai ABK domestik tidak memiliki keterampilan dan merupakan pilihan terakhir,” jelas Imam.

Imam prihatin dengan minimnya ABK di industri perikanan tangkap di dalam negeri. “Karena upah di kapal nelayan jauh lebih tinggi, awak kapal nelayan akan lebih tertarik menjadi pekerja migran.” “Taiwan telah mengeluarkan ketentuan baru bagi awak kapal migran yang tidak berpengalaman untuk dibayar Rp 8,2 juta per bulan,” kata Imam. Indonesia terkenal sebagai pemasok awak kapal penangkap ikan ke negara-negara Asia seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Filipina.

***

Sumber Utama: Destructive Fishing Watch