SAMBUT 2023: URGENSI LAUT INDONESIA YANG BERDAULAT DAN BERKEADILAN

Indonesia merupakan salah satu negara terluas di dunia. Sebagai negara kepulauan, Indonesia “dibentengi” oleh wilayah perairan yang sangat luas. Menilik dari hasil Konvensi Hukum Laut Internasional atau “United Nation Convention on the Law of the Sea” (UNCLOS) pada tanggal 10 Desember 1982, luas wilayah laut Indonesia mencapai 3.257.357 km² yang dihuni lebih kurang 16.771 pulau (KKP, 2020). Indonesia menjadi negara kedua dengan garis pantai terpanjang di dunia.

Laut Indonesia bukan hanya berperan sebagai sumber pangan dan penghasilan bagi banyak sektor, tetapi menjadi bukti nyata kedaulatan Indonesia di mata dunia. Sudah diperjuangkan sejak zaman Indonesia baru merdeka, UNCLOS 1982 akhirnya mengakui konsep Nusantara dengan menetapkan batas negara Indonesia menjadi seperti yang sekarang. Namun, walaupun sudah diakui secara internasional, polemik kedaulatan masih mengancam Indonesia. Terutama daerah perairan yang berhadapan langsung dengan negara lain seperti China dan Vietnam.

Baru-baru ini, pada Pertemuan Teknis ke-16 penetapan batas ZEE antara Indonesia dan Vietnam yang akan diselenggarakan di Hanoi, Vietnam, pada pertengahan Oktober 2022. Indonesia dikabarkan telah memberikan konsesi kepada Vietnam. Perlu diketahui konsesi atau pemberian hak ini berpengaruh pada batas kedaulatan Indonesia. Lalu apa dampaknya bagi masyarakat Indonesia?

Wilayah Kedaulatan di Perairan Dipersempit, Aktivitas Kelautan dan Perikanan Kian Terhimpit

Wilayah kedaulatan memiliki sejumlah keuntungan yang tidak bisa dianggap remeh. Ketika sebuah negara berdaulat pada wilayah perairan, negara tersebut dapat mengatur dan memberdayakan sumber daya alam yang berada di wilayah tersebut. Selain itu, kedaulatan di laut juga menjamin keberlanjutan sumberdaya laut bagi generasi selanjutnya, dan memastikan berjalannya program pembangunan serta rencana program-program Pemerintah lainnya untuk masyarakat kelautan dan perikanan. 

Wilayah kedaulatan NKRI akan memperlancar penyelenggaraan hukum maritim, serta menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatan sumber daya alam dan kekayaan alamnya. Ini artinya, kegiatan kelautan dan perikanan didalamnya akan berlandaskan pada peraturan Pemerintah Indonesia termasuk didalamnya jenis alat tangkap yang diperbolehkan dan kapal-kapal yang diperbolehkan melakukan aktivitas penangkapan ikan. Termasuk juga di dalamnya sanksi yang diterima apabila ada pelanggaran yang terjadi. 

Jika kemudian wilayah kedaulatan Indonesia dipersempit di laut, maka tentunya sejumlah besar area yang berpindah tangan secara kedaulatan, tidak akan lagi dapat dipergunakan untuk keuntungan Indonesia, termasuk di dalamnya segala aktivitas perikanan yang dilakukan oleh Nelayan Indonesia. Nelayan Indonesia sendiri masih dalam belenggu kesulitan mulai dari perubahan iklim, rusaknya bentang alam laut karena aktivitas pertambangan dan illegal, unregulated, unreported fishing (IUUF), hingga mahalnya BBM; kini terancam makin terhimpit dengan makin sempitnya ruang aktivitas mereka jika terjadi konsesi Indonesia ke Vietnam.

Selain itu, pemasukan nelayan yang terancam makin berkurang juga berarti kesejahteraan mereka akan semakin menurun. Apakah kemudian Pemerintah tega, demi dipandang sebagai negara berdaulat yang “bersahabat dengan tetangganya”, mengorbankan kesejahteraan nelayannya yang selama ini menyumbang devisa negara?

Kedaulatan Negara adalah Harga Diri,  Wajib Dipertahankan!

Sudah menjadi pengetahuan bersama, Nelayan asal Vietnam merupakan salah satu pelaku IUUF di perairan Indonesia yang acap kali tertangkap BAKAMLA. Misalnya saja pada Juni 2022, berdasarkan data yang dilansir dari Indonesia Ocean Justice Inetiative (IOJI), illegal fishing Vietnam itu dianggap sebagai tindakan resmi pemerintah Vietnam disebabkan tindakan pengawalan yang dilakukan oleh kapal patroli KN 268. Secara terang-terangan, Pemerintah Vietnam tidak menghormati kedaulatan Indonesia.

Bak mengalah terhadap pencuri, jika kemudian Indonesia memberikan konsesi kepada Vietnam, harga diri Negara tentu dipertaruhkan. Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Tanjungpura, Yulius Yohanes, Vietnam, jelasnya, berupaya mendapatkan keuntungan yang lebih besar dalam perundingan itu, sehingga tidak menguntungkan Indonesia. Apalagi penarikan garis kedaulatan Vietnam tidak sesuai dengan UNCLOS 1982, yaitu hanya berlandaskan pada pernyataan kenegaraan Statement  of  12  November  1982  by  the Government  of  the  Socialist  Republic  of  Vietnam  on  the  Territorial  Sea  Baseline  of Vietnam. Adapun penentuan titik pangkal, Vietnam mengukurnya dari tiga pulau yang jauh dari pulau utama, yakni: Con Dao, Hon Khoai dan Phu Qui. 

Jika kemudian Indonesia memberikan konsesi kepada Vietnam, berarti Indonesia turut mengakui Statement  of  12  November  1982  by  the Government  of  the  Socialist  Republic  of  Vietnam  on  the  Territorial  Sea  Baseline  of Vietnam dan mengenyampingkan pengakuan dari UNCLOS 1982 dan perjuangan para pahlawan. Padahal kedaulatan ini diperjuangkan mati-matian sejak zaman awal merdeka, disusul dengan Deklarasi Juanda, hingga akhirnya dikabulkan oleh UNCLOS 1982.

Kedaulatan Negara Tak Bisa Ditawar

Presiden Joko Widodo pada satu kesempatan di awal tahun 2020 saat Indonesia berhadapan dengan China terkait batas negara, sempat menyampaikan bahwa kedaulatan Negara bukan sesuatu yang bisa ditawar-tawar. “Saya kira, seluruh statement yang disampaikan sudah sangat baik bahwa tidak ada yang namanya tawar menawar mengenai kedaulatan, mengenai teritorial negara kita,” jelas Jokowi dalam pembukaan sidang kabinet paripurna di Istana Negara (Republika, 6 Januari 2020). 

Perspektif serupa juga disampaikan oleh Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Nasdem DPR RI Syarif Abdulllah Alkadrie terkait konsesi Indonesia kepada pihak Vietnam (Liputan6, September 2022). Menurut Syarif, penetapan batas ZEE ini akan berdampak pada dua sisi – kedaulatan dan ekonomi. Pertama, dari segi kedaulatan diketahui bahwa penetapan batas wilayah negara merupakan isu yang sensitif karena menyangkut hajat orang banyak dan juga agar sebuah negara bisa mengetahui apakah wilayah tersebut berada di wilayah kekuasaan mereka atau tidak sehingga bisa diimplementasikan hukum yang sesuai dengan konstitusi negara yang bersangkutan. Kedua, Indonesia sebagai negara maritim yang kaya sumber daya laut tentu sangat bergantung pada sektor kelautan dan perikanan untuk mengisi kas negara dan juga demi kestabilan ekonomi. Bahkan dari segi individual sekalipun, menurut Syarif Alqadie, akan ada banyak nelayan yang terdampak apabila konsesi ini menjadi persetujuan bersama.

Bukan kali pertama Indonesia “ditantang” oleh negara tetangga mengenai batas kedaulatan negara di wilayah perairan. Indonesia sudah pernah dan masih menghadapi China dengan klaim Nine Dash Line nya yang bergulir dari tahun ke tahun, dan sekarang Vietnam. Kedua negara ini bahkan dengan beraninya menginfiltrasi wilayah perairan mereka dengan ditemukannya kapal patroli (Coast Guard). Seperti pada bulan Agustus 2022 di mana ditemukan Coast Guard Vietnam sedang menjaga kapal ikan asing milik nelayan Vietnam di Laut Natuna Utara dan pada bulan September 2022 di mana ditemukan Coast Guard China di perairan Natuna sedang mengawal kapal riset. Bukan hanya melintas, kedua negara ini melalui Coast Guard mereka juga mengintimidasi nelayan lokal dengan kapal mereka yang lebih besar. Tentunya bentuk intimidasi ini sangat berdampak bagi mental Nelayan kecil Indonesia. 

Hal ini bagaikan mencoreng arang di wajah Pemerintah Indonesia. Seolah tidak pantas dihargai, kedaulatan negara yang diakui UNCLOS 1982 seperti tidak ada harganya. Jika kemudian Indonesia mengalah akan klaim yang dijatuhkan Vietnam dengan pemberian konsesi, maka makin tercorenglah wajah negara di mata dunia.

Kedaulatan merupakan hal yang sangat penting bagi eksistensi negara. Perlu adanya keterbukaan dari Pemerintah dalam memproses keputusan ini. Diperlukan juga sikap prinsipil untuk mempertahankan kedaulatan dan harga diri Indonesia di mata dunia. Namun lebih dari itu, hasil keputusan ini juga akan menjadi tolak ukur keseriusan negara dalam menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyatnya.

******